“Di Masa Depan, Moerdiono Paling Pantas Memimpin Negara Ini”

Sumber Foto: https://www.hops.id/hot/29410365799/topik-khusus.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sepintas, peristiwanya lumrah saja. Awal November lalu, Presiden Soeharto membuka Musyawarah Kerja Nasional ke-5 Rabithah Al Ma’ahid Al Islamiyah, perhimpunan pesantren NU, di Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo, Jawa Timut. Tapi, disela-sela pertemuan Pak Harto dengan ratusan kiai tersebut, terjadilah peristiwa politik yang cukup mengejutkan. Saat itu, Pak Harto bertemu dengan Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU Dan, keduanya berjabat tangan.

Tentu saja, peristiwa tersebut cukup mengejutkan bagi para pemerhati politik nasional. Sebab, sudah hampir dua tahun, keduanya tidak pernah bertemu, apa lagi berjabat tangan. Konon, putusnya hubungan tersebut karena Pak Harto marah kepada Abdurrahman Wahid. Sebab dalam buku A Nation in Waiting karya Adam Schwarz, wartawan majalah Far Eastern Economic Review, Gus Dur menyatakan sesuatu yang intinya “membodohkan Pak Harto

Memang, tidak ada keterangan resmi dari Pak Harto mengenai pernyataan Gus Dur di buku itu. Yang pasti, pada Muktamar NU di Cipasung akhir 1994, Gus Dur “tidak berhasil” menyalami Pak Harto. Bahkan, sampai saat ini, Gus Dur dan jajaran pengurus PBNU hasil Muktamar Cipasung tidak pernah diterima Presiden Soeharto, untuk melaporkan hasil muktamar tersebut. Suatu hal yang sangat janggal dalam kebiasaan dunia keormasan kita. Apalagi untuk ormas sebesar NU.

Jadi, ada apa dibalik salaman Pak Harto dengan Gus Dur di Probolinggo itu? Apakah telah terjadi “rekonsiliasi” di antara mereka? Apakah Pak Harto sudah memaafkan Gus Dur? Apalagi, setelah itu, Gus Dur pun bertemu bertemu KSAD Jenderal R. Hartono. Di pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, Rabu pekan lalu, keduanya bukan sekadar bersalaman, tapi sempat omong-omong. Padahal, selama ini, keduanya juga dikabarkan “saling bermusuhan”.

Jadi, ada apakah di balik “diplomasi salam dan peluk” Pak Harto-Gus Dur-Hartono tersebut?

Untuk memperoleh gambaran lengkap di balik, manuver Gus Dur yang susah ditebak itu, wartawan FORUM, Wahyu Muryadi, mewawancarai Gus Dur. Wawancara dilakukan di sela-sela kesibukan kiai “bertubuh subur” itu menemui sejumlah kiai di Jawa Timur.

Pekan lalu, Gus Dur memang sibuk meladeni undangan para kiai setempat untuk berbagai acara, seperti ceramah dan tablig akbar. la berkeliling di Surabaya, Bangkalan, Sumenep dan Situbondo. Dan, di setiap acara, ribuan santri dan kiai tumplek mendengarkan wejangannya yang sering disisipi humor itu. Di Bangkalan, misalnya, ia disambut konvoi 200 anggota Ansor bermotor, ribuan Banser. Menariknya, ia juga dikawal jip voorrijder polisi setempat. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana sih terjadinya pertemuan Anda dengan Pak Harto itu?

Ya, kita salaman dengan tangan dua. Tadinya saya pakai tangan satu. Tapi karena Pak Harto pakai tangan dua, masak saya tangan satu, jadi tangan dua juga. Jadinya, seperti orang berangkulan, padahal cuma salaman saja pakai tangan dua. Setelah itu beliau bersalaman dengan Kiai Aziz Masyhuri (Ketua RMI), dengan tidak melepaskan tangan kirinya dari tangan saya. Terus saya jalan, tapi tangan kirinya masih memegangi tangan saya, kan kayak menggandeng. Tapi, habis itu lepas, wong jalannya tak perlu gandengan, jalan jejer. Jadi, ada beberapa saat di mana tangan kiri beliau itu masih memegangi tangan saya, kelihatannya seperti orang gandengan.

