Islam dan Konsep Syura

Sumber Foto: https://muslim.or.id/6055-syura-dalam-pandangan-islam-dan-demokrasi.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Berbicara tentang budaya politik, maka istilah budaya politik harus jelas terlebih dahulu.. Budaya politik mungkin bisa diterjemahkan ke dalam beberapa arti. Salah satu artinya yang paling tepat digunakan adalah pengertian budaya politik sebagai tradisi politik. Karena halqah (perhatikan sumber tulisan ini, ed.) ini kita tidak akan melahirkan sejumlah aturan main. Tetapi lebih diarahkan/mengacu kepada hasil berupa pengertian. Oleh karena itu, pengertian budaya politik sangat penting disatukan. Bagaimana orang berpolitik di Indonesia, dalam hal ini masyarakat yang tidak ikut serta dalam suprastruktur atau struktur formal pemerintahan atau yang ada di bawah.

Tradisi atau cara berpolitik ini secara umum akan dicoba untuk menangkap sisi-sisi atau karakteristiknya. Dari sana akan dilihat mana yang relevan sebagai orang yang akan menggunakan pendekatan keagamaan, lebih khusus agama Islam, lebih khusus lagi agama Islam yang ditinjau dari sudut fikih. Paling tidak kita punya pengertian, seandainya kita memahami tradisi politik bangsa kita baik dari masyarakat, maupun supra struktur/lembaga formal pemerintahan. Maka fikih harus menjawab beberapa pertanyaan yang memang perlu dicarikan jawaban-jawabannya. Saya setuju aturan main fikih tidak terlalu rigid, sebab kebutuhan setiap masa berbeda. Dengan demikian fikih sendiri tidak boleh terlalu terikat kepada satu masa melainkan harus bergerak dalam satu kerangka yang berkembang terus.

Masalah tradisi atau cara bukanlah ibadah, dalam arti ibadah mahdhoh. Kalau ibadah mahdhoh jelas, sudah ditetapkan bentuknya, “al-ashlu fi al-‘ibadah al-haram illa dalla al-dalil ‘ala wujubihi au jawaziha” (prinsip dalam peribadatan mahdhah adalah haram, kecuali kalau memang ada dalil yang menunjukkan boleh atau wajib). Kalau di dalam masalah yang sifatnya bukan ibadah yakni muamalah, dibalik “al-ashlu fi al-mu’amalah jawazuha illa dalla al-dalil ‘ala tahrimiha au karohiatiha” (prinsip dasar dalam mu’amalah hubungan interpersonal itu boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya). Oleh karena itu kita bisa mengembangkan atau menciutkan serta bisa mengambil yang pokok saja. Kemudian bagian-bagiannya akan ditambah setiap waktu, dan kalau nanti masa telah berubah, maka yang pokoklah yang akan dipegang sedangkan bagian-bagian tambahan akan ditinggalkan.

Dalam hal ini kalau nanti akan menuju kepada suatu bentuk-bentuk syura yang bagaimana dalam berpolitik, maka syura harus bersifat dasar saja, jangan dikembangkan pada sesuatu yang bersifat konstruk atau kerangka yang jadi. Dari dasar itulah, teori-teori atau bentuk-bentuk yang sesuai dengan dengan kebutuhan waktu akan disusun. Seperti dikatakan oleh Kyai Yusuf Muhammad sebagai unsur-unsur demokrasi dalam Islam yang mutafaq ‘alaih bain al-ulama, maka inilah yang harus diperiksa. Sebab sebetulnya ini buatannya ‘Ali ‘Abd Al-Raziq yang bukunya dibakar di Al-Azhar. Saya tidak tahu bagaimana bentuk kesepakatannya (ijma’).

Kalau dikatakan sepakat, mengapa bukunya dibakar Menurut saya, yang disebut ‘Ali ‘Abd Al-Raziq sebagai kesepakatan ulama itu tidak berjangkit ke Indonesia. Karena secara faktual, kyai-kyai di Indonesia jarang berbicara tentang keadilan apalagi tentang persamaan di depan undang-undang. Mungkin karena perintahnya “fafiru ila Allah, fafiru min al-siyasah” (larilah ke Tuhan, maka larilah dari politik). Karena kecenderungan lari dari politik formal, maka ulama-ulama kita segan mau merumuskan, apa batasan atau parameter dan sendi-sendi dari proses syura di bidang politik. Sedangkan syura di bidang nonpolitik berkembang terus dari dulu sampai sekarang, seperti bahts al-masail.

Meskipun demikian, bahwa yang kita pegangi soal pokoknya saja dan soal kelembagaan bisa berubah-rubah, tidak berarti mengutak-atik dengan mudah sebuah kelembagaan seperti lembaga birokrasi. Kita tidak bisa mengotak-atik birokrasi dengan semena-mena. Sebagai contoh hasil kajian Marifles (?) Yogjakarta menyangkut Pangeran Mangkubumi yaitu Hamengku Buwono ke I. Penelitian itu mengatakan bahwa ketika akibat dari terjadi pemberontakan terhadap Pakubuwono ke III oleh Raden Mas Said dari Pangeran Mangkubumi, akhirnya disepakati perjanjian Gianti. Berdasarkan perjanjian itu kerajaan Kartosuro-Surokarto dipecah-pecah menjadi tiga yaitu Keraton Mangkunegaran, Keraton Hamengkubuwono dan Keraton Pakubuwono-Kasunanan dan Pakualaman.

Yang menarik bahwa hal ini terjadi bukan karena Belanda, tetapi karena para birokrat/korprinya, para patih-patih dan abdi dalem sudah bosan meladeni para pangeran dalam satu keraton perang terus menerus dan berebut tahta selama 90 tahun. Pangeran Mangkurat I diberontaki oleh Pangeran Purbaya, Pangeran Kajoran, Pangeran Puger, berhadapan dengan Pakubuwono II. Sejak 90 tahun berdirinya Mataram, ketika mengalahkan Jipang, maka di situ selalu terjadi perebutan. Akhirnya ada semacam konsensus diantara Korpri jaman dahulu “dipisah dalam tiga keraton dan rajanya tidak boleh kawin satu sama lain, dan yang boleh kawin hanya abdi dalem“. Dengan begitu para abdi dalem punya kekuasaan yang kokoh terhadap ketiga keraton, karena bisa berkeluarga, tetapi rajanya tidak bisa karena tidak bisa berkeluarga. Karena tidak berkeluarga, maka mereka tidak bisa beraliansi, tidak bisa bersekongkol dua lawan satu. Akhirnya para kerajaan dibuat kerdil oleh para birokratnya sendiri.

