ICMI Memang Sektarian, Kok (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
SEJAK Ikatan Cendekiawan Muslim se-lndonesia (ICMI) lahir lima tahun silam di Malang, Jawa Timur, Gus Dur, panggilan akrab Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid, merupakan sedikit cendekiawan dan tokoh Islam yang dengan lantang bersuara menentang. Menurut Gus Dur, organisasi ini hanya berorientasi pencapaian target-target politik jangka pendek, dan karenanya bercorak sektarian.
la juga bertekad akan konsisten menentang terhadap setiap gerakan yang mengarah pada sektarianisme. Maka itu, Gus Dur kini aktif membina anak-anak muda yang mencoba mencari landasan baru, sehingga wawasan keislaman dan kebangsaan berjalan seiring. Ini adalah sebuah cara untuk menghindari sektarianisme. Dan inilah yang ia sebut dengan perwujudan “Nahdlatul Banteng” Yaitu tempat berkumpulnya anak-anak PNI dan NU dalam sebuah cita-cita dan wawasan baru, guna mengembangkan kehidupan berbangsa dan negara yang lebih harmonis. Meski “garisnya” berbeda dengan ICMI, tapi cucu pendiri NU ini tetap memberi kebebasan terhadap anggota NU. Kebebasan memilih ICMI, juga kebebasan untuk menolak ICMI.
Berbagai ucapan dan pikiran “nyeleneh” Gus Dur kiranya tidak perlu dikomentari. Sebab hampir semua media sering mengutipnya, termasuk kritiknya yang sering tajam kepada ICMI dan orang-orang yang menduduki jabatan teras di ICMI. Dalam kesempatan wawancara ini pun, Gus Dur yang juga putra mantan Menteri Agama Wahid Hasyim, kembali melontarkan pikiran sekaligus kritik atas berbagai sepak terjang ICMI selama lima tahun ini. Berikut petikan wawancara dengan Gus Dur.
Selama kurun lima tahun berdiri, banyak kalangan pemerintahan yang menjadi aktifis ICMI. Dalam pandangan Anda apakah hal itu sebagai keberhasilan ICMI melakukan Islamisasi di kalangan birokrasi, atau langkah itu sebagai gerakan politik?
Ya, tidak begitu. Kita tidak bisa menghadapkan Islamisasi di tubuh kekuasaan dengan upaya dominasi politik oleh kelompok tertentu. şebab dua-duanya saling menunggangi, sehingga susah untuk dibedakan. Islamisasi sendiri bisa terjadi kalau ada proses timbal balik. Tapi hal itu tidak akan terjadi jika tidak ada kelompok yang mendorongnya. Karena merasa berperan dalam proses Islamisasi maka kelompok tersebut mencoba mencari dukungan. Jadi saya melihatnya ada keterkaitan antara pelaku dengan perannya.
Dalam memahami proses ini juga ada hal yang sangat fundamental untuk dipertanyakan. Islamisasi diperlukan sebetulnya dalam kerangka apa? Apa mau menjadikan negara İslam, dalam arti mau mengislamkan negara. Atau mengislamkan manusianya. Di sini saya melihat ICMI sikapnya ambivalen, tergantung siapa yang berbicara.
Kalau yang berbicara seperti Saudara Habibie, Emil Salim, dan Nurcholish Madjid, arahnya sudah jelas pada Islamisasi manusia-manusianya. Tapi kalau Anda berbicara masalah ini dengan Saudara ‘Imaddudin ‘Abdulrahim, Fuad Amsyari, AM.Luthfi, dan Yusuf Amir Feisal, jadinya akan sangat lain. sebab mereka menghendaki perilaku pemerintahan kita disesuaikan dengan ajaran islam. Itu berarti menginginkan sesuatu yang diskriminatif dan eksklusif terhadap pihak-pihak lain.
Dalam konteks itu, menurut Anda ICMI lebih cenderung ke arah mana?
Sulit bagi saya untuk melihatnya. Sebab ICMI sendiri tidak pernah menyelesaikan masalah ambivalensinya itu. Sementara apa yang mereka lakukan juga belum sampai pada taraf yang menentukan untuk dapat melakukan pengislaman aparat pemerintah. Yang ada baru kilatan-kilatan, sebagai proses sporadis yang tak terkoordinir dengan kerangka yang tidak jelas pula. Misalnya, apa saja, Sih yang sudah diperbuat teman-teman tadi untuk menerapkan apa yang disebut pandangan İslam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itu.