Selain bersalaman, yang konon menghapuskan keretakan hubungan Anda dengan Pak Harto, apa Anda bertemu empat mata dengan Pak Harto?

Enggak ada. Pak Harto bertemu dengan kiai-kiai itu. Rais Am KH. Ilyas Ruchiyat memperkenalkan mereka kepada Pak Harto. Lalu, ada tanya-jawab yang diajukan Pak Munasir dan Tolhah Hasan.

Pak Harto merangkul Anda?

Enggak, hanya salaman. Wong, hanya digandeng, dua menit tak ada.

Sebelumnya, Pak Harto sudah tahu Anda akan ada di sana?

Tak tahu saya. Menurut saya, itu barang yang normal-normal saja. Selamanya kan begitu. Kalau Pak Harto datang, kan ada yang menjemput.

Saat bertemu Pak Harto itu, apa yang muncul di benak Anda?

Pikiran saya kan harus praktis. Nganterin Pak Harto ke dalam, lalu duduk. Jadi, tak ada pikiran ingin ini-itu, tak ada.

Bagaimana perasaan Anda sat itu?

Perasaan saya enggak gitu-gitu. Pak Harto enggak karep ngono, aku ya enggak ngono (enggak ingin begitu, aku ya enggak begitu, Red).

Apa ucapan Pak Harto kepada Anda waktu itu?

Assalamualaikum, apa kabarnya. Ya, greetings-lah. Selamat-selamat, begitu saja.

Ada persiapan khusus dari Anda untuk menyambut Presiden?

Ada dua. Pakai hem batik lengan panjang dan bersepatu. Biasanya saya tak pernah bersepatu. Karena Presiden, ya, khusus bersepatu, ha-ha-ha… Kemarin, di Situbondo, saat bertemu Hartono saja, pakai baju ini, tak ganti-ganti.

Sekarang, Anda sudah merasa “plong”?

Ha-ha-ha… Saya sejak dulu, ya, plong. Alah…, kayak ada barang buntu saja, pakai “plong” segala. Saya ini kan ada kontak-kontak dengan Pak harto, dalam arti, kalau ada bahan masukan, saya sampaikan. Dan, Pak harto juga menyampaikan sikap-sikap pemerintah (kepada kontak-kontak saya). Itu sudah sejak lama. Jadi, tak terlalu heran.

Sepanjang saya bertemu Pak Dharmono, Pak Moerdiono, Edi Sudradjat, bekas Menteri kehutanan Soedjarwo, Siswono, dan tentara-tentara itu, semuanya menyampaikan pesan dan pertanyaan Pak Harto. Jadi, saya enggak melihat adanya kebuntuan. Bahwa selama itu memang Pak Harto dekat sekali dengan ICMI, itu suatu hal yang menurut saya, tak ada kaitannya dengan saya. Memang Pak Harto, policy-nya saat itu memberikan peluang sebesar-besamya kepada ICMI untuk membuktikan diri dan klaim-klaim mereka. Jadi, saya tak melihatnya sebagai suatu yang harus dipertalikan, tak ada hubungan kausalitas di dalamnya.

Wong saya sudah sejak dulu-dulu. Tapi, hubungan saya tak terganggu, tetap baik saja. Yang enggak baik itu kan – kalau boleh dibilang – pada 1992-1994. Itu yang paling jauhnya. Menurut saya, bukan karena soal apa, tapi karena memang policy pemerintah yang tidak terkait dengan NU waktu itu. Jadi, bukan karena ada sesuatu masalah. Mungkin, pada tahun 1994, itu ada soal buku A Nation in Waiting itu. Kan, gampangnya, kepada orang-orang itu Pak Harto bertanya; apa sih maunya Gus Dur? Lalu saya jawab, dan mereka menyampaikannya kembali ke Pak Harto.

Dalam A Nation in Waiting itu Anda mengatakan Pak Harto “bodoh”?

Enggak. Saya ditanya Adam Schwarz (penulis buku itu), “Bagaimana jawaban Pak Harto terhadap surat Anda tentang keadaan muslim di Aljazair?”. Lalu saya jawab, “Di situlah bodohnya. Kok, saya mengira surat saya akan dijawab Pak Harto. Kalau dijawab kan berarti dia memihak kepada saya”. Lo, itu bodohnya siapa? Kan bodohnya saya. Cuma, ketika diletakkan dalam bahasa Inggris konteksnya jadi lain. Sepertinya saya mbodohin Pak Harto, padahal saya itu mbodohi diri saya.

