“Insiden Nipah Akibat Arogansi Birokrasi” (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Nahdlatul Ulama (NU), bisa jadi, organisasi yang paling “terkena” akibat Peristiwa Nipah. “Hampir seluruh penduduk Sampang itu massa NU,” kata Ketua Umum Tanfidziah NU, Abdurrahman Wahid. Memang, sebagai organisasi massa Islam, NU mengakar kuat di bumi Madura. Hampir semua ulama yang menjadi panutan masyarakat adalah pendukung setia organisasi itu.
Gus Dur menilai, pecahnya peristiwa berdarah itu dikarenakan pendekatan yang salah, tanpa mengikutkan ulama. “Pemerintah kalau kesulitan, baru cari ulama,” kata Gus Dur. Tapi, bagaimana jelasnya sikap NU terhadap kasus itu? Berikut wawancara FORUM, Tony Hasyim dan Sudarsono, dengan Gus Dur.
Pengurus NU Jawa Timur telah menyatakan keprihatinan dan meminta Peristiwa Nipah diusut sampai tuntas. Bagaimana sikap Pengurus Besar NU?
Sikap NU Jawa Timur itu sudah mencerminkan sikap NU. Jadi, kita tidak perlu mengambil sikap lagi.
Pengurus Besar NU, kan, perlu juga mengambil sikap…
Enggak. Itu sudah dicerminkan oleh Jawa Timur.
Jadi, Anda setuju?
Ya, dong. NU Jawa Timur menganggap peristiwa itu disebabkan oleh kurangnya pendekatan yang tuntas kepada masyarakat. Jadi, kita minta dilakukan pengusutan secara tuntas juga,
Apakah hal itu dibicarakan dalam pleno Pengurus Besar NU?
Kalau laporan dari Jawa Timur, ya, ada. Tapi, seandainya pun enggak dilaporkan, kita sudah cocok. Ya, memang itulah perasaan warga NU.
Apakah “Pernyataan Keprihatinan” dari NU Jawa Timur itu atas dasar dorongan dari Pengurus Besar NU?
Enggak. Mereka itu mengambil inisiatif sendiri.
Sebenarnya, kesalahannya itu terletak di mana?
Ya, kesalahannya karena pemerintah dalam membuat proyek pembangunan itu enggak pernah mendengar suara rakyat. Pemerintah maunya sendiri saja.
Sampai sekarang, pihak Kodam tidak berani menangkap kiai-kiai yang dituduh itu, seperti guru mengaji yang di Sampang itu, kabarnya, karena ada tekanan dari Pengurus Besar NU…
Kita enggak ngomong apa-apa. Kita memberikan dukungan moral penuh kepada warga NU yang kena musibah itu.
Jadi, korban itu memang warga NU?
Ah, mana ada, sih, orang Madura yang enggak warga NU?
Kalau menurut Anda, penyelesaiannya nanti bagaimana?
Enggak tahu. Kita kan belum tahu seluruh ceritanya.
Sampai sejauh ini, bagaimana tanggung jawab pemerintah terhadap kasus ini?
Kita belum tahu.
Apakah mengharapkan penyelesaian seperti Peristiwa Dili?
Terlalu pagi.
Tapi, mestinya, panglima Kodam yang bertanggung jawab…
Begini, ya. Kita enggak bisa menyalahkan satu pihak. Pemerintah itu kan macam-macam. Yang mengukur tanah siapa, yang menetapkan tanah dipagar itu siapa. Jadi, dengan kata lain, ini urusan yang sangat kompleks dari pemerintah. Jadi, kita enggak menyalahkan siapa-siapa. Kita hanya mencatat bahwa, lagi-lagi ada proyek pembangunan dimulai tanpa ada pendekatan yang tuntas kepada masyarakat, tanpa memberikan pengertian yang cukup kepada masyarakat.
Tadi Anda bilang pemerintah semaunya saja…
Ya, namanya pemerintah, semaunya saja. Kalau yang begitu tidak tampak semaunya saja, apa namanya? Orang banyak menuntut harga tanah, yang pantes, dong, masak tanah dihargai segitu.
Anda melihat persoalan ini, sebetulnya apa intinya?
