Islam dan Titik Tolak Etika Pembangunan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam sidang kelompok seminar tentang pesantren di Berlin Barat bulan Juli 1987, diajukan sebuah pertanyaan menarik. Prof. Jeuhy dari Universitas Frankurt rmeriunjuk pada tema penyelamatan (salvation) sebagai titik tolak etika pembagunan Kristiani. Melalui pembebasan manusia dari dosa asal, terjadi proses proses evolusioner atau revolusioner untuk mencapai kehidupan ideal yang diinginkan. Menurut Jeuhy, keyakinan akan datangnya kerajaan Tuhan melalui kedatangan seorang Juru Selamat (Messiah, Masih) adalah titik tolak teologis agama Yahudi tentang hal yang sama.
Dengan titik tolak penyelamatan itu, dinamika kehidupan kolektif masyarakat akan terjadi. Sudah wajar dari dinamika itu lalu muncul “aturan permainan” yang melandasi kegiatan penyelamatan itu sendiri Aturan permainan itulah yang kemudian berkembang menjadi etika pembangunan. Gugusan pandangan yang membentuk sikap dan mendorong tindakan untuk membangun dalam arti mengubah pola kehidupan dari struktur yang timpang ke struktur yang adil. Dari sudut pandangan ini, tercapainya keadilan sosial adalah bentuk duniawi dari penyelamatan yang dijanjikan Tuhan dalam teologi kedua agama samawi tersebut.
Prof. Jeuhy bertanya kepada saya, apakah titik tolak teologis agama Islam bagi pengembangan sebuah etika pembangunannya sendiri? Mungkinkah pondok pesantren berpartisipası dalam pembangunan, tanpa etika pembangunan? Bukankah akan runyam jadinya, jika membangun tanpa landasan etis yang jelas? Bila demikian, salahkah jika agama lalu diarahkan dan bukannya mengarahkan dalam proses membangun?
Jeuhy lebih jauh berpendapat, bentuk-bentuk konsepsional wawasan teologis Kristiani mengenai pembangunan, seperti yang ditawarkan oleh teologia pembebasan, adalah konsekuensi logis saja dari titik tolak penyelamatan manusia dari dosa asal. Dengan ungkapan lain, etika pembangunan yang dikembangkan umat Nasrani adalah bentuk konkritisasi konsep penyelamatan yang cenderung berwatak utopis.
Terus terang saja, saya lalu garuk-garuk kepala mendengar rentetan pertanyaan di atas. Profesor tua yang lebih dua dasawarsa lalu mengembangkan “siaran radio pembangunan industri kecil” di LP3ES itu, kini mengusik sesuatu yang mendasar dari pandangan hidup yang seyogyanya diacu oleh Islam. Tetapi yang juga terus terang saja belum sempat terpikirkan secara tuntas. Mungkin baru kilatan pandangan yang belum sistematis. Tetapi tentu rasanya akan risih juga hati saya, jika mampu menjawab rangkaian pertanyaan Jeuhy itu. Jauh-jauh dibiayai datang dari Indonesia, di Berlin tidak bisa memberikan jawaban. Hasilnya adalah pemikiran awal yang akan disajikan selanjutnya dalam kolom ini, dimuatkan di sini agar didalami bersama. Kalau perlu boleh ditolak.
*****
Penulis memulai dengan pernyataan, bahwa kaum Muslimin diharuskan mengikuti keteladanan sempurna yang diberikan oleh Nabi Muhammad selaku utusan Allah. Kalau demikian, apakah yang paling penting dari keutusan beliau? Dalam pandangan saya, intinya ada dua hal. Pertama, keyakinan bahwa manusia adalah. makhluk ciptaan Allah, karena itu harus menghamba kepada-Nya. Penghambaan inilah yang sebenarnya ibadah kepada Allah, yang merupakan penafsiran tunggal atas kata al-islam itu sendiri. Kata al-islam dalam terjemahan harfiahnya berarti penyerahan diri. Penyerahan total dalam lingkup rasa menghamba kepada-Nya semata. Hal kedua yang dibawa oleh Rasulullah adalah penugasan beliau untuk membawa kesejahteraan kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Tugas yang dirumuskan dalam Alquran dengan ungkapan sederhana “rahmatan li al-‘alamin“.
