Culture of Peace, Sebuah Pendekatan Islam
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam Islam, diketahui terdapat trilogi yang sangat terkenal, yaitu Hukum Islam (fiqh), teori Hukum Islam (ushûl al-fiqh), dan Kaidah-Kaidah Hukum Islam (qawa’id al-fiqh). Trilogi itu memberikan legitimasi bagi segala sesuatu yang diliput oleh syari’ah (jalan hidup), yang memberikan legitimasi bagi lain-lainnya. Umpamanya saja, tasawwuf (mistik Islam) memerlukan legitimasinya — terkenal dengan sebutan tarekat yang disahkan (at-turq al-mu’tabarah) yang, di dalam lingkungan Nahdhatul Ulama (NU), gerakan Islam terbesar di dunia dengan pengikut mendekati 90 juta jiwa, berjumlah 45 buah. Jumlah tarekat (tunggal berbunyi tariqah, plural disebut at-turq) itu sangatlah besar karena beranak pinak dari dua tarekat besar; Naqsyabandiyah dan Qadiriyah.
Gerakan tasawuf dalam bentuk tarekat itu baru merupakan satu sisi mata uang saja, karena ada juga tarekat-tarekat setempat yang tidak meminta pengesahan, seperti Wahidiyah di Kediri dan Siddiqiyah di Jombang. Di samping itu, ada tarekat moral yang tidak berbentuk gerakan, melainkan bersifat perorangan belaka, seperti tasawuf modern yang dibawakan oleh Hamka. Kesemuanya itu, memerlukan legitimasi dari syari’ah, berarti pengesahan dari hukum Islam yang menetapkan mereka itu sebagai paham yang lurus dan tidak berasal dari penyimpangan (heresy).
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa syari’ah mempunyai fungsi praktis, di samping fungsi teoritiknya yang kita kenal. Karena itulah semua penguasa di negara-negara muslim tidak pernah mengingkari syari’ah, karena takut dianggap sebagai sebuah penyimpangan yang dapat menjadi hukuman mati atas kehadiran mereka. Itu pula yang menyebabkan hukuman mati in absentia dari Ayatullah Khumaini atas diri Salman Rusdie, seorang novelis agnostik India, yang tinggal di Inggris dan menerbitkan bukunya Satanic Verses. Hanya penulis seorang-lah yang berani menentang keputusan itu dalam harian Media Indonesia, karena apa pun salahnya, Salman Rusdie berhak menerbitkan pandangannya walaupun penulis yakin ia menentang ajaran Islam.
***
Dalam sebuah konperensi di Seoul, Korea Selatan, dalam bulan ini, penulis menyampaikan pidato pembukaan. Dalam pidato itu penulis mengemukakan bahwa dua hal harus dikerjakan oleh masyarakat Islam di seluruh dunia untuk mengatasi terorisme yang dituduhkan pada mereka–terlepas dari kutukan mereka atau tidak atas tindakan itu, kalau kedua hal itu dilakukan, orang seperti Usamah bin Laden tidak akan mendapatkan sokongan dan dukungan dari siapa pun, tidak seperti sekarang ini. Sekarang masih ada pihak-pihak yang membela dirinya, karena anggapan ia membela Islam atas “kebiadaban” orang Barat.
Yang pertama adalah tugas kaum muslimin untuk mencari kejelasan atas pentingnya sebuah interpretasi yang memadai dalam hukum Islam (fiqh). Hukum kanonik itu secara formal masih menganggap perpindahan agama dari Islam ke agama-agama lain sebagai apostasy (riddah), yang secara teoretik dapat mengakibatkan hukuman mati. Kalau interpretasi ini dibiarkan terus, kita harus menghukum mati puluhan juta jiwa yang pindah dari agama Islam ke lingkungan Kristen (Protestan, Anglikan, dan Katholik).
Kebutuhan akan re-interpretasi ini juga didukung oleh kenyataan bahwa seluruh negeri-negeri muslim melakukan ratifikasi atas deklarasi universal hak-hak asasi manusia. Salah satu hak asasi yang esensial dalam deklarasi itu berupa hak untuk berpindah agama dengan bebas. Tentulah kontradiksi ini harus diakhiri, kalau kaum muslimin tidak ingin menjadi kanak-kanak seterusnya dan agar kaum muslimin di seluruh dunia mencapai kedewasaan.
Kelalaian dalam hal ini, akan mengakibatkan kesenjangan lebih besar antara para sarjana dan pemimpin muslim di satu sisi dan rakyat yang mereka pimpin di sisi lain. Kesenjangan itu ada untuk ditutup, dan tidak untuk dibiarkan.
***
Hal kedua yang patut diperhatikan, adalah perkembangan sejarah. Sekarang ini, banyak calon-calon sarjana muslim dikirimkan ke negara-negara berteknologi maju untuk belajar dan menguasai teknologi. Begitu juga banyak calon-calon sarjana muslim yang memperhatikan agama mereka di negeri-negeri berkembang, termasuk Indonesia. Mereka menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan Barat, tapi tidak menguasai trilogi di atas. Karena itu, mereka mengambil jalan pintas– yaitu, langsung mengambil dari sumber-sumber tekstual Islam berupa kitab suci Al-Qur’an dan tradisi kenabian (al-Hadîts). Dengan menggunakan kutipan dari kedua sumber itu secara langsung, mereka mencoba mencari jawaban atas masalah-masalah yang dihadapai umat Islam dewasa ini. Akibatnya adalah sikap menggunakan kedua sumber tekstual itu secara harfiah, tanpa melalui penafsiran dan pendalaman yang diperlukan. Karena kedua sumber tekstual itu memerlukan penafsiran lebih lanjut, karena keduanya merupakan dokumen dari abad ke 7-8 Masehi, di padang pasir Arabia yang terkenal. Maka dengan sendirinya diperlukan penafsiran lebih jauh dalam penerapan keduanya dalam dunia modern.
Kalau tidak, maka sikap defensif kaum muslimin seluruh dunialah yang akan tampil ke muka, yang berintikan ketidakmampuan penafsiran yang diperlukan bagi era modern ini. Kenyataan sejarah ini harus diakui orang Islam, jika mereka ingin bebas dari kerangka acuan orang lain. Sejarah membuktikan, hanya pihak-pihak yang mampu melaksanakan adaptasi yang diperlukan, tanpa kehilangan nilai-nilai yang esensial bagi sebuah kaum, dapat dicari penyelesaian yang memuaskan.
Kenyataan inilah yang sering diabaikan oleh gerakan-gerakan Islam dan membuat mereka ditinggalkan orang. Sebuah sikap realistik untuk menggunakan trilogi di atas, dengan kekayaan warisan yang luar biasa, haruslah menjadi sikap kaum muslimin menghadapi terorisme yang dilakukan atas nama Islam. Oleh sementara sarjana, sikap itu dinamai “neo-modernisme Islam”–yang, karena ketidakmampuan mencari istilah lain, kita gunakan dalam pembahasan di sini.