Lagi-lagi, ya, soal kompensasi tanah. Enggak ada keadilan. Dianggap cukup dengan peraturan-peraturan prosedural yang umum itu. Sudah ditetapkan oleh tim tanah. Tapi, apa bisa begitu saja? Apa enggak ada kearifan? Hal ini semakin lama semakin membuat rakyat jengkel di mana-mana.
Rencana pembangunan itu, kan, sudah lama. Apa sebelum insiden penembakan itu ada usaha-usaha dari para kiai untuk membantu rakyat di sana?
Enggak…. Kita berharap pemerintah itu ngerti. Kalau sejak awal kita ikut, nanti dikatakan kita campur tangan urusan pemerintahan. Jadi, oknum pemerintah itu dalam hal ini mau memang sendiri. Rasa keadilan dilanggar.
Kasus ini apa yang pertama di Jawa Timur?
Enggak. Dulu, ada di Situbondo, kemudian juga di Singosari, tanah untuk listrik tegangan tinggi itu. Banyak kasus lain.
Apa kasus itu telah dilaporakan oleh NU Jawa Timur kepada ABRI?
Enggak tahu kalau NU Jawa Timur. Karena, itu urusan Jawa Timur. Imamnya itu Jawa Timur. Pengurus Besar NU mendukung, titik.
Yang ditunjuk siapa?
Ya, NU wilayah Jawa Timur dengan dukungan penuh dari kita.
Jadi, apa pun gerakan mereka didukung penuh?
Itu dukungan kita kepada mereka.
Panglima Kodam Brawijaya apa sudah menghubungi Anda?
Enggak perlu. Enggak akan dan kita juga enggak cari dukungan Itu, kan, sudah diurus di tingkat wilayah.
Jadi, benarkah keempat orang yang ditembak itu warga NU?
Ya. Itu kalau di Madura, urusannya orang Madura itu, ya, urusannya NU
Dalam pleno Pengurus besar NU sekarang ini, apa NU Jawa Timur sudah melaporkan Peristiwa Nipah itu?
Sudah, sudah dilaporkan.
Bagaimana hasilnya?
Enggak ada apa-apa. Nanti, memang ada yang mengusulkan dibikin semacam pernyataan sikap, Kan, belum ada yang mengusulkan apa-apa.
Tidak mengirim surat kepada Pak Harto, seperti dilakukan Kiai Ali Jauhari dari Jawa Timur itu?
O, bukan kiai itu. Jangan sebut kiai itu.
Tapi, isi suratnya, kan, bagus?
Suratnya bagus. Tapi, jangan dipanggil kiai. Avonturir, sukanya mengklaim-klaim.
Dia anggota NU atau bukan?
Mengakunya NU. Dulu, dia mau meratakan itu, mengosongkan daerah Ampel, 20 hektare mau dibikin rehabilitasi makam Ampel. Karena 20 hektare mau diratakan, saya ngamuk.
Tapi, dia kirim surat pribadi kepada Pak Harto…
Kirim surat pribadi, Anda juga bisa.
Anda sendiri bagaimana, mau kirim surat kepada Pak Harto?
Ngapain, sih.
Kalau untuk Insiden Dili dibentuk KPN, di Madura yang Islam tidak. Mengapa?
Jangan dilihat begitu. Mengapa Timor Timur dibikin KPN, karena waktu itu orang tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Timor Timur daerah tertutup, kan. Kalau Nipah, kan, semua orang tahu apa yang terjadi.
Tapi, versinya kan macam-macam. Kodam bilang penembakan dari jarak 70 meter, masyarakat bilang 200 meter…
Tapi, kan, sudah ketahuan yang mati. Masalahnya juga jelas masalah tanah. Kalau di Dili kan masalahnya enggak jelas.
Kabarnya, lurah di sana yang memerintahkan menembak…
Lurah? Hebat, dong. Sipil bisa memerintah ABRI. Kita timbang masalahnya dulu.
Menurut Anda bagaimana, apa diterima begitu saja?
Ya, bukan diterima begitu saja. Diusut secara tuntas, seperti prosedur normal. Lalu, diambil tindakan terhadap yang bersalah. DKM, kan, juga begitu. Jadi, tak perlu terlalu repot.