Pada 1992-1994 itu, Anda juga menyatakan tentang adanya peluang bagi Benny Moerdani untuk calon presiden mendatang…

Ah enggak. Itu enggak ada masalah apa-apa. Semua tahu itu soal konstitusional secara teoretik. Yang dibesar-besarkan oleh sementara orang itu teoretik. Tapi, sebetulnya enggak ada urusan. Saya kan cuma bilang bahwa kalau Benny dicalonkan jadi presiden, teoretik bisa saja langsung, konstitusi enggak melarang. Tapi kan kenyataannya, politiknya, enggak bisa karena dia orang Katolik, gitu lo. Tapi, ada orang-orang yang mencoba menggambarkan bahwa saya mendukung pencalonan Benny.

Sekarang, Anda merasa “dosa” Anda sudah dimaafkan Pak Harto?

Enggak gitu. Dari awal penjelasan saya sudah minta maaf kepada Pak Harto lewat Pak Dharmono. Lalu, Pak Harto bilang yan sudah kalau gitu. Bahwa itu masih dirembak-rembuk (dibicarakan) orang itu soal lain. Kita kan ngomong Pak Harto, bukan orang lain.

Lalu, apa lagi pentingnya pertemuan Anda dengan Pak Harto itu?

Wah, saya enggak bisa omong dari sudut Pak Harto karena itu soal persepsi. Yang Penting bagi saya adalah cairnya hubungan antara NU dengan pemerintah, terutama di tingkat daerah. Karena selama ini, dampak negatifnya terasa betul di daerah. Yang Kedua, itu bukti bahwa NU sudah bisa menunjukkan kemandiriannya, menetapkan agendanya sendiri, menyusun realignment atau penyusunan ulang ketakutan yang ada di dalam dirinya, dari bawah sampai ke atas. Itu menunjukkan bahwa Pak Harto itu jalan pemikirannya sangat rasional, dan mengikuti pertimbangan keseimbangan kepentingan berbagai pihak. Jadi, jangan melihat bahwa kalau Pak Harto datang ke NU, dia hanya berpikir tentang dia sendiri dan NU, tapi juga harus dilihat konfigurasi semua kepentingan yang ada.

Benarkah kehadiran Pak Harto di Genggong itu merupakan tindakan simbolis pemihakan Pak Harto kepada Islam?

Ada, tapi juga tak bisa diletakkan begitu saja. Kan dia harus juga menyeimbangkan yang lain-lain, yang nongerakan Islam dan gerakan non-Islam.

Apakah pertemuan itu merupakan langkah Pak Harto untuk mengimbangi kekuatan politik Islam NU-Muhammadiyah-ICMI?

Sebenarnya enggak benar jika dibilang begitu. Dari dulu Pak harto sudah melakukan itu, selalu membuat politik penyeimbangan. Jadi, enggak ada yang baru dalam hal ini. Yang penting, masuknya konfigurasi baru yang beliau dorong atau beliau biarkan. Beberapa faktor itulah, menurut saya, yang sangat menentukan. Jadi, saya tidak melihat Pak Harto ingin menjadikan NU sebagai penyeimbang Muhammadiyah atau ICMI.

Pak Harto itu enggak kayak yang diduga orang. Kalau hubungannya dengan A berkembang ke satu arah, maka untuk mengimbangi, lalu hubungannya dengan B menuju ke arah lain. ICMI Enggak begitu cara berpikirnya Pak Harto. Saya lihat Pak Harto lebih mementingkan bagaimana mengonsolidasi hasil-hasil yang telah dicapai, kemudian merambah hal-hal baru. Makanya, makin lama akumulasi keseimbangan yang beliau bikin itu jadi tambah matang.

Anda mengatakan, peristiwa tersebut merupakan koreksi atas koreksi yang dilakukan Pak Harto. Apa maksudnya?

