Demokrasi dan Demokratisasi Indonesia

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Demokrasi adalah keadaan tertentu yang memiliki beberapa ciri, antara lain harus bertumpu pada kedaulatan hukum dan memberikan perlakuan yang sama pada semua warga negara di hadapan undang-undang. Ini harus ditunjang oleh kemerdekaan berbicara, kebebasan berpikir, dan sikap menghormati pluralitas pandangan. Lebih jauh lagi, ia berarti keharusan memelihara dan melindungi hak-hak pihak minoritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi semua hal itu mengacu kepada kepentingan umum yaitu kepentingan bersama sebagai bangsa dan negara. Dalam keadaan demokrasi itu berjalan sepenuhnya, orang tidak memiliki ketakutan akan berpendapat atau berkelakuan yang aneh-aneh. Kepentingan bangsa ditentukan oleh mayoritas pemberi suara dalam pemilihan umum yang diandaikan menjadi wahana “kedaulatan rakyat”.

Untuk mencapai demokrasi seperti itu, dibutuhkan sebuah proses demokratisasi. Proses ini berjalan lambat, dan terkadang cepat. Demokrasi akan nampak terwujud dengan membentuk lembaga-lembaga demokratis dengan cepat, walaupun adanya lembaga-lembaga itu tidak menjamin tradisi demokrasi dapat tegak dan cepat. Pemerintah Orde Baru telah membentuk DPR-RI, MPR RI, BPK dan MA; tetapi tradisi berdemokrasi ternyata tidak tumbuh di dalamnya. Sang penguasa menentukan segara–galanya, sehingga lembaga-lembaga yang mencerminkan demokrasi itu kehilangan arti bagi kita dan kita merasa terpasung dalam pemasungan kemerdekaan pers, kemerdekaan berpikir, dan bermacam-macam kemerdekaan lain. Kita merasa tercekik sehingga akhirnya pun kita tidak percaya akan tegaknya demokrasi di negeri ini. Demokratisasi telah gagal. Sekarang, kata demokrasi digantikan oleh kata reformasi.

Parpol yang semula tampak memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsa, ternyata hanya mementingkan kebutuhan sendiri atau kepentingan golongan. Eksekutif, kehilangan arah mana yang harus dijadikan ukuran tentang “kepentingan rakyat” itu. Akhirnya, ‘kepentingan bersama’ parpol masing-masing dijadikan ukuran hingga hancurlah ukuran-ukuran kepentingan rakyat itu, dalam artian kepentingan untuk menjaga kedaulatan partai-partai atas pemerintahan. Karena mereka telah dicap mengkhianati demokrasi, maka parpol-parpol itu lalu memanipulasi kata-kata reformasi/pembaruan. Ini berarti “pencurian di siang bolong”, padahal mereka lebih mementingkan bagaimana ‘menggunakan’ uang negara baik langsung maupun tidak langsung untuk memenangkan pemilu legislatif maupun Presiden dalam waktu dekat ini. Ada yang mengeruk habis kekayaan BUMN (sehingga diberitakan melalui kabar angin, bahwa sebuah parpol menargetkan 5 triliun rupiah untuk membiayai kemenangan pemilu tahun depan). Uang ‘amplop’ dimanfaatkan dan diminta -kalau perlu dengan cara-cara melanggar undang-undang-, setiap Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Wali Kota) “diharuskan” membayar upeti demi memenangkan partai politik yang bersangkutan dalam pemilihan yang akan datang.

*****

Dalam keadaan demikian, sudah tentu proses demokratisasi menjadi sangat terganggu. Penegakan kedaulatan hukum menjadi tidak ada, pemberantasan KKN hanya menjadi buah bibir saja, itu pun kalau masih disebut. Uang ‘aspal’ beredar dalam jumlah yang sangat besar, tanpa tindakan apa pun terhadap pelakunya. Sebenarnya nama-nama mereka yang terlibat dalam percetakan dan pengedaran uang palsu itu dapat ditanyakan, bahkan kepada “orang jalanan”. Ketika seorang anggota DPR-RI “mengancam” mempersoalkan hal itu secara terbuka, maka segera ia dihadapkan kepada kenyataan lain, bahwa parpol di mana ia sendiri turut serta di dalamnya juga lebih korup dari pihak yang ia ketahui menerima uang aspal tersebut.