Sama saja di Indonesia presiden belum tentu bisa mengatasi Sekretariat Negara. Sebab ada aturan main sendiri meskipun boleh jadi tidak dikehendaki oleh presiden. Tapi tetap tegak. Juga dalam birokrasi militernya. Tidak sembarang tangan yang bisa merubah atau mengacak-acak seenaknya.

Jadi melihat ada kekakuan birokrasi di dalam kehidupan politik. Tetapi kekakuan ini sebenarnya adalah persoalan internal dari birokrasi sendiri dan hubungan atas bawah yang sedemikian jauh. Dikatakan internal, artinya masalah “dakhili” di antara raja dengan keluarganya. Rakyat juga sebetulnya tidak sepenuhnya kaku begitu. Kita lihat seperti dalam upacara, para ulama dan pemuka masyarakat tiap tahun bisa bertemu dengan raja. Sekarang sedang dibuat buku oleh Piter Keri, mengenai bagaimana raja Mataram dahulu mudik, ngilir sampai ke Gresik mengikuti Bengawan Solo selama setahun untuk memeriksa, apakah pejabat-pejabat di bawah menjalankan kewajibannya dengan benar, rakyat bisa mengajukan keberatan. Sehingga ada proses bahwa orang bawah bisa melahirkan perasaan-perasaan mereka.

Dalam tradisi politik, kalau hal tersebut dibendung, tidak ada salurannya, mesti ada pihak di dalam elite politik/birokrasi yang melakukan pemberontakan atas nama rakyat. Setiap raja mengalami hal itu. Ketika Hamengku Buwono IV diberontaki oleh Diponegoro juga alasannya karena dahulu jalan utama/tol Jogja-Purwokerto dan Jogja-Magelang disewakan kepada Cina sehingga orang lewat harus membayar mahal. Hanya saja tol dulu rumput dan yang lewat pedati, sedang orang mikul tidak boleh, sehingga mereka harus lewat gunung. Yang mengelolanya adalah para pangeran tetapi oleh para pangeran disewakan kepada Cina. Itulah salah satu sumber keributan yang akhirnya menimbulkan perang Diponegoro.

Jadi ada tradisi counter elite (elit tandingan) dalam budaya politik kita. Ini tidak boleh dilupakan sebagai bagian tradisi politik bangsa kita. Kita bisa mencari kemana saja seperti dalam perang Paderi di Sumatera Barat. Selama 16 tahun, sebetulnya pertempuran antara elite politik melawan elite tandingan dalam masalah hukum adat/warisan. Itu hanya isu tapi tradisinya ada. Di Banten, zaman Sultan Ageng Tirtayasa, antara Nayoko (Sekneg) yang melawan teknokrat (Bappenas) Yakni orang yang berpandangan, membuka Banten untuk perdagangan ke luar dengan orang yang ingin mengokohkan kekuasaan dalam negeri, dengan berusaha memeras petani melalui pajak sebanyak-banyaknya dari rakyat. Itulah yang menghancurkan Kerajaan Banten. Akhirnya setelah Banten pecah, Belanda masuk.

Setelah Indonesia seluruhnya adalah sejarah tradisi demokrasi terkadang karena tidak tembus, terwujud dalam dialog yang bersifat konflik antara elite melawan elite tandingan. Elite tandingan sendiri bisa dua macam. Ada politik militer dan ada politik kultural/politis budaya. Maka dalam sejarah Jawa dikatakan oleh para antropolog sebagai tradisi besar dan tradisi kecil. Maksudnya bukan besar ukurannya, tetapi tradisinya orang besar dan tradisi orang kecil, tradisi besar, adalah orang gede di keraton, tradisi kecil, kaum santri di pesisir.

Tradisi kecil sebelumnya diwakili oleh bermacam-macam pihak. Oleh para pemuka masyarakat setempat bisa namanya dalang sebagai tokoh budaya, pesinden terkenal, jago silat, penari dan segala macam. Mereka selalu mengeluarkan tradisi perlawanan yang sifatnya kultural. Seperti dalam ludrug dikatakan “awas kamu nanti saya pecat dari rakyat” Mau jadi apa kalau sudah dipecat dari rakyat. Juga seperti cerita orang yang sudah mengikuti modernisasi. Ia mengambil uangnya di ATM dengan kartu. Mengambil uang Rp 100.000,- tetapi yang keluar hanya Rp 90.000,-. Lalu mesinnya disepak dengan marah, “baru jadi mesin sudah korupsi, belum menjadi pejabat”. Hal ini sudah dari jaman ke jaman ada terus. Itulah perlawanan dalam tradisi politik untuk mengkruk dengan cara mereka sendiri.

Politik yang demikian pasti akan berjalan terus. Tetapi karena tidak menuju kepada kelembagaan tampaknya tidak efektif di permukaan. Tetapi bisa efektif sekali dalam menciptakan kesadaran bersama di kalangan seluruh warga masyarakat sampai pada para ningrat/elite. Kritikan budaya seperti itu mungkin tidak ada bekasnya, tetapi tambah lama tambah banyak bekasnya dan mau tidak mau harus merubah Paling tidak akan ada akumulasi/kumpulan tradisi mengkritik secara dalam Istilah Jawa “ngono tapi ojo ngono” (begitu tapi jangan bagitu). Tradisi ini secara menyeluruh akan menciptakan pola, dimana paling tidak elite harus selalu memperhitungkan dampak dari kritik yang ditimbulkan.

