Beberapa Pemikiran Gus Dur Menurut Gus Dur (Ringkasan Wawancara)

Sumber Foto: https://pesantren.id/mereka-kehilangan-gus-dur-desember-kelabu-7864/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

PENDAPAT Gus Dur sering menghebohkan masyarakat. Itu antara lain disebabkan banyak hal yang hanya dipahami sepenggal dari pemberitaan koran. Jarang orang yang berupaya mencari kejelasan sebelum menanggapi. Gus Dur sendiri jarang memberi tanggapan atas ketidak-setujuan orang.

Empat tahun lalu, majalah Editor mengangkat Gus Dur sebagai tokoh tahun itu. Dan untuk itu menurunkan tulisan tentang beberapa pendapat yang dimasalahkan berdasar keterangan Gus Dur sendiri. Berikut ini hasil suntingannya.

Kepemimpinan Saya di NU

Waktu saya terpilih, banyak persoalan yang melilit NU sebagai organisasi Islam terbesar. Pertama, menata organisasi, NU waktu itu baru menyelesaikan persoalannya, berkenaan dengan keterlibatannya dalam partai politik. Di wilayah, cabang, ranting, banyak pengurus yang merangkap jabatan dengan kepengurusan parpol. Pembenahan tidak gampang. Apalagi, waktu itu NU baru saja dihabisi di PPP. Ваnyak yang mau enaknya saja, selain duduk di NU juga duduk di PPP.

Dalam berpandangan politik, NU bermazhab Al Mawardi, seperti Pak Munawir. Kita berpegang pada sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa 60 tahun di bawah pemerintahan lalim, jauh lebih baik daripada anarki satu hari. Karena itu, wajib ada pemimpin. Kalau pemimpin tidak memenuhi syarat, bukan berarti kita harus menentang negaranya.

NU taat kepada Soekarno dengan memberi gelar waliyyul amri al dlarury bissyaukah (pemegang pemerintahan darurat yang efektif). Itu bukan karena NU lunak, tapi karena kita memang harus menghormati pemimpin yang berkuasa, untuk menciptakan keadilan, kesejahteraan. Itu menunjukkan kesetiaan rakyat. Bukan kepada Orla atau Orba, tetapi kepada sistem yang dijalankan oleh pemerintah Republik.

Dalam pelaksanaannya, kita sebagai warga negara juga harus menyampaikan peringatan kalau sampai pemimpin itu melakukan penyelewengan. Kalau tidak, kita berdosa. Kalau kita terus-menerus menunggu pemimpin yang memenuhi syarat, kapan dapatnya? Kita juga memberi kerangka konsep terhadap penerimaan asas Pancasila. Semuanya bisa saya pertanggungjawabkan dalam kitab agama. Bukan soal takut atau tidak takut.

Saya kira, sejarah NU bukan sejarah ketakutan. Saat pemilu 1971, organisasi yang paling diinjak-injak Golkar adalah NU. Tahun 1977, yang berkelahi dengan Golkar dan PDI, adalah NU. Jurkam boleh kaok-kaok, tapi siapa yang berhadapan dengan kekerasan yang sesungguhnya: NU. Lebih dari itu, kalau masalah dasar negara tidak pernah selesai, terus kita sebagai bangsa mau ke mana? Malu kita, kalau tidak bisa menyelesaikan masalah asas. Kita mengaku mayoritas, tapi kok tidak bisa berperan banyak.

Pesantren Dan Pendirian P3M

Semula, P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) merupakan proyek LP3ES, dimaksudkan untuk melayani pengembangan pesantren. Lalu, direktur perwakilan FNS, lembaga donor Jerman yang mensuplai dana untuk pesantren di LP3ES, usul agar proyek pesantren ini dibentuk menjadi institusi yang dikelola NU.

Saya sendiri sebenarnya tidak begitu antusias, meskipun Pak Jusuf Hasyim setuju.

Tidak setuju karena — terus terang — di dalamnya orang yang dari pesantren sangat kurang. Yang di pengurus harian justru orang yang tidak tahu banyak tentang pesantren. Kebanyakan mereka orang LSM. Pesantren bukan masyarakat, bukan LSM. Jadi, saya tidak bisa berharap banyak dari mereka.

Hal lain, yang jadi pengurus adalah orang-orang yang sudah sibuk di tempat masing-masing. Apa yang saya khawatirkan betul. Yang aktif justru anak-anak muda pesantren, yang dulu mengikuti program latihan LP3ES. Lalu, pesantren yang menjadi partner penelitiannya hanya itu-itu. Saya jadi riskan. Saya pikir, saya tidak mungkin berharap pada mereka. Saya mundur.