Seperti upaya mendirikan Bank Muamalat, Baitul Maal wat-Tamwil, dan Asuransi Takaful. Itu, kan dilakukan dalam rangka apa yang disebut sistem ekonomi islam. Dan itu adalah contoh pengislaman aparat negara karena kekuasaan dipaksa untuk melayani. Ada presiden mempunyai saham di Bank Muamalat, sehingga lembaga kepresidenan dapat menunjukkan keterkaitannya dengan Bank Islam.
Selama lima tahun berjalan, dalam pengamatan Anda apa Plus–minus dari kehadiran ICMI. Mungkinkah ada catatan khusus?
Ya, sulit. Tapi saya melihatnya begini. Kalau kita menukik ke bawah pada lapisan terdalam dari proses berbangsa kita dari Orde Baru, yakni ketika terjadinya proses depolitisasi dan deideologisasi politik Dengan demikian yang ada adalah start ideologi negara: Pancasila, Konsensus ideologi diakui dan diterima oleh masyarakat dalam kehidupan politik. Proses ini berjalan “mulus” selama lima belas tahun pertama Orde Baru. Setelah itu muncul kebutuhan lain, karena adanya fragmentasi kepentingan.
Antara siapa?
Antara ABRI dengan lembaga kepresidenan, Golkar, dan antara aliansi Kristen dengan golongan sekuler, tidak bisa lagi mempertahankan dominasinya atas kelompok mayoritas. Sejak itu muncul tuntutan untuk merumuskan kembali basis-basis terbawah dari kehidupan politik kita.
Dengan cara bagaimana?
Basis terbawah dari kehidupan politik itu bentuknya ada dua macam. Tuntutan pertama, bentuknya lebih populistik, yaitu gerakan yang kini banyak dilakukan oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka berpendapat agar pemerintah jangan terlalu dominan, demikian pula terhadap harapan dan inisiatif agar rakyatlah yang dihargai. Tapi ada juga tuntutan lain, yakni tuntutan agar Islam diberi tempat dan ruang gerak untuk dapat mengembangkan wawasan kehidupan bangsa.
Jadi ada dua tuntutan yang sebenarnya dua-duanya sama-sama sah dan wajar secara historis. Tuntutan pertama merupakan bagian dari nasionalisme politik lama yang sudah ada sejak Bung Karno, Tan Malaka. Sedang tuntutan kedua supaya hak dan kewajiban kaum muslimin sebagai mayoritas bangsa untuk dapat mewarnai kehidupan bernegara diakui. Tapi tuntutan ini sebenarnya telah dipatahkan secara efektif paling tidak dalam tiga momentum sejarah terbesar. Yaitu dihapuskannya Piagam Jakarta. adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan ketiga pada saat dilakukannya penataan politik oleh Pemerintah Orde Baru. Ketiga peristiwa itu memberikan final Blow terhadap aspirasi politik golongan Islam. Tapi sekarang aspirasi itu dicoba dihidupkan kembali.
Padahal di zaman liberalisme tahun 1950-an, partai-partai Islam seperti Masjumi, NU, SI, dan Perti, orientasinya, kan pada bagaimana dapat memenangkan kursi dalam lembaga perwakilan rakyat. Paling tidak untuk turut mewarnai kehidupan bermasyarakat. Semangat yang kayak begini ini kini munculnya dalam bentuk ICMI. Ketika Pak Harto atau lembaga kepresidenan memilih untuk memanfaatkan aspirasi gerakan Islam melalui ICMI, untuk sementara mereka yang lebih cenderung pada orientasi pertama, yang populistik tadi, terpana. Mereka diam saja, lalu membiarkan.
Kenapa?
Karena dominasi ICMI menjadi tidak terlawan dan terlalu dilindungi. Jadinya monolitik dalam sistem kekuasaan. Tapi Anda jangan lalu membandingkan dengan Forum Demokrasi, beda jauh, dong.