Sekarang elite politik kita berbicara tentang partisipasi. Saya berbeda sedikit dengan konsep Matori (yang juga pembicara dalam halqah itu, ed.). Matori melihat partisipasi dengan misalnya, sekarang ini kita berada pada masa inisial. Baru kemudian tahap partisipatif dan masa emansipatif. Ini teori yang disepakati oleh elite politik atau Matori sendiri. Tetapi sebetulnya tahun 70-an mereka tidak mengenal partisipasi. Memang semula polos hanya pertumbuhan dan stabilitas nasional, setelah digegeri oleh Malari, baru ada pemerataan.

Di sini kita melihat tradisi untuk menyuarakan pendapat dalam bentuk yang konfrontatif atau yang tidak konfrontatif Asal hal itu dilakukan secara terus menerus dengan jumlah yang cukup besar, lambat laun akan menciptakan kesadaran bahwa sesuatu harus diperbuat untuk memperbaiki keadaan. Seandainya tidak ada demonstrasi Malari tahun 1974, menurut saya, itu adalah kebutuhan dasar yaitu 8 jalur pemerataan mulai papan, sandang, pangan, sekolah/SD Inpres dimana-mana dan Puskesmas dan sebagainya. Menurut saya, itu tidak akan terjadi.

Saya kenal betul bahwa pikiran mereka hanya pertumbuhan dan mereka percaya betul dengan teori tetesan dari atas (trical down effect). Pola pembangunannya juga betul-betul dari atas, rakyat tidak diajak sama sekali sehingga berbentuk top down approach atau pendekatan dari atas dan instruksi ke bawah.

Di sini budaya politik dalam arti tradisi, digunakan untuk melawan apa yang tidak benar dan mengutarakan apa yang dianggap baik. Istilah NU mensyukuri hasil pembangunan yang sudah dicapai selama ini dan mendo’akan dapat mencapai hasil yang lebih baik. Kalau LSM lain, akan mempersoalkan secara langsung seperti dwi fungsi, HPH, pencemaran lingkungan dan sebagainya. Hal ini lambat laun dalam spektrum yang lebar, jajaran bermacam-macam ekspresi atau ungkapan, pendapat dan pandangan mengenai apa yang harus diperbuat dijalankan terus menerus akan sampai kepada elite pembuat keputusan.

Kalau dikatakan behwa negara kita tidak demokratis, saya yang menolak. Itu tidak betul. Negara kita demokratis, cuma demokratisnya belum tercermin dalam tingkah laku lembaga politik yang secara formal kıta punyai. Kalau tradisi politiknya sebenarnya cukup demokratis. Hal ini tidak terjadi di Singapuira. Apakah ada LSM di Singapura, yang ada cuma organisasi “tabarru’an” atau “”amalu bir” atau lembaga kebajikan (charity) saja. Tidak satupun LSM yang bersifat mau merubah masyarakat Singapura. Di Singapura yang berani kapada Lie Kuan You cuma tukang cukur. Ceritanya sebelum Lie turun tahta, tukang cukur selalu bertanya kepadanya, “apakah tuan sudah ketemu dengan pengganti tuan sebagai perdana menteri?. Setiap bercukur Lie selalu ditanya Jawabannva sama, belum. Lama-lama Lie Kuan You marah, apakah kamu tidak senang kepada saya menjadi perdana menteri? Tidak begitu tuan, jawab tukang cukur itu. Tetapi setiap kali saya tanya begini, maka rambut tuan berdiri dan saya gampang memotongnya. Ini dongeng. Pada mulanya terkesan politis, ternyata kultural.

Hal ini menunjukkan bahwa tradisi politik untuk syura sangat penting apabila diletakkan dalam konteks perubahan sosial. Berbicara pengalaman Indonesia, mengapa seperti sekarang? Kita menganggap Indonesia baik. Baiknya jalan dibetulkan, jembatan, sekolah, telepon dan banyak kemajuan dicapai. Mau dibilang tidak baik juga banyak. Terserah mau menilai Indonesia seperti apa. Tetapi Indonesia yang seperti ini bisa tercapai dan kita bisa hidup di dalamnya bahkan kita bisa berhalqah (sarasehan) seperti ini adalah karena kita memiliki tradisi syura yang diarahkan kepada perbaikan-perbaikan keadaan, tidak puas begitu saja dengan status quo. Kita mempertanyakan kewenangan dari para pemegang kekuasaan. Walaupun tidak dengan cara teoritis, tetapi kita mencoba dengan cara masing-masing untuk membuat pemerintah bertanggung jawab kepada rakyat, menjalankan pekerjaannya dengan benar.

Semuanya itu dijalankan dalam bentuk kegiatan yang tidak terhitung jumlahnya, mulai dari pengajian, pagelaran wayang dan apa saja di negara, dimana gerak kita menuju satu sikap mencari perbaikan dan perubahan-perubahan. Paling tidak mendoakan pemerintah. Jadi kita merupakan partner tetapi juga pada hakikatnya lawan, tetapi lawan yang tidak dilawan, namun lawan yang digauli dengan baik. Caranya tidak dilawan ialah dengan mengikuti kemauan mereka. Sehingga ada proses pematangan atau perubahan dalam proses pengambilan keputusan. Ini merupakan tradisi politik yang esensial di Indonesia.

Bentuk kelembagaan yang terkait dengan tradisi politik yang sifatnya syura tetapi diarahkan kepada perubahan (emansipatif) mempunyai 7 bentuk kelembagaan. Pertama, organisasi sosial politik seperti Golkar dan partai politik lainnya. Bagaimanapun mereka tidak bisa terus-terusan di awang-awang, sekali-kali mereka harus turun ke bawah dan mengakui kekurangan yang harus diperbaiki. Kerendahan hati dari organisasi politik untuk selalu menghadapi ini merupakan bagian tradisi syura. Kedua, birokrasi pemerintahan. Mereka sebagai institusi adalah perangkat yang mau tidak mau juga harus diperhitungkan dan akan menyuarakan perbaikan untuk menuju emansipasi. Kalau Pak Murdiono bicara integralismenya, sebetulnya hanya karena dia sebagai pejabat harus bicara begitu. Tetapi di belakang lain lagi. Bagaimana dia bisa integralisme, anaknya saja pakai jilbab, Kalau jilbab, maka vocabulary-nya/kamusnya adalah Islam. Kalau Islam, maka ada dua alternatif, antara “qul al-haqqah walau kana murron” (katakanlah yang benar meskipun pahit) atau “qul al-murra walau kana haqqan” (katakan yang pahit meskipun benar). Artinya, yang pertama itu yang baik dan yang kedua itu yang cerewet, yakni katakan yang benar walaupun pahit dan katakan yang pahit walaupun benar. Tidak selalu benar tapi yang penting pahitnya.