Semua LSM, entah itu LP3ES, P3M atau lainnya, telah berbuat tidak adil terhadap pesantren. Mereka tidak pernah menengok sama sekali pesantren sebagaimana adanya. Menurut saya, pesantren yang paling pokok adalah posisinya sebagai lembaga yang mengembangkan diri dalam bidang pendidikan Bukan lembaga yang menjadi agen pengembangan masyarakat.

Pesantren menarik karena telah melakukan terobosan terobosan di tengah tantangan pendidikan kita sekarang ini. Misalnya, dengan melakukan eksperimen dengan kurikulum campur. Atau, melakukan sistem sekilah di dalam dirinya. Ini kan menarik. Tetapi, aspek penting dari pesantrn yang semacam itu tidak tertangkap oleh aktivis LSM.

UU Peradilan Agama Jerih Payah NU

Lepas dari tuduhan tentang tidak berperannya NU dalam menggolkan RUU PA, saya tidak mengklaim, 60% isi UU PA sebenarnya jerih-payah ulama-ulama NU. Khususnya yang menyangkut kompilasi hukum agama. Tiga kompilasi hukum antara wakaf, waris dan perkawinan adalah hasil ijtihad para fuqaha NU. Sebab, bagi ulama NU fiqh sudah kuat mentradisi. Menyimpulkan sebuah hukum menjadi UU yang harus dijalankan lewat institusi, bukan hal baru.

RUU PA bisa mulus diterima, peran NU tak bisa dilepaskan. Tapi, memang, bukan watak NU untuk berteriak-teriak. Saya memberi jaminan kepada mereka yang merasa terancam dengan lahirnya RUU PA. Saya bicara kepada ABRI, kepada umat Katolik, kepada tokoh yang merasa terancam. Saya menjamin. Mereka begitu khawatir harus kembali kepada Piagam Jakarta. Alasan mereka karena hukum agama akan dijadikan hukum nasional.

Saya bilang, hukum agama sepanjang dapat diterima semua pihak boleh dijadikan hukum nasional. Yang tidak bisa diterima, tidak bisa dijadikan hukum nasional. Saya katakan, saya pergi salat Jumat bukan karena UU.

Saya berpikir begini karena kita sebagai bangsa tidak mungkin saling mendominasi satu sama lain. Mari kita sharing. Orang Islam, meskipun mayoritas, tidak bisa mendominasi terus-terusan. Harus bisa menjamin kebersamaan semua, sebagai bangsa. Kalau jaminan itu datang dari pihak mayoritas, kan semua merasa aman.

Begitu juga menyangkut perkawinan. Saya, juga ulama NU, punya istri satu saja. Kalau bisa, sebagai pribadi, sudahlah diharamkan saja itu istri lebih dari satu. Kini, sudah cukup syaratnya untuk dilarang. Yaitu adanya perubahan makna, perubahan pemahaman ayat-ayat Al Quran mengenai poligami dengan syarat yang berat, adil.

Dulu, konsep keadilan itu terlalu berbau kelelakian. Sekarang, keadilan harus ada kaitannya dengan objek. Objek suatu tindakan itulah yang paling bisa merasakan adil-tidaknya. Tanya saja melalui referendum kepada wanita. Saya yakin, mereka menolak. Sebab, memang, terasa tidak adil. Tapi, itu hanya keinginan. Saya tahu, tidak mungkin terlaksana. Karena itu, saya tidak memperjuangkan.

ICMI Islam Masjid

Kenapa saya tidak hadir ke kongres ICMI di Malang, lebih dikarenakan adanya pembatasan pada nama-nama yang diundang. Sepertinya, hanya mereka yang ‘Islam Mesjid’ yang boleh masuk ICMI. Sementara, mereka yang disebut ‘Islam Alun-alun’ sama sekali tak diajak. Baik sebagai eksponen, maupun pembawa makalah. Padahal, siapa orang Islam di Indonesia yang sekarang bisa bicara tentang kebudayaan dengan meninggalkan Umar Kayam atau Mochtar Lubis?

