Dialog Tantangan Kepemimpinan Islam 1: Mampukah Menjawab Religiusitas yang Keropos?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dialog tentang kepemimpinan umat Islam ini menyembulkan beberapa hasil pengamatan menarik. Hal-hal menarik itu tidak hanya menyangkut jenis kepemimpinan yang berkembang secara historis selama ini, tetapi juga sisi-sisi lain yang memerlukan bahasan lebih jauh. Sisi-sisi lain itu meliputi kultur kepemimpinan umat Islam di negeri kita, posisi strukturalnya, dan cara-cara pengorganisasian kepemimpinan itu.
Dari tilikan atas ketiga sisi di atas barulah dapat dilakukan proyeksi kepemimpinan masa depan, termasuk langkah-langkah yang harus diambil. Dalam tulisan ini akan disoroti serba sedikit tentang kultur kepemimpinan umat Islam yang ada selama ini dan selanjutnya akan dibuat proyeksi kepemimpinan umat Islam.
Sangat menarik untuk melihat bahwa para penanggap Muslim sama sekali tidak menilik unsur religiusitas kepemimpinan umat yang beraneka jenisnya itu. Hanya Romo Y.B. Mangunwijaya yang menekankan pentingnya arti dimensi religiusitas itu. Mungkin ini karena para penanggap lain telah mengambil kesimpulan pasti bahwa religiusitas atau semangat keberagamaan telah menjadi bagian inheren dari kepemimpinan umat itu. Bahwa mereka yang memperjuangkan peningkatan posisi, perbaikan keadaan, dan kualitas hidup umat Islam, dengan sendirinya telah dirasuki “semangat keagamaan” yang paten.
Benarkah demikian? Tilikan atas tulisan para penanggap itu ternyata menggambarkan kenyataan seperti itu. Secara sosiologis, mereka melihat adanya perkembangan silih bergantinya peranan ulama dalam kepemimpinan umat, antara ulama, birokrat keagamaan, dan para organisator. Bahkan, ada yang memastikan bahwa inisiatif sekarang telah beralih kepada para cendekiawan Muslim, dengan gagasan dan pemikiran mereka. Taufik Abdullah lebih jauh lagi melihat munculnya jenis kepemimpinan aktivis, pemikir masjid- masjid, dan kelompok kampus.
Jelaslah dengan demikian bahwa dinamika intern kepemimpinan umat adalah dinamika persaingan antarjenis kepemimpinan. Persaingan pengaruh dan peranan antara ulama, organisator, dan birokrat keagamaan. Pengamatan atas tulisan para penanggap itu berjalan seiring dengan hasil pengamatan “mata telanjang” selama ini. Adalah menggelikan untuk menganggap dimensi religiusitas itu telah mapan secara inheren dalam kepemimpinan umat Islam di negeri kita. Kepemimpinan yang ada, apa pun corak kolektifnya secara keseluruhan, ternyata belum mampu mengembangkan wawasan keagamaan yang mengolah ajaran agamanya secara utuh. Yang dicapai adalah “pendalaman” wawasan keagamaan yang bersifat parsial: “keagungan” agama melalui ukuran kuantitatif. Kalaupun diberlakukan ukuran kualitatif, hanyalah dalam dimensi normatifnya, seperti ketakutan akan dekadensi moral para remaja, erosi ukhuwah (persaudaraan) di kalangan sesama Muslim (dan para pemimpin mereka).
Belum muncul secara masif kepemimpinan yang meletakkan wawasan keagamaan Islam pada deretan bercakupan lebih luas, seperti memahami orang lain, atau memandang peradaban manusia dengan segala macam krisisnya sekarang ini sebagai milik kaum Muslim juga. Kebenaran teologis serbamutlak dari ulama dijadikan satu-satunya acuan, dengan melupakan kebenaran nisbi dari semua agama dalam pandangan sejarah sebagai tolok ukuran universal.
Oleh karena itulah, tiap-tiap jenis kepemimpinan lalu melihat kehidupan dan tantangan umat secara terkeping-keping. Para ulama melihat segala sesuatu dari asketisme (zuhd) ritual belaka dan menakuti ancaman “silaunya ragam duniawi” atas umat yang mereka pimpin. Sebagian masih bertahan pada posisi kesederhanaan hidup material dan penekanan pada ibadah ritual (mahdhah) yang digelar dalam intensitas tinggi secara berkelanjutan, termasuk versi modernnya, seperti MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran). Sebagian lagi tetap mengajukan protes atas erosi zuhd ritual itu, tetapi sambil menikmati kehidupan material yang sangat jauh berbeda dengan rakyat Muslim kebanyakan. Contohnya, para mubalig “profesional” yang bermobil Baby Benz atau BMW, dan selalu menuntut tiket kelas eksekutif kalau naik pesawat terbang.
Para organisator mempersoalkan ketertinggalan umat dalam pengembangan program perbaikan kualitas hidup umat apabila dibandingkan dengan umat agama-agama lain. Juga, selalu mengalahkan “kekuatan Islam” dalam pertarungan melawan kekuatan-kekuatan sekular. Oleh karena itu, “obat” yang ditawarkan adalah program-program tandingan terhadap “kemajuan” orang lain. Jadi, masih tetap dalam napas persaingan dan kecurigaan. Masih dipelihara semangat “kita” dan “mereka” terhadap saudara sebangsa dan seagama.