Dulu, sebelum tahun 1980-an, gerakan Islam belum mendapat santunan. Atau kalau dilihat dari sudut lain, kurang mampu memanfaatkan peluang. Lalu, tahun 1980-an kemarin, tandanya yang paling transparan adalah naiknya Pak Try, seorang tentara santri dari KSAD lalu menjadi Pangab. Itu bisa dijadikan contoh. Di situ tampak bahwa orang-orang santri itu mumpuni (unggul). Lalu mereka masuk dalam jumlah yang cukup besar.

Tapi, tahun 1990-an, ditandai pula oleh kecenderungan untuk mengambil pihak santri yang justru berpikir sangat politis. Mereka menginginkan dominasi total atas kehidupan politik. juga menguasai Golkar dan PPP sebagai orsospol, lalu birokrasi dan ABRI. Lalu muncullah jenderal santri yang demikian aktif dan agresif dalam “memperjuangkan kepentingan Islam” hal yang mengejutkan. Apa yang mereka inginkan tentu saja ditolak oleh yang lain. Nah, memperhitungkan adanya penolakan itulah, Pak Harto harus melakukan koreksi lagi atas sikap yang mau “sok dominan” itu. Jadi, dengan kata lain, Pak Harto mencoba untuk mencari, katakahlah, pola final hubungan dengan gerakan Islam.

Wujud konkretnya seperti apa?

Lebih banyak dalam sikap-sikap, tapi dalam institusional tak banyak perubahan karena koreksinya juga atas sikap, toh? Sikap dari gerakan Islam yang militan itu. Itu pun bukan gerakannya lo yang dikoreksi, tapi jumlah tenaga-tenaga pokoknya. Misalnya, dalam pergantian orang. Jadi, bukan gerekan Islamnya an sich yang digarap. Tapi lebih banyak katakanlah kapling mereka dalam orsospol, birokrasi dan dalam ABRI.

Dalam kondisi seperti sekarang ini, apa yang dapat diharapkan, kecuali orientasi kekuasaan? Lebih banyak mempertahankan status quo sebenarnya. Tapi, itu juga tak jelek-jelek amat. Karena dalam masa transisi memang pencarian status quo itu merupakan suatu hal mutlak perlu. Hanya, jangan mengalahkan elemen-elemen perubahan. Gabungan antara pengukuhan status quo dan pencarian elemen-elemen perubahan, keseimbangannya sangat menentukan kualitas kepemimpinan yang berjalan di masa transisi itu sendiri.

Di Situbondo, bagaimana Anda bisa ketemu Jenderal Hartono?

Saya dapat pesanan dari orang-orang, “Gus sebaiknya sampeyan ke Situbondo, biar bisa bertemu Pak Hartono, bisa ngobrol, ada kesempatan. “Iya wis tah, kebetulan saya ada di Jawa Timur. Ternyata betul, saya diterima Kiai Fawaid di rumahnya, lalu duduk di samping Pak Hartono, yang lebih banyak bicara dengan Kiai Badri.

Anda juga sudah rujuk dengan Pak Hartono?

Jarno wae, sak karepe… (Biarkan saja, semaunya, Red)

Itu kan baru pertama kali Anda bertemu KSAD?

Dia juga ngomong begitu. “Alhamdulillah saya kemari, ketemu sama Gus Dur pertama kali”, katanya. Padahal, ya enggak, ha-ha-ha… Artinya, waktu takziah wafatnya Ibu Tien di Cendana, saya salaman dengan beliau, juga saat di Cipasung. Mungkin maksudnya, dia pertama kali bertemu sambil omong-omong, gitu lo. Tapi, saya tak melihat ada sesuatu yang spesial.

Jadi, berbeda dengan sikap protokol dalam Muktamar di Cipasung, yang menghambat Anda mendekati Pak Harto?

Enggak juga. Saya tak melihatnya begitu. Saya juga dapat tempat di dalam ruang silaturahmi bersama Pak Harto. Sepuluh orang dikasih tanda masuk, tapi ada Agil Munawar dari PBNU yang tak kebagian tanda masuk, menyerobot. Jadinya kan kursinya berkurang. Saya kan mbagekno (menyambut) Pak Moer dan lain-lain. Saya masuk ke ruangan terlambat. Saya masuk lagi, masak mau duduk ngotot mengusir orang. Lalu saya duduk di luar lagi bersama Bupati Tasikmalaya.

