Dasarnya Ambruk, Memerlukan Penataan Kembali
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Peringatan natal, lebaran, dan tahun baru beberapa waktu lalu, memang unik. Suasana kegembiraan tidak meluap seperti tahun lalu, bahkan kelesuan terasa menghantui pasar-pasar kita. Dari hasil survei di beberapa pasar seluruh Indonesia menunjukkan bahwa hanya pakaian anak-anak yang banyak diminati. Sementara, pasar-pasar swalayan di berbagai kota terlanjur membeli suplai barang secara besar-besaran, namun tidak terjual.
Ekspor kita tidak laku di mana-mana karena resesi sekarang melanda dunia, kecuali Taiwan dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Beberapa hari sebelum lebaran, pada suatu sore, sekitar 415.000 pekerja terpaksa di-PHK-kan, yang berarti hampir 1.000.000 mulut yang memerlukan makanan telah kehilangan sumbernya. Ini semua, tentu merupakan akibat langsung dari terhentinya ekspor kita. Di saat negara-negara lain sibuk mencari jalan untuk membuat barang-barang mereka laku di pasaran dunia, Indonesia justru sibuk menambah beban pungutan cukai dan pungutan-pungutan tidak resmi melalui korupsi-hingga membuat orang tidak menyukai barang-barang kita.
Ketidakpastian hukum kita juga semakin menjadi-jadi, sehingga modal asing banyak yang takut masuk kemari. Ditambah dengan kesediaan memberikan abolisi, tanpa proses pengadilan, atas diri mantan Presiden Soeharto, semakin membuat upaya penegakan hukum kita menjadi lebih tidak pasti lagi. Bahkan orang menunggu, ke manakah ekonomi berkembang: penguasaan negara lebih besar atas ekonomi, ataukah swastanisasi?
***
Sebab utama dari ketidakpastian itu adalah pemerintah juga. Tidak pernah jelas, akan kembalikah kita kepada paham serba negara (etatisme) atau justru pengikisan campur tangan negara secara berlebihan dalam semua aspek kehidupan kita? Paham serba negara yang dibawakan oleh orang-orang seperti Bambang Kesowo, boleh dikatakan mewakili paham neo-sosialisme.
Sebaliknya, paham pengikisan campur tangan negara secara berlebihan dikembangkan–dan, dibawakan oleh tim ekonomi yang sampai hari ini lebih banyak berbicara daripada bekerja. Lalu, akan dibawa ke manakah kita sebagai bangsa? Bukankah kita harus memiliki orientasi yang jelas agar dapat menentukan pola kehidupan kita di masa yang akan datang?
Selama kita sebagai bangsa tidak memiliki kejelasan orientasi, selama itu pula orang lain tidak dapat mengambil ancang-ancang untuk bekerja sama dengan negara kita. Kasus gas alam di Tangguh, Irian Jaya, jelas menunjukkan hal ini. Selama kita belum menyelesaikan masalah ini, jangan harapkan RRT akan membeli gas alam kita yang bersaing ketat dengan Australia, Malaysia, dan Qatar. Jawaban seperti ‘tunggu tender’ hanyalah alasan di luar belaka, padahal masalah pokoknya justru tidak disentuh oleh pihak RRT.
***
Jadi jelas, masalah dasar kita tersangkut sangat erat dengan aspek orientasi kehidupan bangsa. Kita sibuk dengan berbagai masalah teknis, seolah dengan itu permasalahan-permasalahan yang dihadapi akan segera teratasi. Kelambatan pemerintah kita untuk menyuarakan hal ini, menunjukkan kita sebagai bangsa tidak mampu membedakan masalah dasar dari masalah teknis.
Masalah orientasi kehidupan bangsa di atas, dengan sendirinya terkait dengan masalah etika dan moralitas. Akankah kita menjadi bangsa yang materialistik, tidak peduli nasib mayoritas yang berada di bawah garis kemiskinan, sementara beberapa orang mengenyam kemewahan luar biasa? Ataukah sebaliknya, semua disuruh melarat, sementara segelintir konglomerat diberi keleluasaan untuk membangun kerajaan-kerajaan ekonomi kelas dunia? Bukankah ini bertentangan dengan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45) kita?
Karena masalahnya menyangkut etika dan moralitas kita sebagai bangsa, mau tak mau tulisan ini mengimbau agar pandangan-pandangan kita terhadap agama diperiksa kembali dalam rangka renungan lebaran, natal, tahun baru, dan tahun imlek. Bukankah dengan melakukan telaahan seperti itu kita lalu akan memperoleh konsep-konsep awal tentang orientasi kehidupan yang layak bagi diri kita sebagai bangsa? Gugahan hati dan pikiran melalui kolom ini adalah cara penulis untuk mengingatkan diri kita di saat-saat sensitif seperti ini, akan arti agama bagi kehidupan kita sebagai bangsa. Bukankah ini renungan yang tepat bagi diri kita di tengah-tengah suasana lebaran, natal, tahun baru, dan imlek?