Bobot Sangkaan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Kiyai Abdul Muchith Muzady punya pandangan menyegarkan. Juga dari sudut hukum fiqh, seperti dilakukan kiyai Rodhi Sholeh dan kiyai Abdurrahman Nawi, seperti yang pernah diceritakan di rubrik ini.
Kiyai Muchith memang senang bergurau, bahkan dalam usia sudah di atas enam puluh tahun saat ini. Menjawab pertanyaan dengan tanggapan penuh gurau, sehingga seringkali membuat penanya ‘mati Langkah’. Seorang ulama terkemuka bertanya kepada kiyai Muchith: ‘Orang yang menyimpang dari pendapat orang banyak kan terbukti sudah banyak’.
Nah. Dalam soal ‘kasus lemak babi’, Yang pernah diramaikan orang ia telah menyusun langkah doktrinal yang cukup menarik. Intinya, menurut kiyai Muchith, adalah cara pengawasan atas produk makanan kita. Kalau diawasi secara kontinyu atau menetap, tentu tidak akan ada persoalan Persoalannya lalu menjadi masalah penciptaan mekanisma kontrol. Supaya dapat menyakinkan masyarakat, tentunya kalangan masyarakat harus diajak.
Bagaimana kalau cara pengawasan diartikan teknik atau metode pengawasan? Kiyai Muchith menjawab dengan cekatan: “Gunakan cara yang mudah, Yaitu menggunakan kaidah bobot sangkaan, bahasa Arabnya ghalabatu zhanni. Tidak bisa kita hidup dengan harus sampai pada keyakinan tuntas dalam setiap persoalan. Kalau anda menginjak kotoran najis, tentu anda basuh kaki anda. Cukup dengan itu saja, bukan? Tidak perlu anda pakai mikroskop untuk memeriksa kaki anda setelah dicuci itu. Bobot sangkaan anda, najis telah hilang dengan cuci kaki. Cukup dengan bobot sangkaan itu, tidak perlu pemeriksaan mikroskop lagi”.
Dalam kasus pemeriksaan atas produk makanan, khususnya bahan olahan, harus dipakai kaidah bobot sangkaan itu. Kalau sangkaan kita berat, bahwa sesuatu produk atau bahan olahan tidak mengandung barang haram, ya dicukupkan di situ, tidak perlu diyakinkan lagi!
Kaidah yang cukup menarik, bukan?