Askar Benar-Benar Berguna

Sumber Foto: https://iluminasi.com/bm/6-negara-yang-mempunyai-pasukan-ketenteraan-terkuat-di-dunia.html

 Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Bagi mereka Legium Veteran Republik Indonesia (LVRI), veteran benar-benar tidak diperhatikan dan tidak dihargai di negeri kita,. Sekali-sekali mereka yang pernah menjadi tentara aktif ini baik purnawirawan TNI,  Tamtama dan Bintara ini dimunculkan dalam beberapa hari peringatan bersejarah, namun tanpa dipikirkan sedikitpun tingkat kesejahteraan dan kehidupan warganya. Pantaslah kalau kemudian di Malaysia untuk menyebut kaum veteran dan purnawirawan menggunakan istilah “Askar tak berguna”. Walau ternyata di kawasan lain, bahasa yang digunakan tidak pernah menggunakan kata tersebut. Itulah bukti bagaimana nasib mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Kalau di Amerika Serikat para veteran perang mempunyai pengaruh besar, karena sebagai kelompok mereka menggunakan kekuatan politik “memaksa” melalui pemberian suara dalam pemilu, dan dengan demikian mereka sangat disegani dalam kehidupan politik tingkat nasional, yang umumnya bercorak konservatif. Di negeri ini tidak ada yang memperhatikan kekuatan politik tersebut. Memang di Jakarta ada gedung bersusun tinggi yang dikenal dengan nama Wisma Granada, yang katanya milik LVRI, serta gedung pertemuan umum berbentuk kura-kura yang katanya dimiliki oleh para pemilik Wisma Granada itu. Namun anggota veteran kebanyakan tidak kunjung menikmati keduanya, gedung kelompok mereka hanya dinikmati secara finansial oleh para pemimpin di atas saja, dan belum terasa tetesan pendapatan yang diterimanya ke bawah. Cukuplah kalau mereka sekali-kali turut berbangga hati karena nama veteran disebut-sebut.

Padahal sebenarnya cukup banyak pelayanan diarahkan kepada mereka contohnya adalah pelayanan kesehatan bagi kaum militer dan veteran serta keluarga mereka. Contoh yang jelas, dapat dilihat pada R.S.A.D Gatot Subroto di Jakarta. Ditugaskan dokter-dokter terbaik di negeri ini untuk bertugas di tempat itu, kemudian R.S. Angkatan Laut Mintohardjo di kawasan Pejompongan, Jakarta dan tempat-tempat pengobatan lain yang diperlukan. Bahkan pihak kepolisian memiliki R.S. Polri di Kramat Jati, Jakarta. Bahkan belakangan tempat itu menjadi “ruang rawat” bagi sejumlah tersangka yang dianggap melanggar hukum dalam berbagai kasus. Namun, apapun kegunaannya jelas pelayanan medis itu sangat berguna dan menduduki tempat sangat penting bagi kehidupan kita bermasyarakat.

*****

Banyak tentara yang “tidak tahan banting” oleh keadaan ini, sehingga mengambil jalan pintas untuk berebut jabatan penting di negeri ini maupun mencari kekayaan secepat mungkin. Jalan yang terbuka bagi mereka adalah memasuki berbagai jabatan pemerintahan yang tadinya di tangan birokrasi ataupun para pemimpin politik. Mereka ini berpegang pada sebuah pengertian salah tentang “Dwi Fungsi”, yang muncul menjadi doktrin tentang pemimpin militer dan juga pengambil keputusan dalam pemerintahan. Apa yang tadinya merupakan kewajiban bagi para perwira angkatan dan Polri, segera saja berubah menjadi “hak” bagi mereka untuk memainkan peranan bermacam-macam.