Tapi di sisi Iain, dengan membiarkan sebagian masyarakat menguasai mekanisme ICMI, seperti para rektor, para wakil gubernur dan bupati yang menjadi pimpinan ICMI, maka terjadilah pelarutan kadar keislaman. Sementara itu kekuatan nasionalisme yang populistik secara berangsur-angsur mulai pulih kembali. Maka jangan kaget kalau kini muncul apa yang disebut PCPP (Persatuan Cendekiawan Pembangunan Pancasila). Saya melihat perbenturan antara ICMI dan PCPP akan cukup dahsyat. Sampai orang kayak Dawam Rahardjo tidak mau mengakui hak hidup PCPP. Sebaliknya orang PCPP juga akan berusaha mengklaim kebenaran bagi dirinya dan menafikan kebenaran dari ICMI. Itu wajar saja. Namanya juga perbenturan antara dua kekuatan.
Dalam konteks itu apa yang menarik bagi Anda?
Belum cukup jelas. Apakah dampak dari perbenturan itu yang muncul adalah perebutan kepentingan, peran-peran, dan berbagai orientasi jangka pendek Iainnya. Ya, pokoknya politik praktislah. Ataukah justru suasana dialogis, yang dapat menjadi wacana baru bagi perkembangan bangsa kita. Sebab hal yang sama juga pernah terjadi di tahun 1930-an, antara wawasan kebangsaan dan wawasan keislaman. Juga menjelang pemilu 1955, tentang apakah kita akan menjadi negara Islam atau Pancasila. Pada awal Orde Baru juga terjadi. Yang terakhir adalah terjadinya wacana yang timpang. Yakni ketika para aktivis gerakan Islam berbicara tentang aspirasi Islam, mereka malah diekstrimkan, lalu diuber-uber, ditindak, dan sebagainya.
Sekarang kita sudah memasuki era baru, tapi kedua-duanya kembali pada posisi 1930-an. Maka akan jadi sangat menarik. Artinya munculnya ICMI dan PCPP, bisa menjadi rahmat bagi kita semua.
Tapi pengurus teras ICMI selalu mengatakan bahwa hadirnya ICMI untuk menguatkan masyarakat (umat Islam), sehingga peran umat dalam pembangunan bisa menjadi potensi yang berarti. Apalagi cukup lama potensi pembangunan umat Islam tidak mendapat perhatian yang memadai. Apa komentar Anda?
Ya, kita mesti lihat dulu siapa yang ngomong, Iah. Kalau yang ngomong modelnya orang-orang masjid kampus, kayak Bang Imad, Fuad Amsyari, atau Yusuf Amir Feisal, mereka tentu menggunakan paradigma Islam untuk membangun. Ini berangkat dari apa yang mereka pahami tentang Islam dalam merespon perkembangan masyarakat, negara, dan bangsa. Saya kenal mereka sejak lama. Saya “berkelahi” dengan Bang Imad sejak 1970-an. Saya menentang sistem ekonomi islam dan yang kayak begitu-itulah, Mereka beraksi dengan berbagai macam argıımentasi, lalu disusunlah rumusan taktis dengan agenda-agenda baru sehingga memungkinkan wawasan keislaman diterima masyarakat. Bahwa itu masih sempit. soal lain.
Di pihak lain orang seperti Dawam Rahardjo dan Adi Sasono. Dulu paradigmanya populistik, sebab mereka itu orang LSM. Tapi setelah antri sampai capek lewat LSM tidak dapat-dapat juga. akhirnya mereka memilih lewat jalan islam. Saya. sih terang-terangan saja. Wong saya tahu mereka, kok. Saya bergaul dengan mereka sudah sejak awal 1970-an. Pernah mereka akan membuat proyek Seminar Internasional Timur Tengah, saya masuk sebagai salah satu panitia pengarah. Dalam rapat-rapat saya, kan sering dengerin pembicaraan mereka kalau sudah ngomong masalah pribadi. Ternyata mereka itu sudah bermimpi akan menjadi pengganti teknokrat.
Makanya ketika di LSP (Lembaga Studi Pembangunan), orang kayak Adi Sasono itu dapat peran di Wanhankamnas (Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional). Sebagai suatu kelompok yang dapat diterima kesana kemari memang cukup mengagumkan, dia itu.
