Jackie Charlton dan Strateginya
Ulasan Piala Dunia 1994
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Kemenangan tim Belanda atas Irlandia dalam babak kedua kompetisi Piala Dunia ’94 menyajikan dua buah strategi yang saling berbeda. Walaupun keduanya berlandaskan penguasaan teknis yang sempurna, kecepatan yang tinggi dan disiplin yang ketat bagi para pemain, jalan yang ditempuh kedua tim ternyata tidak sama.
Tim Oranye Belanda sejak awal sudah membuka serangan frontal atas pertahanan Irlandia. Lebar lapangan digunakan sepenuhnya untuk menembus pertahanan lawan, seperti terlihat pada majunya back Frank de Boer sampai jauh ke depan. Sering kali pola klasik 4-4-2 oleh Belanda dijadikan untuk sementara pola 3-5-2. Koeman dalam hal ini ditempatkan di muka Frank Rijkaard, sehingga daya gempurnya terlihat nyata.
Setidak-tidaknya, dalam babak pertama gelandang seperti Rob Witscghe yang bernomor punggung 5 lebih merupakan pemberi umpan ke depan ketimbang penahan bola di lini tengah. Winter yang memiliki naluri bertahan juga dimanfaatkan untuk lebih menunjang serangan ke daerah pertahanan lawan.
Baru setelah perubahan strategi Irlandia, untuk menggempur Belanda habis-habisan, tim Oranye itu memperkuat sektor pertahanan. Tiap kali dobrakan bergelombang Irlandia terjadi, tujuh orang pemain Belanda segera menutup daerah pertahanan mereka, dan hanya menyisakan tiga orang berada di lini depan. Itu pun dengan penyerang utama Bergkamp yang seringkali berada dibelakang untuk membela pertahanan. Terkadang hanya disisakan Overmars saja yang berada di depan, terkadang juga berdua dengan Wim Jonk. Walaupun demikian untuk gempuran 10 menit terakhir pertandingan Belanda masih memasukkan tipe gelandang menyerang seperti Bryan Roy menggantikan Rob Witscghe.
Pertahanan tangguh yang dimiliki Irlandia, dengan Irwin sebagai palang pintu, tentu tidak kuat menghadapi gempuran Belanda itu, sehingga lahir gol Wim Jonk pada menit ke 41. Hanya kecemerlangan penjaga gawang Pat Bonner yang mampu menghindarkan gawang Irlandia dari kebobolan lebih jauh.
Pertandingan hidup-mati Belanda melawan Irlandia itu menggelarkan sisi yang menarik dari sebuah strategi yang diterapkan secara fanatik oleh pelatih Charlton. Intinya adalah bertahan di tahap pertama dan menyerang di tahap terakhir. Kalau saja Irlandia bernasib baik, bukan tidak mungkin Belanda yang justru tersingkir dengan strategi tersebut.
Pada tahap awal pertandingan, Irlandia menerapkan sistem bertahan tanpa kompromi. Umpan-umpan panjang, ciri khas pola hit and rush yang dipakai Irlandia, sangat sedikit dilakukan pada babak pertama. Tanpak nyata, bahwa Charlton memilih untuk menyimpan tenaga pemain, untuk digunakan sepenuhnya dalam babak kedua. Strategi ini menjadi tambah nyata penggunaannya, ketika Tony Cascarino baru dimainkan dalam babak kedua itu. Dengan turunnya Cascarino ke lapangan, serangan- serangan Irlandia menjadi sangat tajam.
Penerapan dua strategi yang seakan saling bertentangan antara babak pertama dan babak kedua itu menunjukkan penguasaan yang sangat baik dari Charlton atas pola permainan anak-anak asuhannya. Pada saat yang sama, hal itu juga menunjukkan penguasaan sangat baik para pemain Irlandia atas jalannya pertandingan. Kemampuan teknis yang tinggi dan kematangan strategi menyatu dalam bentuk fleksibilitas permainan yang bisa dijaga pada tempo yang tinggi, tetapi pada saat yang sama memperlihatkan variasi strategi yang sangat tinggi pula.
Apa yang terjadi atas tim Irlandia di babak pertama, termasuk kalah perolehan gol dari tim lawan akan ditutup dan dilampaui dalam babak kedua. Dengan perhitungan seperti itu, Charlton yakin akan dapat memenangkan pertandingan pada saat peluit panjang ditiup Wasit. Keyakinan akan perpaduan antara penguasaan teknis atas bola, daya dobrak yang tinggi dari taktik hit and rush dan serangan bergelombang atas pertahanan lawan itu membuat Charlton masih optimis pada akhir babak pertama. Menuju ruang pakaian di saat istirahat, ia tetap tampak riang gembira, walaupun timnya sudah tertinggal 2-0 dari tim negeri Kincir Angin Belanda.
“Kemampuan teknis yang tinggi dan kematangan strategi menyatu dalam bentuk fleksibilitas permainan yang bisa dijaga pada tempo yang tinggi, tetapi pada saat yang sama memperlihatkan variasi strategi yang sangat tinggi pula.”