Sesekali mereka berfungsi sebagai perwira angkatan/polri, yang dianggap memiliki kelebihan atas para pengambil keputusan yang lain, hingga “ hak ” mereka juga tidak dapat dilawan. Dengan kata lain hanya merekalah yang dianggap berhak mengambil keputusan yang benar. Padahal “kelebihan” mereka juga sangat tergantung dari informasi yang mereka peroleh, yang tidak dapat dijamin akan selalu memiliki kebenaran.  Dalam pengambilan keputusan yang sangat kompleks mengenai kehidupan orang banyak, kebenaran informasi yang diperoleh itu merupakan persyaratan yang demikian penting, dalam menunjang peranan kepemimpinan mereka dalam alur kehidupan masyarakat. Sekarang terbukti, pendekatan yang mereka gunakan seperti “pendekatan keamanan” (security approach) bahkan justru dinilai sebagai pendekatan yang tidak tepat oleh masyarakat. Karena memberikan tempat yang lebih tinggi kepada pertimbangan keamanan daripada pertimbangan-pertimbangan kebebasan yang sangat diperlukan oleh masyarakat untuk melakukan otokritik.

Peluang untuk meninjau secara obyektif kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam “pendekatan keamanan” menjadi sesuatu yang penting, karena hal itu menentukan kualitas hidup seseorang atau sekelompok warga masyarakat : Benarkah ada kemampuan masyarakat untuk mengadakan perbaikan dalam jalan hidupnya? Sebuah masyarakat yang kreatif tentunya memandang kesalahan sebagai sesuatu yang harus dirubah, sedangkan “pendekatan keamanan” hanya mencoba memperbaiki masyarakat tanpa merubahnya. Tentu saja kedua hal itu sangat berbeda satu dari yang lain, sehingga besar sekali tuntutan untuk mengadakan perubahan mendasar dengan menghilangan “pendekatan keamanan” itu sendiri.

*****

Tuntutan menghilangkan “konsep Dwi Fungsi” tersebut merupakan kenyataan, bahwa orang-orang tetap beranggapan kebebasan merupakan persyaratan utama bagi kelangsungan hidup sebuah sistem yang berkaitan dengan hidup sebuah masyarakat. Perubahan adalah kunci bagi masyarakat yang ingin melangsungkan hidup yang kreatif bagi dirinya sendiri, sedangkan “pendekatan keamanan” paling jauh hanya mengijinkan adanya perbaikan dan belum tentu ada perubahan. Karena kedua pendekatan itu -keamanan dan perubahan- saling berbeda satu dari yang lain sehingga tampak keduanya saling menafikan kehadiran pihak yang lain.

Hal ini tentu saja bertentangan, karena baik “pendekatan keamanan” maupun perubahan, memerlukan peranan dari rasio/akal, hingga tidak harus ada pertentangan antara keduanya. Sikap yang harus dihindarkan adalah pemutlakan masing-masing yang akan berakibat pada hilangnya kemungkinan penggunaan kedua-duanya sekaligus. Padahal yang kita tolak justru adalah pemutlakan itu sendiri, bukan masing-masing pendekatan itu. Dalam melestarikan peranan sebuah sistem kehidupan, kita memerlukan keamanan bagi sistem itu sendiri, selama tidak berarti larangan untuk mengadakan perubahan. Sedangkan kebutuhan akan perubahan adalah bilamana dianggap perlu, dan yang dikehendaki perubahan adalah adanya keamanan dalam batas yang memungkinkan.

Berarti untuk mewujudkan perubahan dengan dukungan keamanan perlu diterapkan sebuah profesionalisme dalam kehidupan kita, ini yang ditampakkan oleh almarhum, Panglima Kodam IV Diponegoro Mayjen Amirul Isnaeni. Korps TNI-AD telah memberikan penghormatan terakhir bagi warganya yang seorang ini. Mengapa ia dihormati oleh semua orang yang sadar akan besarnya kesempatan beliau dalam usia yang relatif muda (51 tahun) itu? Karena ia adalah perwira yang meniti karier dengan mengandalkan diri pada profesionalisme dan keahlian, bukannya pada kekuatan dan kekuasaan. Karena itu benarlah ucapan Nabi Muhammad SAW: “Jika persoalan diserahkan kepada bukan ahlinya, tungguhlah datangnya kiamat“ (Idza wusida al-Amru Illa Ghairi Ahli, fa Intatzini al-Sa’ah). Dengan keahliannya Alm. Mayjen Amirul Isneni  menegakkan kepemimpinan berwibawa yang juga mengharumkan nama angkatannya hingga sekarang, sebagai calon KASAD untuk masa mendatang. Kita turut merasakan kehilangan dengan kepergian “askar” yang benar-benar berguna ini.