Islam dan Teori Sosial
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Beberapa bulan yang laiu penulis dimarahi banyak orang karena “Menyatakan” bahwa Islam tidak mempunyai teori sosial. Setelah itu banyak yang terus-menerus bertanya duduk perkaranya, apa yang dimaksudkan dengan pernyataan tersebut, karena masalahnya lalu dapat dijelaskan secara gamblang, walaupun secara singkat dan seperlunya saja dalam rubrik ini.
Islam memiliki sejumlah wawasan bagi pengaturan hidup bermaryarakat. Secara keseluruhan pernyataan itu dirumuskan dengan istilah yang sangat pendek: syari’ah. Umumnya diterjemahkan dengan kata ‘jalan hidup’ di kemudian harinya disempitkan menjadi ‘Hukum Islam’.
Selaku slogan, syari’ah memang memberikan kepuasan, karena kaum muslimin menemukan keberadaan diri secara penuh di dalamnya. Syari’ah menjadi tumpuan harapan bahwa dengan pelaksanaannya secara tuntas lalu tercapailah perwujudan masyarakat yang dicita-citakan Islam. Syari’ah menjadi totalitas pengamalan ajaran Islam. Karena kemudian istilah itu menjadi begitu luas cakupannya dan ‘mengambil porsi’ sisi awidah dan akhlaq. Manifestasi dari sisi ‘pengambilan porsi’ ini adalah imprimatur halal-haram dan salah benar (bid’ah-sunnah) atas setiap ajaran ketuhanan dan setiap manifestasi moralitas.
Namun, bagaimanapun juga tidak selayaknya syari’ah disamakan dengan sebuah teori sosial. Pertama, karena syari’ah adalah ketentuan normatif yang bersifat abadi, sedangkan teori sosial adalah sesuatu yang harus berkembang terus-menerus, seperti yang terjadi pada marxisme dewasa ini.
Sebab kedua, karena memang berbeda alat-alat kelengkapannya. Syari’ah tidak mementingkan bentuk pelembagaan dari penerapan ajaran Islam. Karena itulah, ia disebut ‘jalan hidup’, tidak berkonotasi kelembagaan melainkan bermakna pola prilaku. Sedangkan teori sosial selalu berujung pada bentuk negara atau masyarakat.
Sebab ketiga, sebuah teori selalu mengandung kemungkinan untuk dikoreksi, atau dibandingkan dengan teori-teori lain, itu adalah keharusan ilmiah yang tidak dapat ditolak. Sedangkan syari’ah adalah ‘rumusan sono’ yang tidak dapat diuji dengan alat apapun, karena ia mewakili kebenaran yang diyakini pemeluk agama Islam. Teori adalah kelumrahan, satu di antara sekian cara berpikir dan mengambil keputusan. Sedangkan syari’ah adalah unikum, sebuah kekhususan yang berdiri sendiri.
Karena Islam telah memiliki tugas mewujudkan syari’ah, mengapa ia memerlukan teori sosial? Kalaupun dipaksakan juga, untuk keperluan kelembagaan teori sosialnya Islam itu tokh hanya akan berwatak temporer saja, sewaktu-waktu dapat berubah. Bisakah sesuatu yang berubah-ubah mengajukan klaim bahwa ia ‘mewakili’ Islam?
Tetapi, konsekuensi memikul tugas mewujudkan syari’ah bukan kerja main-main, terlebih dahulu harus dihilangkan phobia orang terhadap istilah itu sendiri. Syari’ah adalah totalitas cara hidup kaum muslimin, namun sering dimengerti hanya sebagai perangkat hukum formal atau upaya legilasi. Padahal syari’ah dapat diberlakukan tanpa harus dilegislasikan sebagai hukum formal. Ia bisa berfungsi sebagai etika masyarakat, seperti terjadi dimana-mana dewasa ini di seluruh dunia.
Belum lagi langkah-langkah lain yang harus dilakukan untuk meluaskan cakrawala syari’ah itu sendiri. Berat memang, tetap bukanlah itu tujuan mulia yang menjadi tanggungan kita?