Demikian jauh penegakan kedaulatan hukum telah dilecehkan orang, sehingga banyak orang sudah mulai putus asa, dapatkah hal itu diwujudkan di negeri kita? Cukup banyak orang yang berkesimpulan, bahwa demokrasi tidak mungkin diwujudkan di Indonesia saat ini, lalu dengan demikian tidak ada gunanya melakukan tindakan-tindakan mendorong kemunculannya dalam kehidupan sehari-hari, berarti tidak ada gunanya melakukan upaya demokratisasi di negeri kita. Karena itu, wajar saja jika lalu muncul “kesimpulan” bahwa bangsa kita memang lebih senang hidup di bawah pemerintahan Orde Baru di saat ini. Paling tidak, pemerintahan Orde Baru memberikan kepastian kita, apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan tingkat hidup ada.

Jika perasaan ini cukup luas dalam masyarakat, barangkali perjuangan menegakkan demokrasi akan menjadi lebih berat daripada dahulu. Walaupun tidak ada “tragedi Trisakti” maupun “penembakan Semanggi”, tapi efek perkembangan politik “yang damai” sekarang ini jauh lebih buruk bagi proses demokratisasi. Pihak kepolisian negara dan aparat-aparat hukum lainnya, menggunakan kembali pasal-pasal lama dari undang-undang kolonial yang seharusnya sudah diubah. Karena DPR-RI sudah sibuk dengan bagi-bagi uang dan segala macam fasilitas yang memanjakan hidup para anggotanya, maka mayoritas suara menolak tiap upaya melakukan pembaharuan undang-undang. Karena pihak eksekutif telah dikuasai oleh birokrasi yang hanya mementingkan diri sendiri belaka, maka kepentingan rakyat yang hakiki akan pembaharuan hukum yang dilakukan dengan serius, dengan sendirinya tidak mungkin dilakukan. Akibatnya bunyi beberapa undang-undang seperti tentang Otonomi Daerah dan sejenisnya hanya melahirkan “raja-raja kecil“ yang tidak dapat lagi dikontrol, dan menetapkan kebijakan secara serampangan. Bagaimana di Kutai Kartanegara dan Kabupaten Gorontalo ada “proyek raksasa” yang akan membuat daerah bersangkutan “cemerlang namanya” bisa dilarang oleh gubernur yang korup.

*****

Cukup banyak orang yang meminta penulis berhenti berbicara tentang demokrasi dan proses demokratisasi. Penulis menolak “ajakan” itu, karena ia masih percaya bahwa masih harus ada yang memperjuangkan kedua hal tersebut. Ini bagaikan upaya mendirikan forum demokrasi di masa lampau, jadi penulis tidak akan mundur. Memang, terdapat perbedaan kualitatif antara upaya menegakkan demokrasi yang sebenarnya dan memulai proses demokratisasi sekarang dan dahulu, setidak-tidaknya dalam hal resiko fisik yang harus dihadapi. Tetapi, bukankah esensinya sama antara kedua hal itu? Penulis mengetahui, upaya mengembangkan demokratisasi saat ini tidak dihadapi secara fisik oleh aparat negara, melainkan oleh “para preman” yang dibiarkan bersimaharajalela tanpa ada upaya menindak mereka sama sekali. Bahkan sementara aparat negara justru “membantu’ mereka secara diam-diam, karena mereka menyediakan dana bagi kepentingan aparat negara yang bersangkutan. Karenanya, mengatakan usaha demokratisasi memang mudah, tetapi mewujudkannya dalam kenyataan merupakan kerja sangat sulit, bukan?