Ekonomi, Kejujuran, dan Keterbukaan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Selama ini, ekonomi kita masih didasarkan pada sikap mengutamakan usaha-usaha besar dan menganaktirikan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Sikap ini, dimulai dari kebijaksanaan Benteng (perusahaan pribumi) di zaman Soekarno. Akibatnya segala macam kredit diberikan pada usaha besar, dan sedikit sekali perhatian diberikan pada UKM.
Terutama dalam sepuluh tahun terakhir ini, sikap itu menjadi sesuatu yang tidak etis, yaitu membiarkan usaha besar melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum. Puncaknya adalah pemberian BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) kepada sejumlah konglomerat, yang selanjutnya melarikan kredit itu ke luar negeri. Karena itu, penulis mengajak seluruh bangsa untuk mengembangkan ekonomi rakyat yang selama ini terbukti justru menjadi pelopor ekonomi yang baik. Kalau Dr Amien Rais mengatakan, bahwa kita tidak ada perbaikan ekonomi dalam tahun-tahun terakhir ini, ekonomi rakyat ternyata membuktikan kebalikannya.
Hingga sekarang, lapangan terbang, pelabuhan-pelabuhan dan stasiun-stasiun kereta api penuh dengan orang yang lalu lalang bepergian. Ini menunjukkan ekonomi rakyat tidak terganggu dan berfungsi dengan baik. Persediaan barang, iklan-iklan di media masa, dan pembuatan rumah sederhana dan sangat sederhana (RS/RSS) juga menunjukkan bahwa ekonomi kita sudah mulai membaik. Hanya di sektor saham dan harga kurs devisa luar negeri yang tampak labil, disertai penurunan sejumlah usaha besar dan ketakutan orang untuk menanamkan modalnya di negeri ini.
***
Dalam menyambut ekonomi rakyat ini, ketua Bappenas Drs Kwik Kian Gie menyatakan, kesediaan pemerintah melaksanakan ekonomi rakyat. Ini menimbulkan pertanyaan, dapatkah pemerintah sekarang memimpin kebangunan sebuah ekonomi rakyat? Jawabnya tentu saja tidak, karena beberapa faktor.
Pertama, pemerintah tidak memiliki orientasi kerakyatan. Memang, pernah dinyatakan bahwa salah satu program kerja kabinet adalah membangun perekonomian rakyat. Tetapi, ini hanyalah sebuah lelucon saja, karena RAPBN 2002 yang diajukan ke DPR-RI dan disahkan oleh lembaga itu, ternyata justru memperlihatkan kebalikannya. Usaha-usaha besar tetap dimanjakan dan alokasi dana pengembangan UKM masih sangat kecil.
Pinjaman luar negeri yang dibayar tahun ini berjumlah sangat besar, dan dengan demikian cukup alasan bagi bank-bank internasional memberikan pinjaman lagi kepada para pengusaha kita dengan garansi pembayaran kembali hutang-hutang itu. Jelas tampak di sini, betapa besar pemihakan kepada para pengusaha besar kita dilakukan oleh RAPBN 2002 ini. Apalagi ditambah sikap pemerintah untuk meminta pinjaman baru milyaran dollar Amerika untuk menutup kebutuhan kita tahun depan.
***
Jelas dari uraian di atas, bahwa kebijakan pemerintah akan menuju kepada kebalikan ungkapan Kwik Kian Gie, yakni pemerintah kita akan memberikan perhatian pada ekonomi rakyat. Persyaratan sebuah ekonomi rakyat, haruslah adanya pemerintahan yang dicintai dan didukung rakyat–ternyata, hal ini tidak dipenuhi oleh pemerintah. Dalam hal ini, fakta yang berbicara, bukan sekadar angan-angan serta keinginan penulis saja.
Karenanya, kita tidak perlu menunggu uluran tangan pemerintah saja. Sebagai bangsa, kita harus berani dan benar-benar mendorong bertambah besarnya peran UKM dalam perekonomian. Dengan kata lain, ekonomi rakyat digalakkan dengan tidak melihat pemerintah sudah siap untuk itu atau belum. Pelembagaan sebuah entitas yang benar-benar mendorong majunya ekonomi rakyat harus kita jalankan. Di sinilah, nantinya, terletak peranan masyarakat, yang akan lebih menjamin pelaksanaan ekonomi rakyat di masa depan yang dekat ini.
Di sinilah sebuah kejujuran dan keterbukaan–dengan ungkapan lain transparansi total, sangat diperlukan. Kredibilitas lembaga seperti ini sangat ditentukan oleh adanya transparansi tersebut. Jelaslah dengan demikian, antara kejujuran dan keterbukaan di satu pihak dan etika dalam berekonomi di pihak lain, sangatlah diperlukan. Ekonomi tanpa etika hanyalah akan membawa kesengsaraan bagi bangsa kita.