Elitisme, Populisme, dan Profesionalisme Kerakyatan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Yang dimaksudkan dengan elitisme adalah pandangan, bahwa hanya “cabang atas” masyarakat saja yang tepat pandangannya. Rakyat terlalu bodoh, karena mereka tidak terdidik. Dengan demikian, pengetahuan mereka tidak tersusun dengan baik dan dengan sendirinya pandangan yang dihasilkannya juga tidak baik. Walhasil, rakyat yang bodoh itu hanya sedikit pengetahuannya, tidak seperti para elit yang memerintah.
Pandangan serba elit ini sangat berpengaruh dalam masyarakat kita, karena kebetulan hanya sedikit orang terdidik dengan baik dalam era kolonial. Dalam pandangan ini, orang yang harus paling banyak didengar adalah kaum birokrat. Dan karena birokrasi itu bersandar pada kekuatan militer, maka para pemimpin militer pun lalu dianggap lebih tahu dari pada yang lain-lain.
Mereka dinilai memiliki kemampuan mengatur masyarakat, dan dengan demikian mereka lebih tahu dari siapa pun di lingkungan masyarakat tersebut. Ironisnya, pendapat mereka tentang masyarakat, dianggap sebagai kata akhir yang tak terbantahkan lagi.
Pandangan bahwa para birokrat dan pemimpin militer lebih tahu tentang keadaan dari pada masyarakat itu sendiri, lebih diperkuat lagi dengan munculnya Orde Baru dalam sejarah kita. Mereka mengklaim lebih tahu dari siapa pun tentang masyarakat, dalam sebuah ilusi yang dipercayai hampir semua pihak. Di sinilah sebenarnya letak dari tragedi elitisme itu.
Populisme adalah kebalikan dari elitisme. Terdapat dalam pandangan ini idealisasi pendapat rakyat sebagai satu-satunya kebenaran. Padahal, yang sering dilemparkan sebagai wacana adalah pandangan sang pemimpin. Pandangan seseorang itu, dilontarkan sebagai pendapat rakyat, sedangkan rakyat sendiri tidak tahu menahu tentang hal tersebut. Terjadilah sebuah manipulasi dalam proyeksi pendapat pemimpin sebagai pendapat rakyat. Siapa pun yang berani menentang pendapat pemimpin, dinyatakan sebagai menentang pendapat rakyat.
Kebenaran akhirnya menjadi kabur, dan keadaan bergantung pada kemauan sang pemimpin. Ini terjadi dengan Manikebu (Manifesto Kebudayaan) yang dinyatakan bersalah oleh propaganda dari pihak penguasa pada saat itu. Kebenaran yang mereka bawakan tidak diterima, dan mereka dinyatakan sebagai musuh rakyat.
Pandangan serba populistik yang mengatasnamakan rakyat seperti itu, sangatlah menyesatkan. Di sini, kesalahan selalu diarahkan ke atas pundak “Kaum Borjuasi”. Tentang siapa mereka itu bukanlah hal yang penting, namun mereka dianggap sebagai momok yang menjadi musuh bersama seluruh rakyat. Bahkan banyak di antara buku-buku mereka yang dilarang, dan buah pikiran mereka dipasung. Hingga terjadilah tirani minoritas atas nama rakyat.
Dari uraian di atas menjadi jelaslah, bahwa baik elitisme maupun populisme sama-sama berbahaya untuk kita. Bahayanya terletak pada kebenaran untuk diri sendiri dan ketidaksediaan memahami pendirian orang lain.
Dengan begitu, terjadi pengingkaran keadilan untuk mengajukan klaim kebenaran bagi diri sendiri. Ada kalanya manipulasi kebenaran itu dilakukan atas nama kebutuhan. Ada kalanya pula atas nama kepraktisan. Yang terjadi adalah simplifikasi atas persoalan yang dihadapi. Pemudahan (simplifikasi) seperti itu sangat berbahaya. Letak bahayanya adalah kecenderungan mencari jawaban yang mutlak untuk semua keadaan. Klaim akan kebenaran itu justru akan memasung upaya mencari kebenaran sebenarnya, yang memang sulit dicari tapi sangat diperlukan.
Dengan demikian, kita sampai pada kebutuhan akan sebuah sikap yang menghindari elitisme dan populisme. Para pakar yang elitis bukanlah satu-satunya pihak yang harus didengar dalam mencari pemecahan bagi sebuah masalah. Demikian pula pendapat sang pemimpin, tidak harus diperlakukan sebagai pandangan yang benar pula. Kebenaran simplistik yang dibawakan para pakar maupun sang pemimpin, justru harus dicurigai.
Dalam kedua pendekatan itu tidak diperhitungkan kearifan (wisdom) rakyat jelata. Mungkin mereka tidak banyak tahu rincian hal-hal yang dihadapi, tetapi mereka dapat mencari pemecahan atas masalah yang dihadapi dengan kearifan yang dimiliki.
Dengan demikian, lahirlah kebutuhan akan sebuah profesionalisme yang merakyat. Bahwa segala sesuatu haruslah dihadapi secara profesional, guna menghimpun segala fakta yang ada dan semua gejala yang tampak. Untuk itu diperlukan profesionalisme yang tinggi.
Tetapi agar profesionalime itu mengabdi pada kepentingan orang banyak, diperlukan sebuah orientasi yang merakyat –yang tidak hanya mementingkan diri sendiri dan kepentingan kelompok belaka.