Kalau begitu, tidak benar bahwa waktu itu ada upaya terkoordinasi untuk menghindarkan pertemuan Anda dengan Pak Harto?

Enggak ada. Yang ada (saat itu) saya tak boleh pidato, seperti kemarin (di Genggong) itu. Aturan protokolnya memang begitu, satu organisasi satu orang. Yang mendampingi Pak Harto memukul beduk juga dibatasi. Yang duduk dekat Pak Harto hanya Kiai Ilyas. Satu dari pemerintah pusat, Menteri Tarmizi, lalu Setneg, Gubernur, lalu orang kesatu dari organisasi. Saya agak jauh duduknya.

Jadi, sekarang ini, sikap Anda akan berubah terhadap pemerintah?

Ah, enggak. Sikap saya enggak berubah. Sikap saya konsisten dari dulu. Apa berarti terus berlomba-lomba ke Pak Harto, kan enggak? Ngapain, wong enggak ada perlunya. Saya ngomong tetap seperti biasa, kok. Kalau saya betul nyaris putus, baru saya berubah.

Anda kan dinilai sudah melakukan koreksi dini..

Ya, tidak. Maaf saja. Mana yang saya ubah itu?

Misalnya, Anda meminta agar Megawati menghentikan upaya-upaya hukumnya di pengadilan…

Nanti dulu. Itu untuk kepentingan Mega. Saya kan sudah mengantisipasi supaya dia enggak terjerumus. Maka itu saya megok (belokkan) duluan, hingga Mega bilang, secara pribadi dia senang dengan imbauan saya itu. Tapi, kan keputusan di tangan DPP. Jangan disangka itu perubahan mendadak. Saya tetap Megais. Dalam hal kepemimpinan Mega, saya tetap ikut Mega.

Tapi, pernyataan Anda itu ditanggapi positif oleh Pangab…

Ah, itu sih urusan dia. Saya itu enggak ambil pusing. Mana sih habis itu saya manfaatkan, misalnya lalu sowan ke Pangab, kan enggak? Saya bicara begitu bukan mau meringankan beban pemerintah dalam menghadapi masalah PDI. Yang saya lakukan justru ingin meringankan beban Mega. Itu demi kesayangan saya kepada dia. Supaya option dia tetap terbuka, gitu lo. Jangan sampai dia mati langkah pada satu pilihan saja.

Setelah Mega kalah, Anda minta dia mundur. Bukankah itu demi politik kepentingan Anda, yang salah kalkulasi?

Oh, tidak. Saya tidak mendasarkan pada politik kepentingan. Saya tidak ikut politik kepentingan. Wong saya tahu Mega dari dulu akan keok. Saya juga tahu Mega tidak besar kekuatannya. Jadi, ketika terbukti Mega dikalahkan, saya memang sudah tahu suatu waktu dia bisa digitukan. Tapi saya mendukung Mega bukan karena kalah-menang, melainkan karena apa yang dia lakukan itu benar. Saya enggak punya kalkulasi, yang ada ialah komitmen. Kalau kalkulasi, itu orang yang enggak punya komitmen.

Tapi, Anda lalu menyatakan, NU siap mengamankan terpilihnya kembali Pak Harto. Bukankah itu demi kepentingan politik?

Enggak ada. Itu karena dia presidennya, bukan karena apa-apa. Siapa pun (yang terpilih, red.), NU akan mengamankan. Waktu itu kan ada desas-desus bahwa akan timbul perlawanan terhadap Pak Harto. Saya enggak melihat Pak Harto-nya lo, ya. Tapi, presidennya. Makanya saya katakan, kalau ada gangguan terhadap Presiden Republik Indonesia, NU akan campur tangan. Tapi jangan dilihat dari konteks politik praktis. Itu komitmen kenegaraan. Karena apa Negara kita masih berada pada garis batas yang tipis antara kekuatan sosial politik yang seharusnya mempertahankan sistem. Tapi kita tahu, di negara kita masih ada orang-orang yang sering berusaha mau merongrong sistem. Karena itu, organisasi kemasyarakatan sebenarnya juga harus mengambil peran politik untuk mengamankan sistem tersebut. Bukan karena kita ada kepentingan, tapi karena komitmen kita kepada negara ini. Kami enggak mau negara ini pemerintahannya ambrol, enggak mau.

