Isu Lama Kemasan Baru: Dikritik GP Ansor, Sarat Muatan Politis
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Ada kritikan yang cukup tajam yang dilontarkan Ketua PP Gerakan Pemuda (GP) Ansor Drs. H. Slamet Efendi Yusuf kepada Ketua Umum PBNU KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurut Slamet, kepemimpinan Gus Dur di NU ternyata tidak bisa menyeimbangkan empat misi NU, sehingga melupakan bahwa organisasi itu telah kembali ke Khitah 1926.
“Kepentingan Gus Dur di NU sangat sarat dengan muatan politis. Padahal, dengan kembali ke Khitah 1926, NU tidak akan melakukan kegiatan politik”, kata Slamet sesuai pembukaan Konferensi Besar (Konbes) XI organisasi kepemudaan yang bernaung di bawah NU itu di Megamendung, Bogor, Rabu dini hari.
Menurut dia, NU setelah kembali ke Khitah 1926, yang dirancangkan dalam muktamar NU di Situbondo pada 1984, membawa empat misi, yakni pendidikan (ma’arif), dakwah, kemasyarakatan (mabarrot) dan amar makruf nahi munkar (mengajar kebaikan dan mencegah kemungkaran).
Kepemimpinan yang ada sekarang, katanya, tak seimbang dalam melaksanakan empat misi tersebut dan hanya kritis pada persoalan-persoalan politis, sehingga kurang membina warga nahdliyin secara keseluruhan. “Pernyataan-pernyataan politiknya memang tajam, tetapi tidak membina umat NU, tetapi justru turut membingungkan peran organisasi dalam kehidupan kemasyarakatan dan keagamaan”, katanya.
Penilaian serupa juga disampaikan Ketua PBNU Drs. H. Chalid Mawardi yang juga hadir dalam pembukaan konbes. Menurut dia, kecenderungan negatif yang hidup di tubuh NU, yakni orang NU merasa sebagai “gadis cantik” yang diperhatikan dan dibutuhkan. “Kalau tidak diperhatikan atau dibutuhkan perannya, mereka marah, lalu membuat pernyataan-pernyataan tajam”, ujarnya.
Selain itu, satu hobi yang jelek adalah bahwa NU terlalu berlebihan dalam publikasi tentang sepak terjangnya sehingga menjadi penyakit. Padahal, dalam Al Qur’an antara lain diajarkan, capailah maksudmu dengan diam-diam.
“Namun di NU tidak, menjelang Muktamar III PPP kemarin, pertemuan para kiai NU di Taman Mini, Rembang, dan sebagainya yang sebenarnya rahasia, tetapi diungkapkan secara meluas, sehingga niat mereka dapat terbaca oleh lawan politiknya. Ya sudah. Jadi, tidak berhasil, lalu marah dan membuat pernyataan yang tajam”, katanya sambil tertawa.
Tanggapan Gus Dur
Gus Dur ketika dihubungi secara terpisah mengatakan bahwa kritik Slamet maupun Chalid atas dirinya merupakan hak mereka. “Semuanya terserah pada muktamar kelak, apakah kritik itu bisa diterima atau justru kepemimpinan saya yang diterima sebagai benar-benar kukuh berpegang pada Khitah 1926”, ujarnya tenang.
Gus Dur mengatakan, kritik semacam itu sebenarnya isu lama yang ditampilkan dalam kemasan baru. “Dulu, ketika muktamar NU di Krapyak, Yogyakarta, saya juga dikritik Kiai As’ad (almarhum KH As’ad Syamsul Arifin, ketua mustasyar PBNU). Tetapi, akhirnya hal itu tidak diterima oleh peserta muktamar. Dulu, saya sempat dianggap sebagai ketua ketoprak. Sekarang saya dibilang ketua politik. Ya, terserah saja. Itu hak mereka”, Katanya.
Gejala apa sebenarnya yang terjadi dan dialami Gus Dur dengan munculnya berbagai kritik menjelang muktamar? Untuk mengetahui lebih jauh masalah tersebut, berikut petikan wawancara Jawa Pos (JP) dengan Gus Dur.
JP; Apa tanggapan Anda terhadap kritik Slamet dan Chalid Mawardi?
