Jalan Utama Bagi Kita

Sumber Foto: https://ummetro.ac.id/ngobrol-enteng-entengan-tentang-pluralisme-beragama/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid)

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين، والصلاة والسلام على أشرف المرسلين سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين. وبعد.

Dalam buku ini, penulisnya menggambarkan kepada kita hal-hal yang sebaiknya dilakukan oleh seorang muslim dalam hidup, terutama bagi kalangan Nahdliyin. Meski demikian, bukan berarti tidak ada yang berbeda pendapat. Berbeda pendapat terjadi dalam hampir setiap hal kecuali masalah-masalah pokok yang berkaitan dengan akidah. Karena itu, berbeda pendapat adalah hal yang biasa dalam tradisi Islam, khususnya dalam fiqh.

Karena buku ini tidak hanya menguraikan dalil dari kalangan Nahdliyin, melainkan juga dari mereka yang berbeda pendapat, maka buku ini menjadi terasa adanya sikap membela diri dan seolah-olah penjelasan dalam buku ini ingin menunjukkan “kebenaran” sendiri. Padahal maksudnya adalah bahwa di samping untuk mengungkap kenyataan adanya perbedaan pendapat, juga untuk menunjukkan bahwa berbeda pendapat adalah hal yang biasa. Karena itu, tanpa diberi penjelasan, mereka yang menentang pun, akan sama saja, selalu akan timbul perbedaan. Ada yang menentang dan ada pula yang mendukung dan membenarkannya. Pada akhirnya tergantung pada pilihan orang per orang, apakah mau mengamalkan atau tidak.

Jika diamalkan, maka orang yang bersangkutan akan menerima balasannya berupa pahala. Namun, jika tidak dilakukan, ia tidak akan menerima pahala apapun. Pandangan yang demikian netral tentang kerja utama dalam kehidupan seorang muslim itu adalah sesuatu yang menjadi bagian dari transformasi kesadaran yang berlangsung dewasa ini. Yaitu, bahwa orang yang mengugemi atau meyakini suatu kebenaran dan mengamalkannya tidak berarti tidak bisa memahami orang lain yang berbeda.

Namun, memang masih ada orang yang selalu ingin memaksakan kebenarannya sendiri kepada pihak lain. Kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Ada sementara orang Islam yang hanya berpatokan pada kerja-kerja utama itu, sehingga menganggap orang yang tidak seperti dia dianggap Islamnya tidak lengkap.

Di sinilah terletak peranan seorang kiai/alim dalam kehidupan bersama di masyarakat. Ia tetap saja menjadi pengamal hal-hal ideal dari seseorang yang beragama Islam, tetapi ia sendiri lalu tidak memaksakannya kepada orang lain, karena mentolerir apa yang dilakukan oleh masyarakat dimana kebaikan bisa datang dari mana saja.

Dengan demikian, ia membuat ukuran-ukuran ideal bukan sebagai satu-satunya “jalan hidup” seorang muslim. Seorang kiai/alim lebih menunjukkan sebagai tauladan sembari memberikan alasan-alasan dan dalil-dalil, ketimbang sebagai pemaksa orang lain untuk meniru jalannya secara kaku.

Dengan itulah, seorang kiai/alim tetap secara realistik berpegang pada hal-hal nyata yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi dalam waktu yang sama, ia menjadi orang yang toleran pada pendapat-pendapat lain tanpa harus “kehilangan” hal-hal ideal yang dijalaninya dalam kehidupan bermasyarakat. Jadilah ia muslim yang dinamai oleh orang-orang non muslim sebagai orang yang berpandangan “moderat”. Lambat laun, sikap moderat itu lalu disamakan saja dengan sikap menerima kenyataan sebagaimana adanya. Perubahan penggunaan istilah moderat dari seorang muslim yang mengamalkan hal-hal ideal serta dapat menerima perbedaan pandangan, kepada muslim yang mentolerir perbedaan adalah perubahan penggunaan kata yang sering dilakukan oleh “orang luar’ yang sebenarnya tidak mengerti sepenuhnya arti kata “muslim toleran” tersebut.

Penulis buku ini adalah seorang muslim yang dapat menjadi contoh yang sangat baik mengenai “proses perubahan” tersebut. Semua orang di sekitarnya mengemukakan bahwa ia adalah seorang muslim taat yang mengamalkan jalan utama tersebut. Tetapi tidak ada seorang pun yang dapat menyatakan bahwa ia adalah seorang “muslim fanatik” yang memaksakan kemauan dan amalannya kepada orang lain. Ia mencapai apa yang di masa lampau dinamai “guru.” Istilah tersebut dalam bahasa Jawa dianggap memiliki kepanjangannya sendiri. Guru adalah mereka yang patut digugu lan ditiru/orang yang patut diikuti dan ditiru. Ia membuat dirinya menjadi model bagi masyarakat sekitarnya, tanpa harus dilakukan tindakan memaksa orang lain untuk mengikuti apa yang dilakukannya. Orang lalu melihat bahwa ia tidak akan menghancurkan sesuatu demi kepentingannya sendiri.

Sikap moderat seperti itulah yang justru menjadi esensi dari kehidupan “manusia modern”. Ia lalu menjadi model sendiri dalam kehidupan, tidak sebagaimana Pak Turut yang ditawarkan oleh filosof Spanyol Jose Ortega Y Gasset dalam karya agungnya La Rebelion de las Massas (Pemberontakan Massa, 1930). Sudah tentu perbedaan di atas antara model penulis buku itu dan manusia pemberontaknya. Ortega Y Gasset akan memperkaya wawasan hidup bangsa ini adalah apa yang oleh para pendiri negara kita diikuti secara konsekuen, yaitu apa yang oleh Empu Tantular dari jaman kejayaan peradaban Majapahit dinamai Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda, namun tetap satu jua). Kenyataan inilah yang sebenarnya dikembangkan oleh bangsa Indonesia, keadaan yang oleh sejumlah pakar dinamai “melting pol”/bejana yang melebur.”

Kita diberkati oleh Allah SWT dengan sikap dasar yang seperti ini, yaitu toleransi antar berbagai kalangan yang oleh sebagian pakar dinamai “pluralitas/kemajemukan budaya”. Ada yang mengatakan bahwa hal itu disebabkan oleh perbedaan lokasi dan budaya yang membentuknya yang saling berbeda satu sama lain yang akhirnya membentuk Bangsa Indonesia. Mereka tinggal di berbagai pulau besar dan kecil yang membentuk negara kita. Kemampuan untuk mempertahankan pluralitas itu di masa-masa yang akan datang adalah ukuran satu-satunya bagi kemerdekaan bangsa ini.

Oleh karena itu, pandangan mereka yang menganggap nilai-nilai Islam sebagai satu-satunya nilai yang harus diikuti oleh seluruh bangsa ini sembari mengabaikan perbedaan dengan mendasarkan pada sabda Nabi Muhammad saw “Islam itu unggul dan mengungguli yang lain (Al-Islamu Ya’lu Wala Yu’la’Alaih) adalah penerapan yang kurang tepat dari hadits tersebut, karena latar belakang pluralitas dalam kabangsaan Indonesia. Seharusnya keunggulan nilai-nilai Islam itu dilihat dari kemampuan mengembangkan pluralitas/kemajemukan tersebut, bagaimana mentolerir nilai-nilai lain tanpa harus kehilangan identitas kita sendiri, yaitu Islam dan Ahlussunnah wal jama’ah.