Ideologi bagi Seorang Realis

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sewaktu penulis berkunjung ke RRT (Republik Rakyat Tiongkok) Minggu, pertemuan dengan orang ini (yang penulis kenal dengan nama keluarga Guo saja, lengkapnya Guo Rongchang), adalah suatu jawaban atas apa yang dicarinya selama ini. Setelah mendarat di Guangzhou -dulu disebut sebagai Canton dan bertahun-tahun menjadi markas bala tentara Inggris-, penulis dibawa ke kota tersebut dan tinggal di hotel Angsa Putih (White Swan).

Di hotel itu, pada malam harinya penulis dijamu makan malam oleh Guo, yang khusus datang dari ibu kota Beijing (sekitar tiga jam naik pesawat terbang) karena diminta oleh pemerintah daerah Propinsi Guangdong. Kini ia harus mondar-mandir antara Beijing dan kota tempat menerima penulis. Ia baru saja diangkat menjadi ketua sebuah komite dalam pimpinan partai yang memerintah seluruh negeri tersebut, CC-CPC (Central Committee – Communist Party of China) di Beijing.

Kepada penulis ia berkata bahwa seumur hidup -sekarang ia sudah berusia 70 tahun-, ia selalu bekerja dan mengabdi pada partai. Dalam pemerintahan ia pernah menjadi wali kota di kota ini dan juga Gubernur Guangdong. Tetapi ia selamanya tidak pernah meninggalkan jabatan politik dalam partai, dan itu yang dilakukannya hingga sekarang. Karirnya bermula dari kader partai di sebuah desa, kemudian menjadi pengurusnya, lalu berturut-turut menjadi pemimpin partai di tingkat kecamatan, kota madya, propinsi, dan sekarang dalam pimpinan pusat partai di Beijing.

Melalui jenjang itu, ia turut merumuskan kebijaksanaan pemerintah dan mengawasi pelaksanaan konsep-konsep tersebut dalam berbagai bidang kehidupan. Ia bercerita sewaktu masih di desa, bagaimana sulitnya mengembangkan kehidupaan di pedesaan, karena desa-desa di propinsinya terletak di daerah pegunungan. Karena itu, ia mengambil keputusan -tentu dengan teman-temannya-, untuk lebih mencegah urbanisasi dengan mendorong tumbuhnya industri pedesaan di daerah tersebut.

Setelah ia melakukan hal itu, bertahun-tahun lamanya, berkembanglah Guangdong menjadi daerah perkotaan yang mendukung industrialisasi berat, dan sekarang melakukan ekspor ke luar negeri untuk memperoleh devisa dari perdagangan internasional itu. Ini juga dikembangkan pada bidang-bidang non-industri, seperti eksplorasi hasil laut dari perairan pantainya yang cukup panjang, yaitu sama panjang dengan pantai utara Jawa Timur.

Di daerah pantai itu juga dua puluh tahun lalu, ia memutuskan untuk mengembangkan pertambakan udang dengan penyediaan modal sebesar 100 juta US$. Setelah mengalami kegagalan berulangkali, dua puluh ribu hektar tambak tersebut kini tinggal sepuluh ribu hektar, namun hasilnya dapat dibanggakan; negara memperoleh dua buah hasil yang langsung dirasakan para nelayan di daerah itu. Pertama, devisa yang diperoleh dari ekspor udang itu kini mencapai ratusan juta dollar per tahun. Kedua, para nelayan itu sekarang berpenghasilan jauh melebihi para petani dan para buruh industri di propinsi tersebut.

Ini diceritakannya pada penulis melalui seorang penerjemah dari bahasa Mandarin ke dalam bahasa Indonesia. Namun, dari cerita yang berpuluh-puluh menit itu tergambarkan sebuah pergumulan hidup yang harus dilalui seorang politikus yang mengakomodasi usul-usul dari para pejabat pemerintahan di bawahnya. Mungkin secara merambat dari seorang juru tulis desa hingga ke para anggota pimpinan pemerintah daerah di tingkat propinsi.

Kemampuannya untuk menegakkan mekanisme pemerintahan seperti itu, yang mendampingi mekanisme partai dari tingkat rendah hingga pimpinan partai di tingkat propinsi, sangatlah mengagumkan bagi penulis. Karena hal itu, selain diperlakukan dengan penuh kehormatan sebagai mantan presiden, dan dijamu selama lima hari berada di Tiongkok oleh Institute Luar Negeri (Foreign Affairs Institute) dari kementerian Luar Negeri Cina, penulis pun diterima dalam kapasitas sebagai pemimpin partai.

Yang sangat menarik dari Tuan Guo ini adalah kenyataan; bagaimana ia meniti karir politik dari jenjang terbawah hingga ke tingkat paling atas dalam partainya, dengan tetap memegang teguh ideologinya semula; meningkatkan taraf hidup rakyat. Biasanya, setelah menikmati karier politik seseorang lalu berbelok jalan, hingga mementingkan karier politik itu sendiri. Mereka lupa pada sasaran awal yaitu pada peningkatan taraf hidup rakyat.

