Bercocok Tanam di Surga
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Al Qur’an menyatakan, “Barangsiapa menginginkan panenan (baik) di akherat, akan Ku tambah panenannya itu (berlipat ganda) (man kana yuridu hartal akhirah nazid lahu fi harthih)”. Timbul pertanyaan, apakah gerangan yang dimaksudkan Allah di sini? Apakah kita masih harus bekerja keras lagi, bercocok-tanam di sawah pada hari akherat nanti?
Ternyata bukan begitu maksudnya. Ayat itu berisi kiasan mereka yang beramal saleh dalam kehidupan dunia ini, akan memperoleh imbalan sepadan di akherat kelak. Hanya saja, kiasannya di sini bukan sembarang kiasan. Amal saleh dan imbalan atasnya adalah sesuatu yang sentral dalam konsep Islam tentang kehidupan. Amal saleh termasuk dalam kebajikan, bahasa sananya disebut ihsan. Sedangkan ihsan itu sendiri adalah salah satu tingkatan, bahkan tingkatan tertinggi, dari kehidupan seorang beragama islam (mungkin islam dengan huruf i kecil, kalau mau pinjam istilah Dr. Nurcholish Madrid). Menurut stratifikasi ini, maka seorang Muslim (dengan huruf M besar), barulah dapat mencapai tingkatan muhsin.
Mu’min artinya beriman, menunjukkan taraf permulaan dari kesadaran beragama. Manusia meyakini adanya Allah sebagai Tuhannya. Atas dasar itu, ia menempatkan dirinya dalam kedudukan menghamba kepada Allah, yang demikian besar kekuasaan dan keagungan-Nya. Iman mendasari segenap perilakunya, dan imanlah yang mengarahkan kehidupannya. Jika ia memang benar beriman kepada Allah, tentulah ia akan tunduk kepada perintah-perintah-Nya. Ketundukan seperti ini berarti Islam, penyerahan diri kepada Allah melalui pengamalan semua perintah-perintah-Nya, dan upaya menjauhi penyerahan diri dalam bentuk terkait dengan pelaksanaan perintah dan pencegahan larangan Allah inilah yang dinamai Islam, dengan huruf I besar. Artinya penyerahan secara khusus dalam konteks ajaran tertentu pula. Berbeda dengan islam huruf i kecil yang berarti setiap sikap penyerahan diri kepada Tuhan tanpa melihat konteks kekhususan agamanya (sikap islam dengan huruf i kecil ini diinginkan Dr. Nurcholish Madjid dalam konteks mencari pendekatan dengan agama-agama lain, karena memiliki kesamaan mendasar dalam bentuk penyerahan diri secara universal itu. Sayang, ia disalahpahami oleh banyak orang).
Kalau seseorang beriman secara penuh kepada Allah, dan melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, dengan sendirinya ia menjadi mukmin (beriman) dan muslim (berserah diri) secara bersamaan. Kedua hal itu akan membawanya kepada sikap bijak kepada semua makhluk. Baik sesama muslimin, maupun terhadap yang beragama lain, ia akan memberikan perlakuan sama dalam pergaulan. Baik kepada yang kaya maupun yang miskin, yang pejabat maupun yang merakyat biasa. Juga menyamakan dalam perlakuan, mereka yang terkait langsung dengan dirinya maupun yang tidak. Kepada yang sudah berkecukupan, ia memberikan simpati dan sokongan moral, selama standar kecukupan itu diperoleh dengan cara yang baik. Kepada yang memerlukan, ia akan memberikan pertolongan, selama hal itu mungkin dilakukan.
Kalau sudah demikian, berarti ia memasuki tingkatan ihsan, tingkatan kebajikan. Ia menjadi muhsin, orang yang berbuat kebajikan. Kesempurnaan dirinya dalam beragama Islam. Ia menjadi muslim (karena beragama tertentu), sekaligus muslim (karena agamanya memiliki daya tarik universal). Berarti ihsan adalah tingkatan tertinggi dalam kehidupan beragama.
Jika demikian, amal saleh yang didudukkan dalam tingkatan tertinggi kehidupan beragama itu, adalah tolok ukur ketinggian derajat kerja bertani, di mata ayat yang disitir pada permulaan renungan ini. Bertani sama dengan ihsan. Alangkah tingginya apresiasi Al Qur’an terhadap profesi bertani. Kalau demikian, bukankah seharusnya Islam menjunjung tinggi profesi-profesi lain? Jika demikian, bukankah sikap hidup profesional adalah tuntutan Islam, sesuai dengan penghargaannya kepada profesi itu? Bukankah lalu dapat dituntut profesionalisme dari kaum muslimin, atas dasar sikap agama mereka terhadap profesi itu?