Gus Dur; Biar saja. Saya menduga ada orang lain yang menyuruh Slamet melontarkan kritik itu. Mengapa saya bilang begitu? Karena, saya tahu Slamet nggak pernah berdiri sendiri. Dulu, dia nggantung pada saya. Tetapi, saya tidak bisa digantungi begitu Maka, saya tidak bisa ngopeni dia. Sekarang dia justru mengkritik saya. Itu artinya, dia mau mencari gantungan lain, setelah saya.
JP; Soal materi kritik itu sendiri, bagaimana?
Gus Dur; Ya, terserah muktamar nanti. Kalau saya dianggap menyimpang dari Khitah, tidak amar makruf nahi munkar atau yang lainnya, sebaiknya hal itu diajukan dalam forum mukmatar. Seperti ketika kiai As’ad dulu mengkritik saya Sehingga peserta mukmatar bisa menilainya.
JP; Apa memang banyak kegiatan Anda yang bermuatan politik?
Gus Dur; Ndak. Saya tidak pernah ikut campur dalam urusan politik. Buktinya, ketika PPP ramai-ramai muktamar, saya tidak ikut. Ketika Golkar punya gawe, saya juga tidak ikut campur. Demikian pula ketika PDI kongres, saya tidak terlibat. Bahwa ada orang-orang NU yang didzalimi (dipaksa masuk ke dalam kepengurusan partai berlambang bintang, tanpa tanda tangan atau tidak sesuai dengan hasil muktamar PPP), kami ikut solider. Sebab, kekuatan warga NU yang memang realistis itu tidak diperhitungkan. Itu namanya orang NU didzalimi. Kami ikut prihatin.
Fenomena lain, misalnya di PDI sekarang orang NU mulai muncul, kami ya ikut senang. Itu saja. Bahwa banyak orang NU di Golkar yang masih mlempem, karena kualitas mereka tidak baik atau tidak memenuhi harapan umat, ya saya prihatin. Itu saja. Wajar-wajar saja, kah?
JP: Terlepas dari itu semua, apakah Anda merasa pernah melakukan kegiatan politik?
Gus Dur; Bagi saya, batasan kegiatan politik itu apabila kita melakukan upaya untuk mencari jabatan, baik di DPR maupun di tempat lain. Saya tidak melakukan hal itu. Kalau saya, misalnya melontarkan pandangan atau pendapat agar bisa mempertahankan UUD 1945 agar negara ini tetap berdaulat, masyarakatnya bebas mengeluarkan pendapat, berserikat, tanpa diganggu, sehingga bisa memberikan persamaan hak tanpa kecuali, apa itu berpolitik? Itu kan hak saya sebagai warga negara Indonesia yang baik dan benar serta sadar akan keberadaan negerinya.
Hal-hal seperti itu bukan berarti saya berpolitik. Slamet saja yang nggak ngerti… ha… ha. Sebaiknya, dia balik saja belajar. Atau, kalau tidak, berarti Slamet sama dengan menipu dirinya sendiri. Karena, siapa lagi yang mau mengamankan sendi-sendi UUD 1945 di negeri ini, kalau bukan kita, bangsa Indonesia?
Gus Dur juga mengharapkan tokoh-tokoh NU yang sempat berbeda pendapat sehubungan dengan muktamar PPP, agar tetap menjaga kekompakkan. “Saya menghimbau para pemimpin NU, terutama yang di Jateng, untuk saling memahami pendirian dan pemikiran masing-masing”, katanya.
Gus menambahkan, “Justru pada saat menerima tindakan sewenang-wenang dan didzalimi pihak lain itulah, para pemimpin NU harus saling merasa memiliki organisasi ini. Para tokoh NU yang di Golkar, parpol haruslah dimengerti sebagai orang-orang yang membela kepentingan NU”.
Sebagai ketua umum PBNU, Gus Dur perlu menyatakan ini karena ada tokoh NU seperti KH Mustofa Bisri – pengasuh pondok Roudlotut Tholibien, Rembang – yang ingin mengundurkan diri dari NU dan kegiatan-kegiatannya. “Kalaulah Pak Bisri berniat mundur gara-gara ini, kami semua yang di PBNU tentu tidak akan melepas. Sebab, jasa-jasa beliau dalam membela dan berjuang untuk NU sungguh sangat luar bisa besarnya”, katanya.