Dua Kekuatan Sedang Wawuh
Gus Dur di Golkar: Inilah wawuh formal dua kekuatan besar. Golkar kekuatan politik terbesar saat ini. NU kekuatan besar di bidang soaial keagamaan. Kata Gus Dur: Rasa keterikatan untuk bersama melestarikan negara merupakan syarat utama tercapainya tujuan negara.
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Golkar “adalah satu kekuatan besar sosial politik di tanah air kita dewasa ini. Jelek-jelek, NU juga kekuatan besar.” Dengan demikian-kata Abdurrahman Wahid, Ketua PBNU, mengawali pidato peringatan Israk Mikraj Nabi Muhammad saw, yang diselenggarakan DPD Golkar Jatim akhir Maret lalu.-
‘NU dilukiskan sebagai kekuatan besar dalam bidang kemasyarakatan, dan khususnya bidang keagamaan’. Inilah yang memberi alasan Gus Dur untuk hadir ketika diundang untuk berceramah di hadapan massa Golkar. “Menjadi kewajiban saya untuk menerima undangan ini. Kalau yang kecil saja kita hormati, mengapa pula yang besar tidak boleh dihormati. “Begitu tandasnya seraya mengutip sebuah Hadits yang artinya: “Bukan golonganku, orang yang tidak sayang pada yang kecil dan tak menghormat kepada yang besar”.
Arti kecil, di sini orang segera menghubungkan kesediaan PDI Jatim sepuluh hari sebelum masa kampanye dimulai. (Lihat judul; Orang NU Kok PDD). Tetapi ketika dikatakan, “kita sayang kepada yang kecil, kalau seumpama sekali-sekali dijewer, kan karena sayangnya,” orang pun maklum yang dimaksud adalah PPP. Sebab partai berlambang bintang itu dalam kampanyenya selalu mengatakan bahwa NU tetap PPP. Padahal secara luas sudah diketahui, sejak muktamar NU ke-27, dan diperkuat muktamar PPP di Ancol, NU sama sekali sudah tidak dengan organisasi politik manapun, dan PPP sendiri menyatakan sudah tidak mempunyai unsur apa pun.
Dari sini dapat dinilai bahwa PPP dengan sengaja memanipulasi hasil muktamar demi kepentingan pengumpulan suara dalam pemilu 1987 ini. Dan karena itu NU berkewajiban menjelaskan kepada warganya akan keputusan muktamarnya yang benar melalui peringatan harlah ke-61 ini. Kebetulan suasana harlah itu bersamaan dengan masa kampanye. Lalu orang mengatakan, harlah NU itu berisi penggembosan PPP. Mungkin itulah yang disebut Gus Dur dengan dijewer.
Dalam kesempatan ini pula, Abdurrahman putra KHA Wahid Hasyim, menegaskan kembali akan tidak terikatnya warga NU dalam memilih tanda gambar dalam pemilihan tahun ini. NU sama sekali tidak memberikan arahan. Hanya diserukan untuk menggunakan hak pilihnya dengan penuh tanggungjawab dan akhlakul–karimah. “Yang mau pilih Golkar silakan. Tapi kalau masih ada yang ingin terus dengan pacar lama, meski sudah kudisan, ya silakan. Demikian pula kalau mau kumpul banteng terserah. Sebab yang haram itu kan kumpul kebo,” selorohnya disambut ketawa hadirin.
Pengajian malam itu memang bukan dimaksudkan untuk kampanye, sebagaimana dikatakan Hudan Dardiri pada menyampaikan kata sambutan atas nama DPD I Golkar Jatim. Itulah sebabnya, kendati massa Golkar memadati Gelora Pancasila yang berkapasitas lebih 6000 orang, bahkan sampai meluber keluar, tak ada satu kata pun yel–yel Golkar. Suasana pengajian diharap tercipta.
Peringatan Israk Mikraj ini dihadiri oleh orang-orang teras Golkar Jatim. Duduk berturut-turut mendampingi Ketua PBNU: Mohammad Said (ketua), Wahono (Ketua Dewan Pertimbangan/Gubernur), dan Blegoh Sumarto (Ketua DPRD Jatim), dan Drs. Akbar Tandjung (Wakil Sekjen DPP Golkar).