Ketiga, militer. Mereka berfungsi birokratik, ikut serta menjalankan bahkan menguasai mesin birokrasi. Dahulu semboyan pada zaman Bung Karno bahwa politik adalah panglima. Tetapi di zaman Orde Baru dibalik, politiknya panglima. Karena memang semuanya harus ditanyakan ke sana. Keempat, organisasi profesi, yaitu para ekonom, insinyur/teknolog, ahli fisika, ahli politik, para dokter dan sebagainya, semua menggunakan ukuran obyektif/baku. Seorang dokter untuk mendapatkan ijin dari Ikatan Dokter Indonesia untuk praktek, harus memenuhi persyaratan, harus lulus tes dan sebagainya. Politik dan kekuasaan tidak bisa main. Salah satu ciri masyarakat syura adalah tegaknya ukuran-ukuran yang obyektif “idzha wusida al-amru ila ghairi ahliha fantadzhir al-sa’ah” (jika sesuatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya). Dengan demikian jelas bahwa organisasi profesi turut menciptakan ukuran-ukuran yang menjadi bakunya kehidupan masyarakat di mana akhirnya perlakuan tidak didasarkan kepada kekuasaan, tetapi kepada kemampuan mengikuti aturan-aturan baku itu.

Kelima, organisasi kemasyarakatan juga mengandung tradisi syura yang emansipatif. Satu hal saja, kalau ormas mau berakar di rakyat, maka dia secara prosedural harus demokratis. Kalau sekarang belum bisa membangun dari bawah tetapi dari atas, karena memang Orpol kita masih begitu. Belum bisa membangun tradisi memilih kepemimpinan secara formal dari bawah. Semoga setelah masuk dalam pelita selanjutnya bisa dilakukan. Selama ini hanya berputar saja, misalnya DPC disahkan oleh DPP, nanti DPC akan memilih DPP. Kalau ada DPC tidak disenangi DPP bagaimana? Di NU sudah jelas, kalau sudah hasil pilihan, PBNU tidak boleh tidak setuju seperti apa harus di SK. Ini faktor eksternal yang sangat rumit. Kita menginginkan organisasi politik bisa begitu, memilih secara prosedural dan demokratis untuk memilih kepemimpinan. Keenam, LSM yang memiliki peran yang paling emansipatif dan paling efektif saat ini dalam tradisi politik yang sifatnya syura yang lebih tajam dari yang lain. Alhamdulillah, sekarang banyak kader NU berdiri sebagai aktivis LSM. Mereka mempelopori kritik-kritik tajam terhadap pencemaran lingkungan akhirnya pemerintah mengambil over gagasan mereka menjadi undang- undang lingkungan, lalu lahirlah Andal (analisa dampak lingkungan) sebelum ada proyek pembangunan dijalankan. Perkara tidak dijalankan itu urusannya birokrasi. Birokrasi akan dihukum oleh sejarah kalau menyimpang dan tidak bisa melaksanakan. LSM juga mulai banyak terlibat dalam urusan politik. Seperti kecerobohan untuk meluluskan UULLAJ, LSM juga ada yang berani memulai demonstrasi. Dan ketujuh, pers. Pers kita walaupun terkena sensor intem, tetapi sudah melakukan upaya sedapat mungkin untuk memberikan gambaran yang benar kepada rakyat. Hal itu mempunyai arti yang sangat besar bagi perkembangan syura di negeri ini. Salah satu contoh adalah surat pembaca yang menggugat PLN apa saja kerjanya setiap hari. Hal ini akan memaksa pelayanan kepada masyarakat ditingkatkan. Semakin canggih teknologi yang digunakan, maka semakin besar tuntutan masyarakat akan kerapihan pelayanan, koran menjadi sangat efektif dan pers punya peranan penting.

Semua jajaran tersebut diatas merupakan pemain-pemain dalam tradisi politik yang bernama syura di negeri kita dalam jumlah yang besar. Maka kepada para kyai jangan menganggap bahwa tradisi politik syura itu terbatas hanya pada tata tertib parlemen atau aturan-aturan dari pemerintah. Tradisi politik syura menyangkut hampir menyangkut seluruh sisi kehidupan bangsa kita dan kita punya tanggung jawab terhadap hal itu. Misalnya kyai berdo’a di depan umum untuk pengikut kebatinan supaya bisa sholat, haji dan sebagainya. Itu suatu hal yang revolusioner dan merupakan tradisi syura yang sesuai dengan caranya sendiri.

Yang penting kita menyadari bahwa tradisi politik yang bernama syura harus berwatak emansipatif yaitu membebaskan dan memajukan. Sedangkan cara bisa diserahkan kepada masing-masing pihak. Sebab diantara para pemain tadi, terjadi hubungan yang rumit yang tidak bisa dikontrol oleh siapapun. Termasuk kyai tidak bisa mengontrol. Maka seyogyanya kyai tidak berusaha dalam pola yang berhadapan, sebab kyai sudah masuk di dalam tradisi ber-syura untuk kemajuan dan untuk pembebasan dari belenggu kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan.

****

Ketika Karl Max mengumandangkan masyarakat tanpa kelas, ini adalah idealisme. Tapi apakah ide masyarakat tanpa kelas ini harus diwujudkan dalam format yang jelas dan direkayasa dalam aksi program yang pasti atau tidak? Jawabannya bisa berbeda-beda. Lenin mengatakan tidak mungkin idealisme itu tercapai kalau tidak ada suatu kelompok yang berani melakukan perubahan dengan program yang jelas. Yang dimaksud adalah partai kominis, suatu partai besar yang melakukan perubahan secara revolusioner dengan merebut kekuasaan. Tapi pendirian Lenin ini bukan tidak ada yang melawannya.

