Janji Sorga
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Di beberapa tempat terjadi kesalahfahaman terhadap tarekat Tijaniyah. Tarekat yang berasal-usul dari Afrika Utara ini dianggap telah melanggar salah satu ajaran dasar lussunnah waljama’ah, yaitu tentang mutlaknya kekuasaan Allah. Tidak ada yang dapat melawan kehendakNya, karena itu juga tidak ada yang mampu memaksakan sesuatu kepadaNya. Ia adalah Zat Maha Kuasa, yang dapat saja memaksakan kehendakNya atas siapa pun. Kalau ia ingin menghukum atau menyiksa orang mana pun di akhirat kelak, walau yang paling bertakwa dan saleh sekalipun hidupnya, hal itu akan terjadi tanpa dapat dihalangi siapa pun. Karenanya, Allah bergelar Al–Qadiru, Zat paling Berkuasa, Maha Kuasa.
Karenanya, ucapan pendiri tarekat Tijaniyah, syaikh Ahmad Tijani, sempat menghebohkan. Ucapan beliau ‘barang siapa yang mengikuti tarekatku, akan langsung masuk sorga tanpa harus ditimbang lagi kesalahannya. Barang siapa mengikuti tarekatku akan langsung masuk sorga, tanpa harus melewati siratal mustaqim, jembatan timbangan yang demikian kecil dengan api yang menyala di bawahnya’.
Klaim di atas dianggap keterlaluan, karena berarti pendiri tarekat Tijaniyah itu lebih berkuasa dari Allah. Bukankah ia berani menjanjikan sorga, seolah-olah Allah harus mengikuti kehendaknya. Bukankah demikian kesimpulan logis yang dapat ditarik dari ucapan di atas? Bagaimana orang berani menjamin, kalau tidak dapat memaksakan jaminan atau kehendaknya itu? Kalau ia mampu memaksakan kehendaknya, bukankah itu berarti ia lebih berkuasa dari Allah? Dan orang berani bersikap demikian, bukankah ia menyimpang dari ajaran Suni tentang kekuasaan Allah?
Memang demikian kesimpulan logis yang harus ditarik dari jaminan syaikh Tijani di atas dibaca secara lugas, tidak dibaca secara alegoris. Padahal, seharusnya ucapan itu difahami secara kiasan, bukan secara harafiah belaka. Penafsiran alegoris atau kiasan itu memerlukan penalaran lebih jauh dari pendengar atau pembacanya, juga memerlukan pengetahuan mendalam tentang ajaran tarekat tersebut.
Tarekat Tijani pada dasarnya mengamalkan bacaan selawat atas Nabi Muhammad saw. Sedangkan hadist menyebutkan, bahwa bacaan selawat terus-menerus akan membawa pembacanya kepada ke sorga tanpa harus meniti siratal mustaqim. Bukankah demikian lalu menjadi jelas, mengapa syaikh Ahmad Tijani berani ‘menjamin’ orang masuk sorga, walaupun Allah yang paling berhak menentukan apakah seseorang dapat masuk sorga atau tidak. Bukankah hal itu dinyatakan sendiri oleh Rasulullah, yang tidak akan berucap dari hawa nafsunya sendiri?
Namun, suatu hal harus diingat dikala ucapan seperti itu dikemukakan. Ucapan itu harus diperlakukan sebagai sesuatu yang dimaksudkan untuk mereka yang mengerti, bukannya mereka yang tidak tahu. Dengan istilah tasawufnya, ucapan untuk orang khawas, bukannya untuk orang awam. Disinilah sering terjadi kesalahan menyampaikan ucapan itu, dan tentu saja menjadikan hebohnya keadaan.