Setelah itu mereka dipercaya Bustanil Arifin untuk urusan politik, melalui sayap ekonominya PT Berdikari. Ada juga orang seperti Ahmad Nurhani dan Ahmad Ganis. Munculah kolusi usahawan penguasa dari lingkungan HMI. Dan İni yang dulu saya kritik adanya kolusi di antara KAHMI. Ya, memang tidak HMl-nya, tapi adanya dominasi KAHMI itu, Iho. İni, kan faktor lepentingan. Jadi mana ideologinya? Tidak ada itu.
Tapi karena kerjaan mereka memang ngurus yang populis-populis itu, maka penyalurannya melalui program Kantor Menteri Muda Koperasi (sekarang Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil). Saya direkrut lagi, dan ini kali yang ketiga saya direkrut mereka. Lalu mereka masuk dalam barisan Jalan Veteran, kelompoknya Pak Dharmono. Tapi karena beliau menjabat Wapres hanya sekali, lantas membonceng Habibie.
Dugaan saya, apa yang dilakukan Amin Aziz maupun Adi Sasono, menuju kepada keadaan sekadar untuk memanfaatkannya bagi kepentingan politik mereka sendiri.
Tapi kelahiran ICMI juga didukung oleh oraiıg seperti Nurcholish Madjid dan sejumlah cendekiawan lain yang dianggap masih mempunyai idealisme. Bukankah ini merupakan nuansa lain dari kehadiran ICMI?
Ya, bisajuga (Gus Dur mengangkat kedua tangannya). şebab ICMI, kan gerakan berwajah banyak.
Dalam pengamatan Anda, ICMI kini lebih ke arah politik atau lebih sebagai gerakan cendekiawan?
(Gus Dur terdiam sejenak) Politik saja. Meski komitmennya penegakan profesionalisme, tapi lebih pada cita-cita politik, toh
Bukankah juga yang dilakukan ICMI itu pada bagaimana memaksimalkan potensi umat Islam dalam pembangunan, sehingga wajar bila sikapnya lebih proaktif?
Tidak tahu, ya. Wong sampai saat ini kok belum detil. Tapi memang harus jelas perbedaannya. Hanya sejauh ini saya belum melihat keberhasilan kelompok tertentu yang mencoba mencapai dominasi politik melalui proses Islamisasi.
Ketika ICMI berdiri Anda mengingatkan kalau organisasi ini arahnya pada sektarian. Kalau boleh diulang, apa maksud dari pernyataan Anda Anda itu?
Sektarian itu apa, sih? Ini pernyataan saya yang sering disalahpahami. Seolah-olah munculnya pandangan dari suatu golongan otomatis disebut sektarian. Ya, tidak? Kalau begitu organisasi semacam NU, Muhammadiyah, dan segala macam, itu semuanya sektarian.
Sebetulnya yang dinamakan sektarian adalah mensubordinasikan kepentingan bangsa seluruhnya untuk kepentingan kelompok. Ini yang tidak bisa diingkari. Wong memang kini terjadi, kok. Mereka mendirikan Bank Islam, apa tidak dipaksakan?
Padahal sistem Bank Islam tidak dicover oleh Sistem Undang-Undang Perbankan kita ( 1992). Dalam undang-undang dirumuskan, bahwa upaya perbankan merupakan upaya memperoleh hasil dari proses membungakan uang. Lalu siapa yang akan melindungi duitnya pemegang saham.
Dari situ kita melihat dengan jelas bahwa seluruhnya diteŕima sebagai sesuatu yang politis. Sehingga tampak sektarianismenya di dalam ICMI.
Bukankah selama ini umat Islam merindukan adanya Bank Islam, sehingga adanya Bank Muamalat dianggap sebagai perwujudan aspirasi umat?
Ternyata juga tidak. Bahkan bila dibandingkan dengan bank-bank lain, BMI itu masih di bawah. Wong volume usahanya tidak naik-naik, kok. Mudah, kan menilainya.
Bagaimana Anda melihat sepak terjang Habibie. Kalangan ICMI melihat apa yang dilakukan Habibie dianggap telah memberi andil besar bagi perkembangan bangsa?
Saya melihat Habibie itu manusia tragis. Di satu pihak dia punya kebolehan yang tidak tanggung-tanggung hebatnya, keahlian di bidang aerodinamika. Tapi di pihak lain, Hăbibie itu sangat profan. Ia sangat memuja dirinya. Mungkin karena menganggap dirinya top, dia lalu merasa sanggup berbuat apa saja. Jadinya lama-lama menjadi impostor. Mau jadi politikuslah,juga pemimpin agama, pemain ekonomi, penentu budaya, dan segala-galanya. Akhirnya tidak bisa apa-apa. Padahal dia orang yang sangat Pinter.