Lawan-lawan Lenin ada dua macam, Pertama, yang cenderung anti program, dan lalu anarkis, asal membuat tindakan berantai. Yang kedua mensyaratkan adanya program, tapi kalem-kalem saja secara bertahap. Keduanya sama sahnya. Satu pendekatan yang memprogramkan secara rinci dan bentuk akhirnya dibuat. Hal terjadi juga di kalangan tokoh-tokoh gerakan Islam ketika hendak mewujudkan cita-cita agamanya. Misalnya Abul Ala al-Maududi, Abu Hasan An-Nadawi, Hasan Al-Banna atau Khomaini. Semuanya sah-sah saja, dan ketika bisa menilai mana yang gagal dan berhasil, bukan mana yang benar atau tidak benar.

Komunisme sendiri ketika jaya dianggap benar, 70 tahun. Tetapi ketika ambruk, ia lantas disalahkan. Sejarah seperti itu terjadi juga dalam Islam. Diantaranya ada pandangan politik-militer yang ingin melakukan perubahan dengan menggunakan kekerasan menuju masyarakat Islam yang ideal seperti Iran. Di samping itu, ada juga yang emansipatif manurut caranya sendiri tetapi sebetulnya tidak merubah keadaan, malainkan memelihara status quo, karena elemen yang penting tidak dibuat, seperti Saudi Arabia. Dia merombak kerajaan yang ada menjadi karajaan baru, UUD-nya Alquran. Tetapi Alquran hanya dilaksanakan secara parsial/juz’iy. Ketika menyangkut masalah imamah dia membuat mamlakah (kerajaan). Sedang Alquran tidak bicara mamlakah sama sekali. Dia boleh kritik Iran tetapi dia harus tahu bahwa dia tidak lebih sempurna dari Iran.

Jadi kita lihat model Hasan Al-Banna tidak memuaskan. Model Abul ‘Ala Al-Maududi seperti dijalankan oleh para ulama Pakistan ujungnya cuma marah-marah kepada kepala pemerintahan wanita, Benazir Butho. Bahkan di sana para ulama telah melakukan kekejian dengan melakukan tuduhan-tuduhan yang sifatnya qadaf, tanpa ada saksi. Seharusnya para ulama di Pakistan itu di-had (dihukum). Dan kesemuanya itu hanya karena fikihnya tidak membolehkan wanita menjadi pimpinan. Lalu dengan cara-cara yang tidak fair dan keji itu mereka melancarkan makar menjatuhkan pemerintahan dan dengan cara kekerasan serta intimidasi memenangkan Pemilu.

Jadi saya melihat kalau model-model ideal hendak diwujudkan dengan kekuasaan akhirnya hanya mengabdi kepada pemegang kekuasaan. Kalau begitu mengapa kita repot-repot membikin model, model pesantren saja yaitu al-tarbiyah wa al-ta’lim, ulama menjadi contoh bagi orang-orang banyak. Hal itu memang beresiko. Tapi selama ulamanya bermutu tinggi, maka ajaran agama berjalan di masyarakat. Sebaliknya, kalau ulamanya sudah dinilai turun mutunya, maka hancurlah semuanya.

Setiap pilihan bentuk perjuangan, baik yang kultural, lepas tanpa bentuk, berbentuk ideal atau dengan program yang jelas sekian tahun, semua pernah dicoba di Indonesia. Di Indonesia ada yang dari Iran (Abdullah bin Hadad, dengan cara kultural membuat keris), dari Dinasti Ayubiyin Syiria (Syeikh Subakir), ada dengan cara militer (Raden Patah) dari Cina. Dia menyerbu dan tabrakan seperti NU tabrakan dengan Masjid Salman, ICMI dengan Forum Demokrasi. Dahulu juga begitu ketika Maulana Ishak berhasil menyusup dalam jaringan intern keraton Majapahit sampai akhirnya berhasil menjadi keluarga raja dan tinggal menunggu peralihan serta masa transisi sedang berlangsung menuju kepada pemerintahan Islam, tahu-tahu Majapahit dirobohkan oleh Raden Patah dari Demak.

Sejak dahulu berbeda strategi dan taktiknya. Kalau sekarang kita membuat lagi format baru, maka akan tabrakan lagi, sebab programnya lain-lain. Menurut saya setiap program silakan bikin, yang tidak punya program juga tidak apa-apa. Tidak punya program artinya tidak punya agenda yang jelas, tetapi secara kultural melakukan cara hidup mengikuti prinsip-prinsip syura. Semua yang punya program atau tidak sudah dites selama berabad-abad oleh para ulama, yakni mereka berada di pinggiran kekuasaan tidak mau di tengah persis. Kalau sudah dikenal menjadi jurkam, paling-paling jadi menteri agama, tetapi tidak bisa menjadi raja. Sebab syarat jadi raja harus kawin dengan Nyi Loro Kidul, jadi ashab al-syimal. Tentu tidak bisa. Begitu melakukan, maka berhenti menjadi kyai.

Jadi apapun yang dipakai, mari kita pelihara tradisi syura. Tadi ditanya kalau tradisi syura dipakai, apa ukurannya? Tradisi syura yang benar adalah tradisi yang di dalamnya maitipu inelianipung baik proses integrasi maupun proses konflik, keduanya ditampung Kekuatan Muhammadiyah, NU, Konfrensi Wali-Wali Gereja Indonesia punya Katolik maupun PGI, potensinya adalah begini, bahwa dalam hal-hal yang integratif, tetapi kalau perlu gegeran juga geger itu sendiri ditolerir. Artinya tidak diselesaikan dengan kekerasan atau main usir-usiran dan bunuh-membunuh. Jadi memang perbedaan pandangan dan perbenturan itu dibiarkan.