Ada penyelesaiannya?
Saya yakin ada.
Sampai ke pengadilan?
Ya, enggak tahu. Tapi, paling tidak, yang melakukan penembakan, yang bertanggung jawab, kan, akan ditindak. Kalau tiap kasus lalu bikin DKM, wow, puyeng. Maksudnya, kita harus proporsional, melihat masalah itu proporsional. NU, melalui NU Jawa Timur, kan, sudah mengeluarkan pendapat.
Ada yang bilang, insiden itu terjadi karena sejak awal ulama tidak diikutsertakan…
Dari dulu juga, mana pernah ulama diikutsertakan dalam pembangunan? Pemerintah itu kalau kesulitan, baru cari ulama, misalnya, sulit menjual kondom.
Kasus Kedungombo dulu lebih besar, tapi protes masyarakat itu tidak sampai terjadi insiden penembakan
Memang lain. Karena, di Kedungombo itu, semuanya tidak ada dadakan. Persiapan pihak rakyat, yang demonstrasi, yang ini-itu kita tahu jelas. Karena itu, mereka bisa bereaksi dengan tepat. LSM-LSM juga ikut mengatur. Ini kan langsung karena enggak ada yang menengahi.
Apa itu karena karakter orang Madura yang lebih keras?
Ya, enggak. Anda tak bisa menggeneralisasi suatu suku bangsa seperti itu.
Kalau begitu, apa masalah dasarnya?
Masalah dasarnya, karena ABRI itu dalam posisi harus mendukung proyek pembangunan yang dikonsep secara salah. Paling tidak, dalam kasus Nipah ini, keadilan tidak dipikirkan. Ganti rugi tanahlah gampangnya. Masyarakatnya protes. ABRI diharuskan menyukseskan, antara lain, melindungi pengukuran tanah. Kalau ABRI fungsinya begitu, ya, tiap kali akan begitu.
Dalam setiap kasus tanah, kan, ada ABRI yang ikut…
Lho, ya, ABRI sendiri sebetulnya harus berpikir panjang, apakah fungsi dia yang begini ini. Jadi sapu, menyapu barang pecah-belah yang pecah itu, apa sudah tepat. Kalau saya, dalam pikiran saya ya, harus ikut dari semula. Gitu, lho.
Jadi, ABRI itu hanya disuruh mengamakan saja…
Ya, pokoknya, gampangannya, ABRI itu tahunya, disuruh menindak orang yang dianggap mbalelo. Kalau memang begitu terus. Lama-lama ABRI juga bisa jadi momok bagi rakyat.
Jadi, dalam hal ini, Anda tidak terlalu menyalahkan ABRI?
Bukan saya enggak menyalahkan. Tidak bisa hanya ABRI yang disalahkan. Yang salah semua pihak. Itu kan ada legislatif, ada juga orsospol. Mengapa diam saja. Eksekutifnya, legislatifnya, orsospolnya, ABRI-nya, kantor-kantor teknisnya, BPN-nya, semua salah.
Ulamanya?
Ulama enggak ikut-ikut karena enggak diajak. Beruntung.
Rakyatnya sendiri?
Rakyat kan mempertahankan haknya
Tapi, itu nanti bermanfaat bagi mereka?
Wong enggak dijelaskan, kok. Orang belum jelas dianggap sudah jelas. Langsung diukur. Siapa yang enggak marah. Saya juga akan marah, ambil clurit. Tanah, kan, warisan nenek moyang. Itu arogansi birokrasi. Dengan kata lain, ABRI itu harus mampu meredam arogansi birokrasi. Untung ini proyek bendungan, punya pemerintah. Nanti, bikin real estate sama saja, seperti Rancamaya. ABRI jadi centengnya orang kaya jadinya. Kasihan, kan. Yang disalahkan ABRI lagi. Maksud saya, yang salah itu semua yang terlibat. Jadi, bukan hanya ABRI
Tapi, kan, selama ini ABRI dilibatkan dalam kasus Nipa.