Sayangnya, strategi fleksibel dari Jackie Charlton itu kandas di tangan para pemain tim Oranye. Sikap bertahan di babak pertama di pihak tim Irlandia, digunakan oleh kesebelasan Belanda untuk terus-menerus menggedor pertahanan Irlandia. Begitu selesai penjajakan kekuatan pada menit ke-10 dan permainan dijadikan bertempo tinggi. Belanda langsung melakukan gebrakan dan Bergkamp memanfaatkan ketidaksiapan barisan pertahanan lawan. Pada menit ke-12 gol pertama Belanda lahir dengan mulus. Kecurian satu gol, tim asuhan Charlton itu semakin fanatik menerapkan strategi-dua tahapnya itu. Babak pertama adalah babak pertahanan, dengan penyerangan sebagai varian penyekat saja.
Serangan demi serangan tim Belanda memang tidak mampu memporakporandakan pertahanan Irlandia. Strategi Belanda mengurung pertahanan lawan, melalui serangan bergelombang dengan umpan-umpan dari Koeman yang diletakkan di depan posisi Rijkaard, membuat serangan balik Irlandia terhenti di tengah jalan. Namun, strategi itu sendiri untuk jangka waktu cukup panjang tidak membuat lubang berarti pada tembok pertahanan Irlandia. Artinya, qua strategi, pola yang dikembangkan Charlton memiliki keabsahan cukup besar. Hanya kecerdikan Dick Advocaat untuk memasukkan Wim Jonk pada menit ke-40 yang membuahkan hasil semenit kemudian. Gelandang menyerang dengan tendangan keras ini mampu menembus jalan rapat pertahanan Irlandia pada menit ke-41. Hasil itu pun sebenarnya lebih menunjukkan keberhasilan psikologis, karena tendangan keras itu merupakan surprise dan berada di luar antisipasi penjaga gawang Pat Bonner.
***
Seperti dikatakan di atas, hasil tertinggi 2-0 dari Belanda tidak membuat kecil hati Jackie Charlton. Strategi yang dirancangnya, untuk memberondong Belanda dengan serangan bergelombang membuat ia tetap optimis. Apalagi ia masih mempunyai simpanan dalam bentuk masuknya Cascarino dan Jason Mc Ateer. Masuknya kedua pemain itu ke lapangan pertandingan, menandai perubahan mendasar dalam pola permainan Irlandia, segera mengubah situasi. Serangan bergelombang Irlandia dengan umpan-umpan panjang dan terobosan hit and rush dipergunakan secara maksimal. Ketinggalan gol 2-0 diharapkan dapat ditutup segera dan kemudian dilampaui dengan gol penentu kemenangan bagi Irlandia. Diharapkan Charlton, skor akan menjadi minimal 3-2 bagi kemenangan timnya.
Sayangnya, rancangan bangunan Jackie Charlton itu dapat dikandaskan oleh pelatih Belanda Dick Advocaat. Caranya sederhana saja, dengan memasang tujuh pemain untuk bertahan di belakang. Pola acak yang dikembangkan Dick Advocaat, dengan tidak menentukan secara kaku mana pemain yang bertahan dan mana yang menyerang, kecuali Bergkamp sebagai penyerang utama, membuat pertahanan Belanda menjadi sangat ketat. Permainan keras Stan Valck sebagai palang pintu terakhir tidak memberikan peluang bagi para penyerang Irlandia. Disiplin Rijkaard untuk tidak terpancing maju terlalu ke depan, dan ketegaran Koeman untuk menguasai daerah sekitar 30 meter di muka gawang Belanda, membuat tim Oranye itu mampu bertahan tidak kemasukan satu gol pun. Apalagi memang Dewi Fortuna melindungi Belanda kala itu. Berkali-kali serangan Irlandia yang dipimpin Cascarino membuahkan tendangan yang membentur mistar gawang atau melenceng tipis di atasnya.
Baru pada 10 menit terakhir pertandingan keadaan dapat dibalik oleh Belanda. Tim Oranye itu, setelah menguasai cara bertahan yang cukup tangguh untuk menghadang gelombang serangan Irlandia, perlahan-lahan melancarkan gelombang serangan balasan. Inilah langkah cerdik Advocaat yang diterapkan dengan sangat baik oleh tim asuhannya. Organisasi pertahanan yang kukuh, yang mampu menahan gedoran Irlandia selama 35 menit babak kedua, dikombinasikan dengan sebuah prinsip lama: pertahanan terbaik adalah penyerangan.
Kalaupun mungkin dapat dikatakan strategi Jackie Charlton kalah dari strategi Dick Advocaat, itu terletak hanya dalam kemampuan pelatih Belanda itu untuk membuyarkan gelombang serangan Irlandia pada 10 menit terakhir, dengan melakukan taruhan habis-habisan dalam bentuk serangan balik bergelombang. Masa 10 menit terakhir itulah masa perampasan impian Charlton dan tim Irlandia, karena kemenangan lalu menjadi tak mungkin terwujud lagi.
Dari ulasan di atas dapat dilihat bahwa strategi Jackie Charlton cukup baik. Kemampuan timnya untuk menerapkan strategi itu juga cukup baik. Tetapi perbedaan sehelai rambut yang melebihkan strategi Dick Advocaat atas strategi pelatih lawannya itu, lalu menjadi penentu bagi kekalahan tim Irlandia. Apalagi memang Dewi Fortuna membantu Belanda. Kekalahan Irlandia itu sama sekali tidak mengecilkan postur Jackie Charlton dalam persepakbolaan internasional. Bahkan dapat dijadikan modal bagi kiprah tim Irlandia dalam kompetisi Piala Dunia 1998 nanti. Apalagi kalau Irlandia dapat memanfaatkan ketajaman serangan pemain-pemain seperti John Aldridge yang absen dalam pertandingan melawan Belanda itu.