Di Jawa Pos pernah dilaporkan adanya kejatuhan NU dengan gambaran konflik. Saya hanya ketawa saja, sebab konflik dalam NU bagian dari kebangkitan NU Sebab dengan itu orang menjadi berdialog dan melakukan pilihan-pilihan. Ada yang memilih memelihara status quo, tetapi ada yang tidak puas dengan status quo Berita ini semua orang mengikuti dan tahu dan tidak ada perasaan pahit. Tradisi ini dahulu ada sebelum Orde Baru. Ketika seru-serunya bantuan antara Sukarno dengan Syahrir, Tan Malaka dan Syahrir juga, Syahrir maunya perjuangan elitis, sedang Tanmalaka perjuangan populis ke bawah dengan Partai Murba. Ketika Tan Malaka berhadapan dengan Semaun dan Muso yang Stalinis, mereka tidak main tahan menahan, melainkan saling menghormati.

Bagaimana kita berada tanpa kepahitan, itulah kuncinya. Saya mengkritik pemerintah keras, tetapi saya tidak pahit. Saya akui, ini pemerintah saya, kalau keluar, saya pertahankan. Ini pemerintah saya dan saya tidak akan merobohkan. Merubah orang-orang saja agar lebih baik dari pada sekarang, termasuk saya sendirı yang mau merubah. Maka capaiannya adalah kalau proses berjalan dengan besar. Seperti syura sebagai tradisi politik, dijalankan. Kalau mau emansipatoris/membebaskan dia harus mampu menampung proses integrasi yaitu penyatuan pandangan di antara kita, saling menyantuni, tetapi juga harus mampu menampung proses-proses konflik/menyelesaikan konflik dengan baik.

Konflik untuk mengimbangi kecenderungan integratif yang tidak maju-maju. Hal ini selalu ada dan baik keduanya. Apakah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali dan sebagainya rukun-rukun şemua dan baik-baik? Saya rasa sebagai orang Arab mereka tukang berkelahi semua. Saya rasa pada jamannya Rasulullah sudah begitu semua. Kira-kira Rasulullah ketawa melihat anak-anak, menantu, mertua, misanan pada berkelahi. Bukan hanya barsatunya saja, tetapi ketika bersatu mereka berbeda pendapat. Dua elemen ini saya rasa penting sekali, yakni integrasi dan konflik ditampung keduanya dalam proses syura. Namanya “ard” (bentuk dan cara) di parlemen harus yang sopan dong, apa akan nuding-nuding dan gebragan meja.

Jangan cepat menafikan. Kalau perubahannya lambat, tidak berarti tidak ada perubahan. Saya sering mengikuti konferensi-konferensi internasional. Saya sudah jenuh, melihat orang India, Srilangka atau Amerika Latin bicara menggebu-gebu tetapi tidak ada apa-apanya. Uraian dan rumusannya bagus, tetapi tidak ada balance (keseimbangan) dengan apa yang bisa mereka lakukan. Tetapi saya tidak menafikan yang bagus seperti teman saya yang setiap hari mengurusi 3 juta manusia yang menjadi buruh budak, anak-anak kecil diculik dan hampir tidak mendapat uang hanya cukup makan. Jaman Modern seperti ini masih ada perbudakan terselubung.

Sekarang masalahnya adalah gelombang yang terjadi seperti ini hasil yang dicapai harus diperhitungkan. Tetapi saya setuju, bahwa tidak semua lepas-lepasan, tidak ada rencana. Sebab kalau semua tidak ada rencana, maka semua menjadi kyai, lalu santrinya siapa. Harus ada santri yang melihat para kyai resah dan bingung melihat kyainya hanya kongko-kongko saja dan rangkul-rangkulan dengan Bupati, Kalau bingung, bikin program saja untuk menolong rakyat kecil, jangan menunggu disuruh kyai. Kalau menunggu kyai, maka anda sendiri terlibat dalam proses seperti itu juga. Sekarang siapa saja yang siap memulai, mulailah masing-masing.

Sebetulnya pada jaman Khulafa al-Rasyidin dahulu apakah hanya ‘ard saja atau jauhar atau keduanya. Pertanyaan ini nampaknya dilatar-belakangi oleh ketakutan jangan-jangan jaman Khulafa al-Rasyidin pun bukan marupakan jaman yang sempurna bagi Islam. Ini harus disadari. Saya adalah orang yang percaya dengan “al-‘asyarah al-mubasyarah bi al-jannah” (sepuluh orang yang dinyatakan Nabi dijamin masuk sorga). Orang empat Khulafa al-Rasyidin ini semuanya ‘mubasyarun bi al-jannah’ (masuk surga tanpa banyak mengisi formulir/tanpa litsus). Tetapi mereka tetap manusia. Manusia tetap belajar. Karena belajar, tentu pemerintahan mereka juga tidak sempurna.

Umpamanya mengapa Abu Bakar langsung menyerbu Musailamah Al-Kazzab? Apa tidak bisa dia damai dahulu? Jawabnya mungkin sudah atau tidak. Kalau tidak dirunding dahulu, itu menunjukkan Abu bakar lebih berlandaskan kepada kekuasaan senjata dari pada kekuasaan moral. Yakni persuasi kepada orang banyak supaya mau menerima Umar sebagai pengganti Abu Bakar, tidak main paksa seperti dekrit. Tetapi dengan tausiah, persuasi. Kalau tausiah itu tergantung yang menerima wasiat, apakah mau atau tidak.

Saya melihat jaman Khulafa al-Rasyidin dalam arti peribadatan sudah sempurna tetapi dalam arti muamalah, maka Islam selalu bergerak. Muamalah selalu munasib lizamani wamakanin (harus menyesuaikan dengan waktu dan tempatnya), terutama dalam ard-nya, walaupun jauhar-nya sudah benar. Jangan kaget kalau secara ‘ardiy, pemerintahan Khulafa al-Rasyidin tidak membawa perubahan, perkembangan dalam kelembagaan syura. Tidak mengapa, yang penting jauharinya sudah syura. Jangan bertanya apakah ketika itu sudah lengkap dengan pemilu dan kotak bumbung kosong. Oleh sebab itu jangan mengidealisir terlalu jauh walaupun kita menerima kenyataan bahwa Khulafa al-Rasyidin mubasyarun bil-jannah.

