Kami Mau Menang dan Kami yang Memimpin (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
BUKAN Abdurrahman Wahid alias Gus Dur bila tak pandai berakrobat. Ketika para elite politik disibukkan pro-kontra soal dialog nasional, tiba-tiba ia melakukan “solo run” yang mengejutkan. Secara berturut-turut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu bertemu dengan Panglima ABRI Jenderal Wiranto, Presiden Habibie, dan konon mantan presiden Soeharto.
Menurut Gus Dur, begitulah cara ia merintis dialog nasional. Tapi, mungkin karena caranya tak terduga, tak urung terlontar pertanyaan: ada apa di balik manuvernya? Berikut petikan tuturan Gus Dur kepada FORUM dan dua wartawan media lain, di rumahnya, Ciganjur, Jakarta, Kamis siang pekan silam.
Dengan bertemu Habibie, Anda memberi legitimasi kepadanya?
Kalau begitu, ya tragis. Di negeri lain ndak begitu. Tony Blair terpilih (sebagai PM Inggris), apa pun kata orang, dia telah terpilih. Mau apa?
Anda tak keberatan pertemuan itu melegitimasi Habibie?
Ya, ndak dong. Itu kan tukar-menukar. Biasa dalam politik. Saya dapat empat konsesi, dia dapat satu. Yang saya dapatkan, pertama, panitia pemilu adalah panitia independen. Kedua, pemilu dilakukan di tiga level. Ketiga, ada orang asing sebagai pengawas. Lalu, panitia pemilu mesti melibatkan semua pihak. Yang saya berikan adalah jadwal pemilu dan sidang umum MPR. Itu pun masih diembel-embeli: kalau disetujui oleh Badan Pekerja MPR. Saya enggak merasa salah apa-apa.
Tapi, soal jadwal sidang umum MPR itu membuat Amien Rais enggak enak hati?
Biarin aja. Mau menyenangkan hati semua orang? Ya, enggak bisa.
Anda tak merasa meninggalkan Kelompok Ciganjur?
Enggak. Karena, Kelompok Ciganjur itu hanya mau mengkonstatir pentingnya dialog. Enggak lebih
Bagaimana nasib Deklarasi Ciganjur setelah pertemuan Anda dengan Habibie?
Deklarasi itu tulisannya Pak Amien. Saya setuju, lalu tanda tangan. Kemudian dibacakan. Bagi saya, itu mulia. Tapi, kita juga mesti mempunyai fleksibilitas kepada orang lain. Jangan maunya sendiri.
Jadi, usul itu atas nama pribadi?
Ya. Saya ke sana bukan atas nama Kelompok Ciganjur, kok.
Bagaimana dengan tudingan Anda sedang memasuki gerbang kekuasaan?
Bukan begitu, Saya tidak pernah menutup semua kemungkinan. Tapi, juga tidak pernah memastikan semua hal. Saya bertindak atas dasar keikhlasan. Enggak pakai perhitungan. Saat ini, negara kita sedang tercabik-cabik. Lihat saja, masih ada Pam Swakarsa dan segala macam begituan. Lalu, masih ada yang menginginkan hukum kita bersandar pada agama. –Nah, ini semua harus diselesaikan. Caranya dengan rekonsiliasi nasional. Dan, yang pertama kali harus dilakukan adalah Pak Habibie mesti didekati. Wiranto didekati. Dan, kalau bisa, Pak Harto juga didekati. Baru kita mencapai rekonsiliasi nasional.
Apakah Soeharto masih punya kekuatan sehingga harus diajak?
O, iya. Kenyataannya dia masih punya banyak pengikut. Peristiwa yang terjadi di Keta pang, Kupang, dan Banyuwangi, semua dilakukan pengikut Pak Harto. Mereka marah karena bos mereka dihancurkan pelan-pelan melalui demonstrasi mahasiswa. Saya membacanya begitu.
Anda tak takut dianggap ingin mengembalikan kekuasaan Soeharto?
Dia sudah berhenti, kok. Sekarang orang berkata, misalnya Adi Sasono, bahwa ekonomi kita harus berdasarkan kerakyatan. Apa mungkin dalam keadaan kacau? Enggak mungkin. Maka, kita harus saling bicara, dong. Termasuk dengan Adi Sasono.
Bagaimana dengan pendapat agar Presiden Habibie tak lagi mencalonkan diri?
Saya sih menerima realitas. Kalau Habibie terpilih lagi, mau apa?
Kelihatannya dia bakal menang?
Kelihatannya ndak akan. Tapi, biarkan dia mencalonkan diri. Terpilih atau tidak, itu urusan lain.
Kalau Wiranto yang menjadi presiden?
Asal dia dipilih, saya ndak keberatan.
Bagaimana sikap ABRI terhadap Habibie menurut Anda?
ABRI itu terpecah-pecah enggak karuan. Hanya saja, mereka pandai menyembunyikan. Kalau mainstream-nya masih mendukung Habibie.
Lantas, apa dampak pertemuan Anda dengan Habibie bagi NU?
Ah, enggak banyak perubahan.
Kans politik NU di masa datang?
Bagus. Kami mau menang dan kami yang memimpin. Kami siap. Kami menganut paham: orang terbaik yang dipakai. Bukan soal kepintaran saja. Juga, soal kepribadiannya.
Mungkinkah PKB menang jika tindakan Anda dianggap plinplan?
Anggapan itu sudah ada sejak dulu. Saya enggak kaget. Waktu mengajak Tutut (putri sulung mantan presiden Soeharto) berkeliling, saya dikatakan plinplan. Saya dibilang meninggalkan Megawati. Megawati sendiri enggak ribut. Buktinya, selesai dengan Tutut. jalan lagi sama Megawati seperti biasa.
Bagaimana kalau barisan oposan dan mahasiswa lantas meninggalkan Anda?
Saya berusaha agar mereka mengerti jalan pikiran saya. Kalau enggak mengerti, ya mau diapain? Tapi, secara keseluruhan, mahasiswa saya anggap anak sendiri.