Untuk kepentingan meneladani Rasulullah dalam menghamba kepada Allah dan mensejahterakan kehidupan umat manusia, kaum Muslimin didudukkan dalam konteks sebagai manusia. Makhluk unik inilah yang diberi status kemuliaan di sisi-Nya. Manusia diberi oleh Allah bentukan kemakhlukan yang sempurna (ahsan taqwim) dan diperintahkan menyusun kehidupan masyarakat yang serba adil (al-qisth). Sasaran upaya manusia dalam upayanya untuk menghamba dan mensejahterakan kehidupan itu bukanlah sesuatu yang abstrak. Sasarannya cukup konkrit yang dalam Alquran dirumuskan sebagai “negeri sejahtera dan penuh dengan pengampunan Tuhan” (baldah thayyibah wa rabb ghafur)
Memang, Islam tidak memiliki konsep dosa asal, karena manusia pada dasarnya lahir seperti makhluk-makhluk lain. la lahir dalam keadaan suci bersih, yang diistilahkan dengan kata al-fitrah. Karenanya, tidak perlu mengalami penyelamatan oleh Tuhan. Kalaupun di akhir zaman nanti datang seorang Juru Selamat (Al-Masih), maka ia akan menyelamatkan dunia dari kehancuran akibat ulah manusia dalam kehidupan di dunia ini. Walhasil, Islam tidak mengenal dosa kolektif, melainkan memiliki tugas kolektif untuk menyelamatkan dunia akibat ulah sebagian di antara manusia sendiri.
Namun, dari titik nol berupa fitrah manusia hingga titik seratus pun berupa “masyarakat sejahtera penuh pengampunan”, terbentang spektrum sejarah kehidupan manusia. Makhluk serba berfitrah ini dapat saja lupa akan tugasnya, dan gagal menciptakan kehidupan yang dicita-citakan itu, kalau tidak dipagari kesadaran penuh untuk menghamba kepada Allah semata. Ia dapat saja menghamba kepada harta benda, kedudukan maupun kekuasaan.
Jadi, acuan non-evolusioner dari kehidupan menurut versi Islam ini tidak kalah dramatisnya dari acuan Kristiani dan Yahudi. Tema keharusan menghamba sama dinamisnya dengan tema dosa asal dari konsep teologis umat Nasrani dan konsep penyelamatan dari Yahudi. Dinamikanya sama-sama terletak pada keharusan melakukan upaya perbaikan kehidupan melalui perubahan struktur masyarakat. Perubahan dari struktur yang timpang kepada struktur yang serba berkeadilan. Juga sama dari kemungkinan kontektualisasi dari upaya tersebut, bisa melalui cara evolusioner ataupun revolusioner.
Dari kemungkinan melakukan pilihan cara perubahan itulah sebenarnya akan muncul etika pembangunan masing-masing dari ketiga agama monoteistik tersebut, menurut pandangan saya. Bukannya dari titik tolak tematisnya, seperti dikemukakan Jeuhy. Karenanya, terbuka kemungkinan munculnya etika pebangunan yang evolusioner maupun yang revolusioner dari ketiga agam tersebut, seperti terbukti dalam sejarah. Dengan kata lain, agama dan pandangannya tentang cara perubahan struktur masyarakat sebenarnya netral-netral saja. Yang menentukan adalah justru umat yang mendukungnya. Karena itu, pada dasarnya agama bukanlah politik. Kalau agama berubah menjadi ideologi politik, berarti ia menjadi korban dari tindakan mempolitikkan (verpolitisasi) dari umatnya belaka.
*****
Jika agama bukan politik, dengan sendirinya etika pembangunan yang dibawa oleh agama harus benar-benar sesuatu yang etis. Bahwa dari etika pembangunan Judaistik, Kristiani ataupun Islami kemudian pemikiran ideologis berkembang, itu merupakan perkembangan historis dan bukannya teologis. Kenyataan ini yang justru seringkali disalahpahami oleh manusia, dengan anggapan seolah-olah agama harus berwatak ideologis.
Kesalahan dalam memahami hakikat agama itu kemudian membuahkan sikap apriori, yang mengharuskan agama mengambil sikap politis dan wawasan ideologis. Walaupun dalam dirinya, kedua hal itu tidak dapat dipersalahkan. Sikap untuk memutlakkan keduanya dan menyalahkan sudut pandang lain terhadap agama adalah kesalahan yag mendasar. Ia akan membuahkan ekstrimitas sebagai suatu “sikap agama” Akan terjadi sikap menyalahkan pendekatan lain, seperti terlihat dari kemarahan penganut teologia pembebasan terhadap para uskup dan uskup agung yang menyantuni pemerintahan diktatorial, sikap kaum Khawarij yang mengkafirkan kaum Sunni dan sikap kaum Zealot yang memurtadkan orang Yahudi yang pasrah pada kekejaman para prokurat Romawi dulu.
Adanya ekstrimitas dalam sikap inilah yang seharusnya mendorong kaum beragama untuk senantiasa memeriksa ulang landasan etis bagi pemikiran mereka tentang kehidupan, utamanya dalam era pembangunan. Sudahkah tugas pembebasan, penyelamatan atau penyejahteraan dilaksanakan? Arifkah sikap menyalahkan pihak lain, sedangkan pelaksanaan tugas sendiri saja belum sungguh-sungguh dilakukan? Saya merasa harus berterima kasih pada pertanyaan-pertanyaan Prof. Jeuhy itu, yang merangsang pemikiran lebih jauh. Mampukah kita semua mengajukan pertanyaan seperti itu dalam hidup kita?