Menurut Anda, obsesi yang banyak dari Pak Habibie itu tumbuh sejak adanya ICMI, atau jauh sebelum lahirnya ICMI
Saya lihat obsesinya ada dua macam. Pertama, obsesi untuk mewujudkan teknologi canggih di Indonesia. Yang ini sah-sah saja. Cuma nanti akan diuji kebenarannya. Apa hanya menambah beban biaya ekonomi negara, karena penanaman modal yang cukup besar dan tidak menghasilkan uang. Proses yang sama pernah dijalani Hitler di Jerman namun berhasil. Tapi proses yang sama pula dijalani India waktu zaman Nehru sampai kepada Rajiv Gandhi, namun gagal.
Tapi kan di Sisi lain, Habibie itu orang yang sangat profan. Maka dengan banyaknya pujian ia percaya bahwa itu betul. Ada yang memuji bahwa dia piawai dalam bermain politik, maka dia pun bermain politik dengan segala keanehan-keanehannya. Inilah dua Sisi dari Habibie yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Sebagai suatu gerakan yang baru lima tahun, banyak obsesi ICMI terhadap permasalahan umat yang menjadi agenda kerjanya. Bahkan terkesan, ICMI ingin mengatasi program ormas-ormas Islam yang ada. Bagaimana tanggapan Anda?.
Di sini masalahnya siapa peran dan pemeran utama. Isiamisasi dalam sistem kekuasaan terjadi. Paling tidak diakselerisir oleh munculnya kelompok yang mencari dominasi politik atas jalannya pemerintahan. Dengan kata lain, kalau mereka selalu marah-marah dengan Ali Moertopo, mereka juga “Ali Moertopo”nya Islam. “Ali Moertopo”-“Ali Moertopo” Islam itu mencoba menutup semua akses dari gerakan Islam yang Iain. Sebab kalau sampai ada gerakan Islam lain mempunyai akses pada kekuasaan politik, maka keberadaan mereka menjadi tidak relevan. ltu sama dengan apa yang dilakukan Ali Moertopo terhadap gerakan Islam dan juga gerakan non Islam di tahun 1970-an dan awal 1980-an.
ICMI lupa, bahwa klaimnya untuk menjadi pintu gerbang bagi semua urusannya orang Islam diletakkan dalam tataran perbenturan antara dua proses. Yaitu, proses pengislaman kehidupan politik, proses legal formalisme Islam dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, dan proses pemekaran wawasan egaliterian dari gerakan non Islam. Seperti munculnya PCPP, di pihak lain ada juga orang seperti Muchtar Lubis dan berbagai LSM lainnya. Sekali lagi, ini akan merupakan pergulatan yang sangat menarik.
Apa bahayanya bagi kehidupan kemasyarakatan kita jika ada dominasi tertentu oleh suatu kelompok?
Yang pasti akan terjadi pengingkaran terhadap pluralitas kehidupan kita. Ini yang tidak benar, kan.
Bukankah ICMI merupakan bagian dari pluralitas, ataukah ICMI telah mengingkari pluralitas itu?
Wah, tidak tahu saya. Mereka tidak bakalan ngaku apa benar mengingkari apa tidak. Kalau ketemu Emil Salim akan ngomong, iya. Demikian pula bila dengan Adi Sasono.
Hadirnya ICMI di kalangan birokrasi, apakah memungkinkan munculnya persoalan moralitas dalam tataran elit kekuasaan kita?
Bagaimana, ya. Kita belum bisa membuat proyeksi. Karena kita tidak tahu besok nasib ICMI itu kayak apa. Masih terlalu pendek untuk melakukan penilaian itu. Tapi kalau tidak buru-buru,jangan-jangan malah sudah bubar ICMInya.
Anda melihat tidak ada rekayasa Iahirnya ICMI?
Kalau melihat ICMI kita tidak bisa hanya dari satu pandangan. Harus dilihat dari kelompok poiitik yang mencoba melakukan upaya dominasi atas sistem kekuasaan, maka munculnya organisasi ini akan terlihat jelas, dan dengan format sebagai hasil rekayasa politik.