Apakah Anda akan mengurangi sikap kritis terhadap pemerintah?

Nanti dulu. Kalau itu yang dipakai ukuran, kan saya enggak ada perubahan. Kenapa Pak Harto turun ke Genggong? Kalau dasarnya saya bersikap kritis, kalau enggak disenangi, kenapa Pak Harto datang? Mengkritik ya tetap mengkritik…

Jadi, Anda belum berubah, ya?

Enggak berubah. Sampai sekarang masih seperti dulu.

Selama ini Anda masih menjalin hubungan dengan orang pemerintah?

Iya. Kalau akrabnya sama Moerdiono. Pak Moer dari dulu kan kepada saya enggak berubah. Ada gini, ada gitu dia enggak berubah, tetap biasa-biasa. Segala macam permohonan saya dikabulkan. Mau ini, mau itu supaya dia datang, dia pidato, dia datang. Pak Edi Sudradjat, Soesilo Soedarman, juga gitu lo. Dari dulu enggak ada perubahan apa-apa.

Apakah Anda berharap, setelah di Genggong itu, tokoh-tokoh pemerintahan lain juga akan berubah sikap terhadap Anda?

Ya, kita tenang sajalah. Mau begitu, baik deh. Saya ini ayem-ayem saja kok dari dulu. Pertama, saya enggak punya emosi apa-apa. Saya enggak khawatir putus. Seandainya saya dipelototin, saya tetap tidak takut bahwa saya akan merasa gimana… gitu, lo. Sebaliknya, saya menghargai orang kayak Pak Moer. Sikapnya keduluran (kekeluargaan, Red.) betul di luar soal jabatan. Artinya, penghargaan Pak Moer kepada saya, saya rasakan penghargaan pribadi. Dan saya menghargai Pak Moer juga secara pribadi gitu.

Terus terang saja, semua orang bertanya kepada saya, siapa yang paling pantas jadi wakil presiden, ya, Moerdiono. Saya jawab begitu. Ini hati saya bicara, saya enggak peduli. Saya pribadi lo, ya. Jawab saya, Moerdiono.

Alasannya?

Itu penghargaan pribadi saya kepada beliau. Saya anggap Moerdiono yang paling pantas memimpin negara ini di masa depan, Bukannya saya enggak tahu kelemahannya lo, ya. Tapi kayaknya dia mempunyai kelebihan dalam memandang orang lain. Jadi, saya respek pada pribadi dia itu. Sikap seperti dia enggak dimiliki para pemimpin kita yang lain. Maaf saja, lo.

Sama Benny Moerdani masih erat?

Erat. Terlalu erat dengan Moerdani. Itu juga berlaku untuk Pak Try, dan Pak Edy, sebagai orang militer, ya. Tapi, yang paling akrab dengan Pak Moer. Tentu saja saya memilih favorit saya itu Pak Moer.

Apa pertimbangan politis Anda menjagokan Moerdiono? Kan masih banyak calon lain?

Wong pantas kok. Sampeyan kan perlu pertimbangan lain selain secara politis. Nah, saya melihat sosok Moerdiono sebagai seorang manusia. Itu pun saya tahu belum tentu Pak Moernya mau. Mungkin dia lebih enak jadi Mensesneg dari pada jadi wapres malah. Tapi, kalau saya ditanya, siapa sih manungso Indonesia yang paling pantas jadi wapres? Moerdiono. Hati saya omong begitu. Kalau dia ingin atau enggak, Pak Harto ingin atau enggak, orang lain ingin yang lain saja, enggak penting itu bagi saya.

Kalau Edi Sudradjat, bagaimana?

Sebenarnya, saya enggak mau ikut spekulasi soal wapres. Tapi, kebetulan saja Anda tanya soal Habibie, kemudian kita bicarakan. Saya enggak mau ikut bicara soal wapres. Terlalu banyak warga Indonesia yang bisa jadi wapres. Jadi, enggak usah digembor-gemborkan. Hartarto, Moerdiono, Edi Sudradjat, Rudini, dan yang lain di pemerintah juga banyak yang pantas jadi wapres

Kalau Edi Sudradjat, bagaimana?

Saya enggak mau mengikuti ya atau tidaknya.

Kalau Pak Try lagi?

Oh, lebih dari pantas.