Para cendekiawan Muslim juga demikian. Semangat keagamaan mereka ditemukan dalam sejumlah ritus (ibadah) keagamaan, termasuk pengajian tingkat gedongan, dan dalam upaya mengejar ketertinggalan umat Islam dalam iptek dan pemikiran konsepsional serta konseptual. Oleh karena itu, para cendekiawan tersebut harus dikumpulkan dalam sebuah wadah yang secara sinergis akan melahirkan pemikiran dan konsep yang mampu mengangkat Islam ke medan laga dan memenangkan pertandingan. Celakanya, tidak dilakukan seleksi ketat atas keanggotaan wadah seperti itu sehingga misi mulia itu tercampur dan teraduk dalam ambisi politik dan kepentingan kelompok. Patut dipertanyakan, sudah adakah religiusitas yang luhur dalam sikap dan wadah semacam itu?
Di pihak lain, aktivis muda di kampus-kampus dan masjid-masjid menyaksikan itu semua dengan kebingungan luar biasa. Bukankah tawaran yang diajukan ketiga jenis pemimpin umat Islam itu sebenarnya hanyalah “jawaban duniawi” belaka, yang dipenuhi predikat Islam untuk menenteramkan hati yang gamang? Mereka mendambakan penggalian sumber-sumber spiritualitas agama mereka, dengan hasil konsep dan pemikiran Islam. Mereka terapkan “produk-produk Islami” itu dalam kehidupan mereka, yang jauh dari pamrih dan kepentingan kelompok. Mungkin karena inilah Taufik Abdullah melihat mereka sebagai masa depan yang dijanjikan (promised future).
Akan tetapi, sebenarnya mereka juga masih separo jalan, dan belum mampu memberikan jawaban konstruktif bagi persoalan mendasar umat Islam di negeri ini.
Di satu pihak, mereka baru bersikap reaktif terhadap tantangan yang dihadapi Islam. Kecurigaan terhadap ideologi sekular masih sangat besar mereka idap. Padahal, bagaimanapun juga, dalam panggung sejarah, Islam hanyalah salah satu dari sekian mata rantai peradaban umat manusia. Oleh karena itulah, sumbangan Islam harus diberikan dalam kerangka kebersamaan dengan semua pihak, bukan menyendiri di luar sejarah. Perkembangan terakhir di Iran memperlihatkan pentingnya pertalian antara Islam dengan pandangan hidup lain-lain dalam tatanan universal. UU perkawinan yang mengangkat derajat wanita, sikap pragmatik sambil tetap berpegang pada dasar-dasar Islam adalah contoh dari Iran itu.
Yang dikemukakan di atas menunjukkan kepada kita sebuah masalah dasar yang dihadapi umat Islam di negeri kita saat ini: masalah ketidakpastian moral dan spiritual dari kultur kepemimpinan umat Islam itu sendiri, serta masih meluasnya sikap memandang segala sesuatu dari satu sudut pandang, dan itu pun umumnya berdasarkan kepentingan masing-masing. Harus ada kerendahan hati (humility) bahwa keunggulan komparatif yang dimiliki ajaran Islam hanya berguna apabila digunakan untuk kepentingan keseluruhan umat manusia, bukan hanya untuk kepentingan umat Islam.
Oleh karena itu, kaum Muslim tidak dapat hidup menyendiri. Kepemimpinan umat harus mampu menyapa siapa pun, tidak hanya umatnya sendiri. Kegagalan memecahkan masalah orientasi kultural ini tidak akan mampu mengangkat derajat kuantitatif ataupun kualitatif umat Islam. Bahwa ada pemimpin umat beragama lain juga melakukan kesalahan yang sama, bukanlah alasan untuk menghindari keharusan universalisasi kepedulian kepemimpinan umat Islam.
Justru contoh beberapa kepemimpinan agama harus dijadikan perbandingan dalam hal ini. Mahatma Gandhi (Hindu) dengan ahimsa dan satyagraha-nya menumbuhkan rasa kasih sayang yang mendasari persaudaraan umat manusia. Kegigihan Martin Luther King Jr. (Kristen) menampilkan isu persamaan status manusia di mata Tuhan. Khomeini (Islam, kebetulan golongan Syi’ah) membawakan amanat perjuangan melawan tiran sekular dijadikan “agenda keulamaan”. Umat Islam juga harus mampu menghargai sumbangan besar orang-orang Yahudi bagi peradaban manusia di bidang iptek, filsafat, seni sastra, dan seterusnya. Padahal, mereka itu justru kenyang menerima kutukan Tuhan selama ini, dan sekarang pun masih belum memberikan hak adil kepada bangsa Palestina untuk menentukan nasib sendiri.
Dalam kenyataan, mereka yang berpandangan inklusif di kalangan para pemimpin Islam selalu menjadi minoritas dan sering “diadili” oleh kelompok-kelompok yang berpandangan sesisi. Seperti kasus Nurcholish Madjid beberapa tahun silam. Oleh karena itu, pantaslah dipertanyakan, mampukah kepemimpinan umat Islam menjawab kebutuhan mengisi kekeroposan spiritual ini? Jawaban emosional, apalagi yang menghardik, justru memperkuat pengamatan akan besarnya lingkup kekeroposan itu sendiri.