Ulama-ulama yang ada di luar dan di dalam lembaga akan terkait terus apabila sama-sama berfungsi emansipatoris, membebaskan. Apapun bentuknya, kalau hal ini dipegang kokoh, maka jauhar-nya ini emansipasi, ‘ard-nya berbeda-beda Saudara Sarwono dahulu adalah seorang aktivis kampus yang selalu mengkritik pemerintah secara terbuka. Dan setelah masuk dalam Golkar dan menjadi menteri, siapapun tidak bisa mengingkari bahwa Sarwono adalah orang yang kritis dan masih tetap berpegang kepada emansipasi. Dia berbeda dengan orang cari muka, hanya sekedar naik pangkat untuk kepentingan dirinya.

Sejarahnya NU ketika masih partai dan setelah masuk PPP yang terjadi di MPR tahun 1978 ketika kita memperjuangkan P4, maupun ketika berada di luar lembaga, sama saja. Saya rasa asal kita masih berpegang kepada cita-cita yang sama, nggak masalah ada. Tinggal masalahnya sekarang bagaimana memasarkan atau menyadarkan seluruh jajaran ulama mengerti pentingnya arti komitmen kepada demokrasi dan pembebasan dari kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan. Soal cara bisa bermacam-macam, tidak ada masalah. Antara jauhar dan ard penting dibedakan. Ardnya boleh berubah-ubah, tetapi jangan jauhar berubah.

Penting sekali untuk diingat, ketika terjadi perubahan-perubahan justru di dalam lingkungan kekuasaan yang semula sama bisa berkembang orientasi berbeda. Sebagai contoh para ayatullah di Iran, dahulu orientasinya kerakyatan sepenuhnya. Sampai-sampai disana tidak ada obat selain obat generik yang murah dan bisa dijangkau rakyat. Tidak ada obat yang mahal-mahal dan bermacam-macam. Mobil pribadi yang mewah tidak ada, semua kyai-kyai populistis.

Tetapi sekarang mulai muncul orientasi baru. Katanya, kalau kita hanya berorientasi populistik, atau ukuran kebutuhan masyarakat kelas bawah saja, maka kelas menengah tidak ada dorongan untuk berproduksi. Hal itu sudah fitroh manusia, yakni ingin mendapatkan materi dari apa yang diperbuat dan imbalan materi dia harus lebih dari lainnya. Oleh karena itu terpaksa diadakan perubahan, sehingga Iran harus memulai berupaya menyantuni nilai-nilai yang dibawakan oleh kaum kelas menengah. Tetapi mereka dalam keadaan yang sulit. Sebab begitu kelas menengah diberi angin, boleh memakai lipstik, memakai ini dan itu, lama-lama membuka kudung akhirnya menjadi Barat.

Lalu ulama-ulama bersepakat mencari modus, dengan belajar ke kanan, kiri dan mengirim orang seperti ke Indonesia Ini modus yang sangat baik, sebagai bukti bahwa antara orang-orang yang di dalam pemerintahan seperti Ayatullah Zanjani, Komisi Hukum di Parlemen didukung oleh Ayatullah Muhammaad Ja’fari seorang sufi. Saya datang kesana dia mempunyai problem yang sama. Saya datang kepada Ayatullah Makarim Sirozi, penulis Iran yang bertanggung jawab tentang teori wilayah faqih. Teori Khomeini dikembangkan terus di sasna, dia juga ingin memasukkan suatu proses dimana kaum menengah bisa ikut menentukan wilayat al-faqih bukan hanya ulama dalam fuqaha saja. Baiknya ada komunikasi antara yang di dalam dan di luar, dan ada sikap saling menghargai serta saling mempercayai, Cara menumbuhkannya adalah kesamaan komitmen dahulu. Maka ulama-ulama kita pada dasarnya melakukan hal yang sama.

Pada teori komunis, hai tersebut ditalangi oleh Partai Komunis. Pada sistem Irak ditalangi oleh lembaga “Kubelikhan” yaitu 80 orang ahli agama. Mereka berwenang memilih pemimpin besar Kubelikhan ini yang menjadi penghubung antara yang di dalam dan di luar. Pada kita sekarang apa penghubungnya? Antara lain penghubungnya adalah halqah seperti ini, organisasi seperti NU dan pesantren-pesantren. Kalau pesantren, ulama, NU, RMI dan segala macam organisasi yang ada, kita arahkan kepada model-model emansipatoris, maka mau tidak mau seluruh rakyat akan ikut.

Jangan membahas bahwa hubungan kita dengan Bapak Presiden baik, dengan Pak Alamsyah baik, dengan Pak Habibie dan Pak Mitro baik. Ini cerita gombal. Kalau baik-baikan saya paling baik, tetapi saya tidak mau cerita macam-macam. Justru kita harus bicara hubungan tentang kelembagaan, hubungan lembaga-lembaga dan mekanisme politik yang ada. Bagaimana mengukur hubungan yang fungsional bagi cita-cita membebaskan umat dari keadaan yang sekarang kepada keadaan yang lebih baik, bukan menanyakan dapat kursi menteri dan kursi DPR berapa.

Terus terang kenapa saya di Forum Demokrasi ? Karena saya kesepian Orang-orang kalau omong-omong, tidak ardi dan tidak jauhari. Mungkin sudah maqomnya, maka saya menganggap diri saya sudah maqom majnun. Oleh sebab itu tidak usah repot-repot dengan orang majnun mau disenengi atau tidak, sama saja. Sekarang kyai bertanggung jawab untuk selalu membicarakan, membahas dan mperhatikan perkembangan masyarakat secara total termasuk mekanisme politik mana yang perlu dibetulkan dan caranya bagaimana. Harus berpihak kepada siapa?