Wong, panglima Kodamnya bilang tidak tahu. Panglima Kodamnya tidak tahu kalau di situ mau ada waduk. Jadi, ini menunjukkan masalah ini belum dibicarakan tuntas. Itu yang saya katakan dari dulu, arogansi birokrasi, seolah-olah yang paling tahu segala hal. Ini kalau kita kritik, katanya, menentang pemerintah. Padahal, kita enggak menentang pemerintah. Kita hanya mengkritik arogansi oknum-oknum birokrat karena sudah tidak punya hati nurani lagi. Mudah-mudahan, ada reformasi dalam birokrasi.
Apa perlu ulama diperhitungkan dalam hal ini?
Ah, ya, enggak begitu. Tapi, ya, faktor-faktor orang, tabiatnya dalam melayani masyarakat, harus diperhitungkan dalam menempatkan suatu jabatan. Yang arogan begitu jangan dikasih kesempatan terlalu banyak.
Dalam masalah tanah di Karet itu, habis kebakaran, pemerintah tidak membolehkan penduduk membangun lagi…
Rakyat, kan, jadi curiga, ada apa? Kelihatannya, seperti ada yang sengaja membakarnya.
Apa ada semacam upaya oknum tertentu untuk mencemarkan nama baik ABRI?
Sebab, dilihat dari penembakan dalam jarak dekat begitu, apa sengaja untuk mencemarkan ABRI? Kita enggak tahu. Bisa saja penembakan itu karena ada kesan orang Madura itu galak, lalu takut dikeroyok, lalu menembak duluan. Tujuh puluh meter itu berapa jauhnya, sih? Orang juga takut kalau ada banyak orang membawa clurit. Tapi, orang Madura selama hidupnya memang pegang clurit. Enggak ada urusan itu Itu berarti ketidaksiapan saja menghadapi rakyat yang demikian Jadi, kita jangan cari-cari biang keroklah. Biang keroknya sudah jelas, kok, yaitu arogansi sementara birokrat yang mengambil ke putusan sepihak. Sementara masyarakat menganggap belum tuntas urusannya.
Mestinya bupati yang harus bertanggung jawab…
Ya, belum tentu, karena BPN yang mengukur. Belum tentu bupati tahu urusannya.
Tapi, BPN, kan, pelaksana teknis saja, policy di tangan bupati…
Lha, kan, itu memang masalah teknis yang terjadi. Dia mau mengukur, bukan membangun. Kan teknis.
Mengapa membawa-bawa tentara?
Ya, karena ada ketakutan. Ada persepsi psikologis, orang Madura itu begini, makanya dia bawa tentara waktu dia mengukur tanah. Artinya, kita itu tak usah mencari kambing hitam macam-macam. Ke Jakarta, ke Feisal Tanjung. Saya melihatnya urusan lokal saja. Kesimpulannya, kita harus melakukan pemeriksaan ulang prosedur yang dibuat dalam menangani masalah-masalah seperti ini. Sebab, ujungnya, lalu ABRI ini tampaknya jadi alat pemukulnya orang lain. Padahal, ini karena birokrat yang arogan. Maka, ABRI juga harus mengubah cara kerjanya.
Mengapa selama ini masyarakat menyalahkan ABRI, padahal sebenarnya birokrat yang patut disalahkan?
Ya, karena masyarakat sudah terkondisi. Enggak bisa disalahkan. Tiap kali, kalau ada apa-apa, ya, ABRI yang muncul. Mari kita bersama-sama memperbaiki keadaan. Masyarakat jangan buru-buru menyalahkan ABRI. ABRI juga harus memperbaiki prosedur. Kalau menyuruh menembak, apa urusannya menyuruh menembak. Kalau disuruh mengukur, ini mengukur apa, tanya sampai jelas.
ABRI kan waktu pakai janur kuning itu, seperi mau perang…
Itu, kan, katanya. Lebih baik kita berdasar pada fakta-fakta yang ada.
Peristiwa itu membikin luka orang Madura. Untuk menghilangkan luka itu, bagaimana caranya?
Bisa. Asal semua jujur. Ya, caranya, yang bersalah ditindak. Kemudian, diadakan pendekatan masyarakat luas. Dan, yang utama, rasa keadilan masyarakat Nipah diperhatikan. Masak, tanah cuma dihargai sebungkus rokok.