Bukankah pola tuan Guo ini yang dimaksudkan oleh Islam? Nabi Muhammad Saw bersabda; “Tiap kalian adalah gembala, dan tiap gembala akan dimintai pertanggungan-jawab tentang gembalanya” (Kullukum ra’in wa kullu ra’in mas’ulun ‘an ra’iyyatihi). Jelaslah, Tuan Guo berdasarkan ideologinya itu telah menjalankan apa yang dimaksudkan oleh ucapan di atas. Lalu, mengapa begitu banyak pemimpin muslim yang lupa inti dari kepemimpinan yang demikian sederhana itu?

Sebuah pertanyaan menggelitik lalu muncul dalam benak penulis. Bukankah ini berarti dalam mengembangkan kepemimpinan di tiap tingkat, orang harus berpegang kepada ideologinya, dan sekaligus kepada kenyataan yang ada? Inilah sebabnya, mengapa ucapan Nabi saw di atas lalu dikembangkan dalam sebuah diktum fiqh (Hukum Islam) yang berbunyi: “Kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin, harus terkait langsung dengan kesejahteraan mereka” (Tasharraf al-Imam ‘ala al-raiyyah manuthun bi al-maslahah).

Jadi karier seorang pemimpin harus selalu terkait langsung dengan kepentingan orang banyak. Kata “kepentingan” itu sekarang sering diganti dengan kata “kesejahteraan”, yang merupakan terjemahan bahasa kita dari kata bahasa Arab “al-maslahah al ‘ammah”, yang sering disingkat dalam fiqh al-maslahah. Ini adalah bahasa arab kuno, karena singkatan itu dalam bahasa arab modern berarti bus kota.

Ternyata Islam melalui ajaran-ajarannya yang sudah berusia lebih dari empat belas abad lamanya, ternyata membawa dasar-dasar pemerintahan yang meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bandingkan dengan kasus tuan Guo, yang menggabungkan ideologi komunisnya dengan kebijakan-kebijakan praktis yang menyangkut kehidupan rakyat dalam kondisi nyata, di tengah-tengah persaingan sangat keras dari tempat-tempat lain.

Apakah bedanya tuan Guo dengan para pemimpin Islam seperti Raja Salahuddin Al-Ayyubi yang menaikkan taraf hidup rakyatnya, yang berperang melawan orang-orang yang menggunakan nama agama Kristen dalam Perang Salib berpuluh-puluh tahun lamanya? Tentu perbedaanya pada agama mereka, berarti susunan ajaran yang dipercayai, walau kesungguhan dalam menjalankan tugas yang menyamakan mereka sebagai manusia, yaitu selalu ingat akan kepentingan rakyat yang dipimpin.

*****

Tuan Guo menyatakan pada penulis, ia belum pernah dan sangat ingin mengunjungi tiga buah negara di Asia Tenggara; Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Penulis menyatakan kepadanya, dilihat dari segala segi partai yang penulis pimpin tampak akan memenangkan pemilu legislatif dan presiden dalam tahun yang akan datang. Bila ini terjadi, penulis memintanya untuk bersedia diundang datang ke Indonesia. Penulis ingin agar dia berbicara pada generasi muda, -terutama para pemimpin masa depan- mengenai pengalaman-pengalaman yang dilaluinya dalam “merujukkan” antara ideologi dan kepentingan umum.

Karena penulis mempunyai hubungan sangat baik dengan Pak Lah (Mohammad Abdullah Badawi), yang kini jadi Perdana Menteri Malaysia, ia juga akan berusaha agar Tuan Guo diundang ke Malaysia. Mengenai Filipina, walaupun tak begitu dekat dengan Gloria Macapagal Arroyo, tetapi penulis berhubungan dekat dengan Fidel Ramos. Melalui orang inilah penulis juga ingin agar tuan Guo berkunjung ke negeri tersebut.

Tuan Guo berkata pada penulis, bahwa angkatannya yang seumur sangat terpengaruh oleh Mao Zedong (Mao Tse Tung), yang berpuluh-puluh tahun lamanya memimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT), berarti memimpin RRT. Sebagai manusia Mao juga banyak melakukan kesalahan yang cukup rumit untuk diatasi, katanya. Tetapi kecintaan Mao kepada rakyat dan kesungguhannya memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, merupakan contoh yang tidak dapat dilupakan.

Generasi saya mencintainya, walaupun kami juga harus melakukan koreksi atas beberapa kesalahannya. Ketika penulis menyatakan belum pernah ke Mausoleum Mao di Beijing, ia menyarankan hendaknya penulis segera berkunjung ke sana dan membayangkan kepemimpinannnya yang luar biasa itu. Saya sangat menderita dalam masa-masa revolusi besar kebudayaan proletar, katanya, tetapi hal itu tidak menggoyahkan baik ideologi yang saya anut maupun kepentingan umum. Mudah dikatakan, namun sulit dilaksanakan, bukan?