Dominasi Kiai dalam NU
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Ketika mengetahui dengan pasti, bahwa M. Natsir selaku Ketua Umum Partai Masyumi memutuskan, bahwa kekuasaan tertinggi dalam partai ada di tangan Dewan Partai, Ra’is ‘Am PBNU mengambil keputusannya sendiri. Ra’is ‘Am KH A. Wahab Chasbullah memerintahkan kepada ketua umum PBNU, KH A. Wahid Hasyim agar mengatur keluarnya NU dari partai tersebut. Hal itu terjadi dalam muktamar NU di Palembang tahun 1952, yang sekaligus menunjukkan dominasi ulama di lingkungan NU.
Hal ini, jarang sekali diketahui orang, yang dipakai umumnya adalah penafsiran kaum elitis, bahwa NU keluar dari partai Masyumi karena masalah kursi. Celakanya, “analisis” yang sangat dangkal seperti inilah yang digunakan oleh sejarah dalam menilai langkah-langkah NU keluar dari Masyumi. Bahwa ada alasan lain yang jauh lebih dalam dan jarang diketahui oleh orang banyak yang sekaligus bersifat menentukan. Akibatnya, NU sering tampak tidak konsisten, dan hal itu dikembalikan pada politik kepentingan/golongan.
Bahwa para kiai mempelajari hukum Islam (fiqh) dengan mendalam, melalui pengajian di Pondok Pesantren atau bangku sekolah di madrasah-madrasah, sering tidak diingat orang. Menurut acuan ini, salah satu syarat kepemimpinan (imamah) adalah pengetahuan (al-‘ilm), dan bukannya kekuasaan yang lahir dari pengumpulan suara terbanyak. Dengan sendirinya, ini berarti pengokohan dominasi ulama yang memenuhi persyaratan tersebut, dan tidak adanya hubungannya dengan politik kepentingan (interest politics). Kalau kita tidak memahami hal ini, kita tidak tahu mengapa para ulama bersikeras mempertahankan dominasi mereka dalam NU, sebagaimana diperlihatkan KH A. Wahab Chasbullah.
***
Bahwa, hal yang sama juga pernah terjadi pada Ra’is’ Am berikutnya. KH M. Bisri Sansuri, beliau hanya bersedia menjadi Ra’is ‘Am PPP ketika HMS. Mintaredja menjadi Ketua Umum partai tersebut. Setelah ada kepastian bahwa para Kiai dalam Dewan Syura memegang kata akhir dalam pengambilan keputusan PPP, baru beliau bersedia menjadi Ra’is Am partai itu sehingga PPP sendiri dapat didirikan pada paruh pertama dasa warsa tujuh puluhan. Hanya dengan kelicikan Ali Murtopo–yang kemudian mendorong J. Naro menjadi Ketua Umum, dominasi ulama itu baru dapat dipatahkan. Itu pun terjadi setelah KH M. Bisri Sansuri wafat pada tahun 1980.
Dilihat dari kejadian di atas jelaslah, bahwa masalah dominasi Kiai ini memegang peranan sangat menentukan di lingkungan NU. Ini disebabkan oleh besarnya peranan penalaran fiqh atas keputusan-keputusan yang diambil. Kalau ini tidak dipahami maka segala macam bentuk pembaruan yang dilakukan di lingkungan NU tidak dapat berjalan. Perbaikan institusional, baik berbentuk pelatihan pengembangan sumber daya manusia maupun modernisasi alat-alat administratif yang digunakan (seperti komputer) hanyalah perbaikan “luar” yang tidak mengurangi kewibawaan dan dominasi ulama dalam organisasi tersebut. Ini dapat dibandingkan dengan hirarki kepemimpinan formal di lingkungan kaum Katholik.
Dominasi inilah yang terusik ketika Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi membuat pernyataan, bahwa terlalu banyak Kiai menjadi anggota DPR (dipahami sebagai keanggotaan DPR-RI dan DPRD). Akibatnya, turun perintah dari sejumlah ulama agar penulis menyelenggarakan Muktamar Luar Biasa (MLB) NU, dengan hasil penulis minta waktu satu tahun jika gagasan itu harus dilaksanakan. Kalau dalam masa tersebut PBNU mengubah sikap dan para Kiai tidak lagi memerintahkan MLB itu maka MLB-NU tidak jadi dilaksanakan setelah masa tersebut.
***
Dominasi ulama dalam tubuh NU itu, merupakan manifestasi dari sejarah berdirinya NU, yang memang dimaksudkan untuk menjadi wadah dominasi seperti itu. Watak demikian itu, akhirnya membawakan masalah-masalahnya sendiri, yang dengan cermat dan arif kita telusuri. Kegagalan memahami hal ini hanya akan membawa “pembaruan” yang justru dianggap oleh para Kiai tersebut sebagai ancaman bagi kelangsungan maksud NU didirikan semula.
Di lingkungan para penganut agama Kristiani (Katholik dan Protestan) persoalan ini dipecahkan dengan membagi wewenagng antara hirarki formal gereja dan wewenang kaum awam (laymen). Di samping hirarki resmi Vatikan, di Roma terdapat perkumpulan orang-orang awam (laymen), seperti komunitas St. E’Gidio. Sedangkan dalam Islam, hal ini belum pernah dibicarakan. Karenanya, dipandang sudah waktunya hal ini dibicarakan secara serius karena kegagalan dalam memahami hal ini lebih jauh akan membuat semakin tegang hubungan pimpinan dan anggotanya.
NU mencoba mengatasi masalah ini dimasa lampau, dengan jalan membentuk sayap Syuriah (dewan agama) dan sayap Tanfidziyah sebagai pelaksana. Cukupkah “pemecahan” seperti ini, ataukah juga harus didirikan perkumpulan orang awam-seperti yang terjadi di lingkungan para pengikut Kristiani? Sudah selayaknya jika saat ini terjadi “pemberontakan” dari orang muda terhadap para ulama, masing-masing menggunakan ukuran yang berlain-lain.