Atau, kalau kita bicara tentang tantangan politik masa depan dengan meninggalkan Dr. Alfian dan Juwono Sudarsono? Kenapa cuma Arbi Sanit yang diundang? Kenapa kita nggak bisa lapang dada dan menerima orang-orang yang kurang sepaham? Sikap-sikap itu saya anggap sempit. Bukan pahamnya, tapi lebih pada sikap, cara pandang mereka. Kalau liputan cendekiawan muslim hanya ada pada kelompok tertentu, saya nggak suka. Tapi, ini bukan berarti keberatan NU. Ini cuma keberatan saya sendiri. Buktinya, Pak Jusuf Hasyim dan yang lainnya dari NU hadir.

Label kecendekiawan juga membuat saya bertanya-tanya. Cendekiawan itu identik dengan kebebasan berpikir, keluasan pandangan. Artinya, kecendekiaan tidak mungkin dibatasi dengan pembentukan sebuah lembaga, apa pun namanya. Lemba itu kan pembatasan. Kalau cendekiawan sudah dibatasi, lantas apa yang mau disampaikan? Kebenaran saya, sebagai seorang cendekiawan, tidak mungkin di batasi oleh siapa pun. Cendekiawan itu lintas batas.

Tak Ada Krisis Kiai

Dalam menghadapi fenomena kekiai-an, orang tidak menyadari pentingnya komunikasi bebas masyarakat. Sistem sekolah dan sistem belajar sistematis melalui perguruan tinggi kayak IAIN, merugikan Muhammadiyah dan sebagainya. Karena, mereka tak mempunyai materi pembacaan kitab kuning yang bagus. Mereka yang matang di pesantren, lalu masuk IAIN dan dikasih metodologi, dengan cepat dapat menerapkan.

Ada lagi yang tidak resmi sekolahnya macam K.H. Nur Muhammad Iskandar. Sekolahnya adalah ‘kaca’. Mereka belajar wakaf, dikasih pengarahan oleh pejabat, ketemu cendekiawan, dan terlibat di LSM. Sesudah itu, kembali pada kitab-kitabnya. Bagus sekali. Saya nggak khawatir dengan masa depan mereka. Kiai-kiai yang akan datang, bakal lebih baik dari sebelumnya.

Bingung Menilai Pak Harto

Saya rasa, Pak Harto gandrung sekali untuk mengkomunikasikan kepentingan pembangunan. Tapi, apakah beliau sanggup menjadi komunikator yang baik, sejarah yang akan membuktikan. Sekarang, masih susah menilai keberhasilan Pak Harto. Keberhasilan itu karena program pemerintah atau memang karena kemampuan Pak Harto.

Kalau karena program pemerintah, berarti rencana Pembangunan Lima Tahun dijabarkan dalam RAPBN tahunan. Atau karena mereka (masyarakat) memang bisa menangkap definisi pembangunan yang dimaui Pak Harto. Soalnya, kalau Pak Harto bicara tentang pertanian di TVRI dengan para petani, kelihatannya komunikatif sekali. Nyahut begitu. Tapi kadang-kadang, kita lihat, omongan Pak Harto seperti tak didengar orang Jadinya, saya bingung menilai.

Yang jelas, tidak semua orang punya kemampuan berkomunikasi. Juga, tidak adil kalau menilai orang hanya dari kemampuan berkomunikasi.

Kagum Bung Karno

Terlepas dari kelemahan yang dipunyai, saya kagum. Beliau konsisten. Konsisten dan konsekuen ingin membangun sebuah bangsa, atas dasar kesamaan dan kebersamaan. Walaupun, akhirnya, beliau dijebak PKI Meski ingin berperan besar dalam pemerintahan, beliau sangat menghargai kekuatan masyarakat. Beliau seorang consensus maker.

Kelebihannya terletak pada pondasinya yang kuat. Kepemimpinan para ulama betul-betul dipegang. Tetapi, di balik kelebihan itu, kelemahannya juga tidak kecil. Yang paling menonjol yakni dalam hal keterbelakangan. Ini mungkin berkaitan dengan masalah pendidikan, pengetahuan dan lainnya.

Minoritas Dan Mayoritas

Saya mencita-citakan, umat Islam Indonesia menjadi umat beragama yang berpandangan luas. Mampu memahami orang lain. Menumpahkan kebersamaannya yang utuh dengan segala pihak. Menjunjung tinggi kebebasan sebagai sarana demokrasi. Kalau umat Islam bersikap seperti ini, mereka juga akan senang kalau kita ajak bicara bersama. Tidak perlu merendahkan mereka. Apalagi harus konfrontasi.