Itulah sebabnya, forum semacam ini dinilai oleh Gus Dur sebagai pertemuan yang pertama dengan Golkar sebagai wawuh formal setelah lebih 15 tahun prengutan NU-Golkar. Wawuh di antara dua kekuatan besar dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Yang satu sebagai kekuatan sosial-politik, dan yang satu kekuatan sosial keagamaan. Ini penting.
Dan ini berkaitan langsung dengan hikmah Israk Mikraj. Perjalanan Rasulullah dari Makkah ke Palestina, diteruskan ke langit, merupakan perjalanan tidak masuk akal, tapi sangat penting. Satu di antara yang terpenting itu adalah diterimanya perintah menegakkan shalat lima waktu dalam sehari.
Menurut cucu Chadhratusy Syaikh KH Hasyim Asy’ari ini fungsi shalat ini kaitannya dengan firman Allah dalam Al-Quran 33/21. “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu bagi orang yang mengharap Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Jadi yang bisa meniru ketaladanan Nabi itu ialah “orang yang mengharap keridhaan Allah, hari kiamat, dan yang sadar akan keagungan Allah,” begitu ungkapannya.
Tiga persyaratan itu mempunyai sarana penunjang, yaitu shalat. Tanpa shalat, orang tak akan bisa meneladani Rasulullah. Jadi shalat di sini sangat penting karena menentukan berhasil dan tidaknya. Walhasil, sarana penunjang itu perlu perhatian khusus.
Selanjutnya Gus Dur mengaitkan hal ini dengan kehidupan kita saat ini. Yakni kesibukan kita sedang membangun yang sesuai dengan cita-cita kemerdekaan negara kita. Yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. “Untuk bisa mencapai kesempurnaan menjalankan tugas tersebut, kita memerlukan sarana penunjang”. Tandasnya.
Mencapai tujuan negara dengan cara pembangunan ini bukanlah hal yang mudah. Berhasil dan tidaknya tergantung apakah kita mampu mewujudkan sarana penunjangnya. Yaitu “berpegang teguh pada janji bersama untuk mendirikan masyarakat bangsa, dan tanah air Indonesia. Masyarakat yang tunggal, yang tidak terpisah-pisahkan -yang bagaimanapun akan terikat satu bagiannya dengan bagian yang lain tanpa dapat diputuskan oleh apa pun yang menghadang kita di masa datang”.
Ini persyaratan yang harus kita miliki. Perbedaan karena berlainan agama, bahasa, lapisan sosial ekonomi yang berbeda, ataupun perbedaan lainnnya, tidak boleh menghapuskan rasa keterikatan kita sebagai satu bangsa.
Sehubungan dengan hal ini, Gus Dur menyitir pendapat Abdurrahman Ibnu Khaldun, bapak sosiologi dan sejarah pertama dalam ilmu pengetahuan dalam bukunya “Mukaddimah”. Agama saja belum bisa menjadi alat perekat kesatuan, tanpa unsur lain. Alat perekat itu oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai ashabiyah. Ini bisa tercipta karena kesamaan teritorial, asal usul bangsa, kesamaan etnis, bahasa, juga karena kesamaan budaya. Jadi agama hanya bagian dari perekat saja.
Maka dari itu Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa inti perjuangan manusia adalah peradaban. Bila peradaban memerlukan, keterikatan satu dengan yang lain dibentuk dengan kesepakatan bersama.
Kalau ini yang kita jadikan titik tolak, maka di hadapan kita terbentang panorama yang luas. Pemandangan masa depan bangsa kita yang baik. Kalau ini yang menjadi titik tujuan pandangan kita, maka bisa kita rasakan betapa benarnya rumusan Al-Quran tentang masyarakat semacam itu sebagai baldatun thoyyibatun wa robbun ghofuur. Suatu masyarakat sejahtera penuh ampunan dari Tuhan. Pengampunan Tuhan ini adalah visi kita.