Lalu, apakah perlu ada paksaan terhadap rakyat? Memang sepintas selalu pertanyaan itu bisa dijawab iya. Orang kalau tidak bisa dibilangin ya dipaksa. Anak yatim saja memakai wali yang ngurusi harta bendanya. Masalahnya adalah bahwa pemaksaan itu penghinaan total terhadap martabat manusia. Tampaknya rakyat itu goblok, padahal mereka sebenarnya mempunyai akumulasi pengalaman dan kearifan. Mempunyai akumulasi “majmu’at min al-hikam“, ada wisdom. Sebodoh-bodohnya rakyat dia jelas tidak mau memilih pemerintah yang zalim, dia tidak mau diperlakukan sewenang-wenang. Jadi dalam pemaksaan ada satu sikap menghina manusia. Sikap ini yang tidak bisa kita tolerir. Paksaan dalam segala bentuknya adalah menentang martabat manusia. Sekarang mengganti paksaan dengan cara apa agar supaya orang bisa cepat maju? Sebab paksaan itu artinya wewenang dan kekuasaan tanpa batas.

Kekuasaan tanpa batas itu sama sekali bertentangan dengan ajaran agama manapun, termasuk agama Islam “kunu qowwamina bi al-qist“, keadilan itu artinya batas, tidak boleh melanggar batas, kalau melanggar itu tidak ada artinya. Kita terkadang tidak mau bicara tentang batas-batas kekuasaan, lalu kia serahkan saja. Padahal proses demokratisasi seperti dikatakan Pak Matori itu berjalan terus sebagai tuntutan jaman. Kalau ulama tidak bicara inı, maka akan ditinggal oleh jaman.

Ulama kita sekarang ini masih mendapat tempat di hati rakyat, itu karena mereka meneruskan tradisi dari para “al-sabiqun al-awwałun” yang dahulu berani menentang Belanda dan segala hal yang tidak betul. Kita sekarang sudah kehilangan kapasitas untuk melakukan hal itu. Memang tidak perlu kasar-kasar tetapi harus ada. Masalahnya kalau kita main paksaan dan menggunakan mekanisme politik yang salah, maka kita harus menunjukkan mekanisme yang lebih baik. Siapa yang harus membikin, tidak perlu semua. Tapi kalau ada yang menawarkan kita dukung. Kalau tidak ada, maka kita dorong supaya ada. Setelah itu baru terjadi.

Kalau kita bicara sekarang hasil-hasil pertemuan kalangan Gereja, mereka sudah bicara tentang bagaimana adanya teologia atau aqidah yang membebaskan manusia “aqidatut taharur“. Kita masih bingung, katanya “fastabiq al-khairat“. Pembebasan sudah bidangnya khairat, tetapi kita tidak mau musabaqoh. Lebih enak musabaqah tilawatil qur’an, ayem, tenteram lalu pulang tidur. Perkara rakyatnya akan menjadi materialisme atau mengikuti orang lain, tidak pernah dipikirkan.

Bagaimana dengan kedaulatan Tuhan dan kedaulatan rakyat. Sebetulnya itu masalah klasik sekali. Artinya kalau ada norma-norma agama, bolehkah dinetralisir oleh keputusan manusia? Ini pertanyaan rumit dan ulama selalu menjawab tidak boleh, tetapi perkembangan jaman selalu terjadi. Terakhir di Italia tidak membolehkan orang bercerai, tetapi hasil referendum, rakyat Itali menyetujui cerai. Dalam Islam juga terjadi. Bahwa selalu ada konflik antara norma dengan kebutuhan. Masalahnya sekarang bagaimana menyeimbangkan antara hajah (kebutuhan) dan aqidah (keharusan normatif).

Dalam Islam perangkat untuk itu sebetulnya cukup tersedia, seperti “al-hajah tanzilu manzilah al-dhorurah (kebutuhan bisa menempati posisi darurat); dar al- mafasid muqadamun ala jalb al-mashalih (menghindari mafsadah itu diutamakan atas usaha meraih keuntungan). Dan banyak lagi, bahkan sampai kepada yang neko-neko seperti “izha doqq alamru ittasa’a“. Itu mekanisme yang dibikin oleh ulama. Bagaimana kita menularkan mekanisme seperti ini walaupun tidak memuaskan, tetapi tetap berusaha mengawinkan antara kehendak Tuhan dengan kebutuhan manusia. Kalau kita bisa walaupun tidak sempurna, maka tidak perlu khawatir jadi sekuler. Bagaimana memasukkan gagasan ini ke dalam kehidupan legislatif kita, ini tidak bisa dengan mengusulkan agar qawaid al-fiqh dimasukkan ke dalam tata tertib MPR/DPR. Bagaimana caranya? Kerja sama dengan semua pihak yang berkepentingan dengan hal ini, mencoba mencarikan rumusannya melalui pedoman- pedoman yang kita titipkan apakah dalam bentuk yang formal seperti aturan main yang kongkrit atau tidak, atau dengan cara lain. Tapi saya minta jangan terlalu menyangkut aturan main.

Satu contoh, ketika Silaknas (Silaturahmi Kerja Nasional) ICMI dilaksanakan. Saya diberitahu dan saya sudah lihat barangnya. Tim yang mempersiapkan rancangan-rancangan keputusan dan bahan pembahasan ada satu hasil dokumen yang namanya “Format Politik Islam di Indonesia”. Kalau kita masih begini-begini saja maka jangan harap semua pihak akan percaya pada kita. Baju Islam sudah tidak jadi baju lagi. Baju Islam dengan munculnya Orde Baru dan dikikisnya ideologi, terjadi proses ideologisasi sebagai baju dia sudah hilang. Sekarang yang penting adalah warna dan bentuk baju tetap kita simpan di dalam hati. Masalahnya adalah bagaimana menitipkan nilai-nilai dasar Islam di dalam kehidupan bernegara kita, tentu dengan kosakata, bahasa politik kita dan bahasa kenegaraan kita, bukan dengan menggunakan rumusan-rumusan formal, apalagi berbahasa syara. Anggota parlemen PPP saja hampir semua tidak bisa bahasa Arab, apalagi Golkar dan PDI.