Nabi saja begitu lembut menyantuni umat lain. Bahkan mengajak mereka masuk mesjid, karena memang rumah Nabi terletak di mesjid. Kita harus mencontoh. Saya tidak khawatir dengan dominasi minoritas. Kita saja yang sering merasa minder. Umat Islam — mungkin karena faktor masa lalu — sering dihantui rasa kekalahan dan kelemahan.

Padahal, kalau diperhatikan, kita hitung saja. Mana lebih banyak, dokter Islam atau dokter Kristen? Pegawai negeri, mana yang lebih banyak? Di Kompas, yang milik orang Kristen, karyawannya lebih banyak Islam. Kalau mereka tidak bisa naik jenjang, itu persoalan waktu saja. Memang, mereka belum percaya pada kita. Tapi, kalau Kompas terus-menerus bersikap begitu, masyarakat akan muak. Masyarakat akan lari dan mencari bacaan lain.

Konglomerat, BPR Dan Keterbukaan

Itu berkaitan dengan struktur masyarakat, yang belum sepenunya mewujudkan keadilan. Begitu pula struktur pemerinthaan. Anda bayangkan, Opera Kecoa bisa dilarang oleh seorang kapolda. Sejak kapan, polisi bisa menentukan mutu sebuah karya seni? Kalau begitu caranya, gantian saja. Polisi menjadi sutradara teater, Nano menjadi kapolda. Konsekuensinya kan begitu.

Memang, ada konglomerat yang di luar kita. Tapi, berapa jumlahnya? Anda kira, orang seperti Edward Soeryadjaya itu haus darah, siap mencaplok siapa saja? Dia menyadari, kerajaannya yang bernama Summa akan hancur kalau ekonomi kecil tidak berjalan. Sebabnya sepele saja. Kalau daya beli masyarakat tidak meningkat, konglomerat mau apa? Apa yang diharapkan?

Tidak mungkin sebuah tiang ekonomi berdiri sendiri, meninggalkan topangan tiang yang lain. Jangan dimasalahkan Cina dan tidak Cina. Lho, banyak juga Cina yang dirugikan oleh Cina, Lihat di Lampung atau di Medan. Banyak Cina kere, Kita begitu mudah menunjuk Edward Liem, tapi lupa orang-orang seperti Kwik Kian Gie, Kristianto Wibisono. Itu juga yang mengilhami saya membuat BPR.

Mulai orang kelaparan sampai pesawat jatuh, kita salahkan konglomerat. Daripada konglomerat kita maki-maki, lebih baik kita membenahi rakyat kecil agar kesejahteraannya meningkat. Itu bisa dilakukan dengan cara mengajak konglomerat. Masa sih, mereka tidak mau, Saya menolak penyelesaian kesenjangan dengan revolusi. Saya hanya percaya pada evolusi.

Saya membaca buku-buku Marx, tapi saya juga membaca Milovan Djilas. Pemimpin revolusi yang menjadi penjaga revolusi, ternyata, lebih penindas dari kaum pemilik modal. Mereka yang dulu ingin menghapuskan kelas, ternyata, malah membentuk kelas baru. Ini isyarat bahwa revolusi tidak menyelesaikan masalah sampai ke akar-akarnya. Dan revolusi itu kan salah satu sikap reaksioner. Mungkin karena saya orang pesantren, saya tidak terbiasa dengan sikap itu.

Tokoh yang dikagumi

Saya kagum pada Gamal Abdul Naser dari Mesir. Dia satu-satunya kepala negara yang saya kagumi. Sikapnya konsisten. Suatu kali, ada tentara yang meminang anaknya. Dia setuju, dengan syarat si tentara itu bersedia dibekukan pangkatnya selama lima tahun. Lho, soalnya, menjadi mantu presiden kan akan segera ketahuan anaknya. Naser ingin menghindari hal itu.

Banyak yang bilang, saya pernah mengeritik Buya Hamka. Sebetulnya, saya nggak mengritik beliau. Sebab, umumnya yang saya kritik itu orang-orang yang berlebihan. Saya melihat Hamka lebih sebagai komunikator. Mirip Reagan. Dia memang presiden, tapi sebetulnya bukan politikus atau tokoh pemerintahan yang besar. Manajemennya juga begitu-begitu saja. Tapi, dia berhasil mengkomunikasikan pandangannya tentang Amerika pada rakyat.

Rakyat yang terpecah-belah bisa disatukan dengan satu pandangan: pemerintah jangan terlalu banyak ikut campur urusan masyarakat. Kalau sudah begitu, meski si Reagan itu bodoh, rakyat suka padanya.