Bagaimana, sih sebenarnya hubungan NU dengan ICMI?
NU secara formal mengambil keputusan yang sederhana, memberi kebebasan kepada warga NU untuk memilih. Kalau mereka akan aktif di ICMI, silahkan. Sebaliknya, NU juga memberi kebebasan mereka untuk menolak.
Jadi anggapan bahwa NU menghalangi hadirnya ICMI lantaran Ketua Umum PB NU berpendirian lain tidak benar?
Lho, jangan salah paham. Saya berpendirian begini bukan lantaran Ketua Umum PBNU. Saya berpendirian seperti itu lantaran anti sektarian. Tidak jadi Ketua Umum PBNU pun saya akan berpendirian begitu.
Dengan begitu wajar saja kalau di NU ada dua macam persepsi tentang ICMI. Ada yang menekankan pada persepsi pentingnya proses Islamisasi, karenanya mereka berpendapat bahwa NU harus bergabung di dalamnya. Contohnya Pak Yusuf Hasjim, Pak Ali Yafie, dan banyak lagi. Tapi ada juga orang seperti saya, yang berpendapat bahwa proses Islamisasi itu tekanannya lebih berwajah pada upaya dominasi sistem kekuasaan oleh kelompok tertentu, yang dilakukan Oleh kelompok eks Masjumi, musuh lama NU. Artinya Masjumi reinkarnasi.
Seandainya Anda diminta jadi pengurus ICMI, sikap Anda bagaimana?
Saya tidak mau. Begini, saya tidak mau ikut serta dalam dominasi politik oleh kelompok klik-klikan. Walaupun itu datang dari manyoritas, tetap saja namanya hasil minoritas. Orang ICMI menganggap mereka mewakili manyoritas orang islam, tapi mereka sendiri minoritas di kalangan kaum muslimin. Siapa yang merasa diwakili Habibie dan Adi Sasono? Juga oleh ‘Imaduddin. Mereka itu kelompok kecil-kecil, tidak punya anggota.
Menurut Anda, bagaimana sebenarnya gerakan Islam yang berwajah masa depan. Apakah gerakan itu harus mempunyai pengikut yang banyak saja?
Lebih dulu kita harus memisahkan antara dua hal. Yaitu perluasan jangkauan Islam atas kehidupan sebagai proses kultural, yang seharusnya berada atau seiring dengan gerakan Islam. Dan ternyata proses Islamisasi dalam kehidupan sebagai bangsa banyak terjadi di luar gerakan Islam. Ini akan terus terjadi. Ada atau tidak ada ICMI. ICMI itu hanya numpang.
Lalu bagaimana dengan gerakan Islam? Dua-duanya berjalan seiring. Dengan kata lain, gerakan Islam yang terbaik adalah gerakan yang mampu mensinkronkan kegiatannya dengan apa yang terjadi di luar gerakan Islam.
Bisakah diperjelas?
Proses Islamisasi akan terjadi pada dua tataran. Tataran pertama, pengembangan kekuatan politik yang mencari sumber-sumber pemikirannya pada pandangan Islam. Sedang tataran kedua, yang melihat peranan Islam justru terjadi dalam pengembangan pluralitas baru. Jadi ada landasan bersama untuk pandangan baru. Dimana antara yang Islam dan bukan Islam, sama hak dan kewajibannya. Orang seperti saya di sini tempatnya. Makanya saya bina seperti kelompoknya Mas Bondan (Bondan Gunawan, aktivis Forum Demokrasi).
Sementara ini yang komposisinya lebih muda mereka bergabung dengan “Nahdlatul Banteng”. Yaitu Anak NU dan anak PNI (Partai Nasional Indonesia) yang sama-sama mencari landasan bersama bagi bangsa kita, dimana wawasan keislaman dan kebangsaan sama-sama saling mengisi. Gerakan Islam harus mampu mengiringi ini.
Alhamdulillah di NU ada orang seperti saya yang paham masalah ini. Jadi kerjaan saya meladeni mereka yang mencoba mengembangkan gagasan yang merupakan perpaduan antara wawasan kebangsaan dan wawasan keislaman menuju populisme baru. Saya tidak tahu di Muhammadiyah sudah ngerti begituan apa belum. Sebab orang kaya Habib Chirzin saja yang pandangannya sangat maju digusur di Muhammadiyah.