Al-Quran merumuskan demikian karena Allah tahu persis, suatu ketika ada keterikatan golongan atau ikatan-ikatan kemasyarakatan yang dapat dikembangkan menuju kepada masyarakat sejahtera, penuh pengampunan dari Tuhan semesta alam. “Inilah sasaran kita, dan inilah yang kita tuju,” kata Ketua PBNU ini.
Dan untuk mencapai yang kita tuju itu perlu sarana penunjang. Yakni sebuah negara yang disepakati bersama. Di abad modern ini, tidak bisa dibayangkan adanya, sebuah masyarakat mencapai cita-cita tanpa negara. Kalau masyarakat tanpa negara, hanya akan berfungsi simbolik. Tidak bisa berfungsi penuh sebagai wahana menciptakan kehidupan bersama.
Maka dalam mencapai tujuan masyarakat adil makmur berdasar UUD ’45 dan Pancasila itu memerlukan negara yang kokoh sebagai sarana penunjang. Perlu pelestarian dan pelembagaan negara yang kuat. Tanpa ini tidak mungkin bisa dicapai cita-cita sebuah negara.
“Karenanya dalam kesempatan ini –kata Gus Dur—saya sekali lagi minta perhatian yang sungguh-sungguh dari semua warga masyarakat kita, baik yang NU maupun yang bukan, baik keluarga besar Golongan Karya, kaum Muslimin maupun yang bukan, agar kita semua memperkuat adanya negara. Mempertahankan negara dengan segenap daya dan kemampuan kita semua”.
Lebih-lebih setelah kita berasas tunggal Pancasila, mampukah kita menjaga keutuhan negara. Tugas melestarikan negara saat ini memang merupakan titik yang paling rawan. Kalau kita tidak mampu, kita akan mengalami kemandekan total. Dan dari itu terurailah ikatan-ikatan yang selama ini telah menyatukan kita.
Abdurrahman Wahid menyadari, bahwa ajakan serupa ini menimbulkan cemooh dari beberapa pihak. Ada tuduhan seolah-olah hanya memperkuat pemerintah saja, mengabaikan swasta, mempertahankan statusquo, menutup mata terhadap kekurangan-kekurangan kita sebagai bangsa. Atau bahkan ada yang menuduh “bicara begitu mendapat bayaran berapa?”
Biarlah semua itu berlalu, kata Gus Dur. Sebab sekali kita lupa akan pentingnya melestarikan dan memperkuat negara, yang menyusul adalah terurainya keterikatan kita satu dengan yang lain. Kalau ini terjadi, maka sia-sialah pengorbanan para syuhadak. Sia-sialah pengorbanan generasi yang merebut kemerdekaan.
Di saat semacam ini–sebagaimana hikmah Israk Mikraj bagi Nabi–kita diuji, apakah mampu melewati garis batas. Dari masa terkotak-kotak ideologi ke masa tanpa kotak. Yakni asas tunggal. Sekarang memasuki era tanpa pengkotakan. “Ini mengandung implikasi-implikasi yang besar di kemudian hari,” kata Gus Dur memperingatkan.
Justru tidak terkotak-kotak kita tak boleh lupa akan pentingnya kelestarian negara. Sekali kita lalai dan lengah, maka kita akan dikoyak-koyak oleh kepentingan nonideologis.
Untuk itu kita harus mampu mendudukkan masalah dengan tepat. Kita tidak boleh mengalahkan kepentingan bersama yang telah kita sepakati. Sebagai orang Islam tak boleh mementingkan Islam dengan mengorbankan kepentingan nasional. Sebab kepentingan nasional juga kepentingan Islam. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an 21/107, “Dan tiadalah Kami mengutus kami, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”.
Jadi Rasul itu sebagai penyejahtera umat manusia. Tentu kita harus mewarisi tugas penyejahteraan ini. Bagi negara RI, di pundak kaum Muslimin tugas menyejahteraan ini bersumber. Baik dari Pancasila sebagai ideologi negara, maupun dari agama sebagai inspirasi tertinggi.