Kami Tidak Menyusun Kekuatan (Wawancara)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dering tilpon di kantor PBNU, Jumat pekan lalu, hampir tanpa henti. Di ruang darurat –karena kantor di Kramat Raya, Jakarta, sedang direnovasi– Abdurrahman Wahid, 50 tahun, terus saling kontak dengan koleganya berkisar tentang Forum Demokrasi yang diketuainya. “Di sini berkumpul semua orang aneh-aneh, tukang bikin onar, he-he, ujarnya terkekeh.
Di sela-sela segala macam kesibukkannya itu, Gus Dur panggilan akrab Ketua Umum Tanfidziyah PBNU ini, selama hampir dua jam menerima Wahyu Muryadi dari Tempo, Berikut petikan wawancara itu:
Apa latar belakang pembentukkan Forum Demokrasi ini?
Itu timbul dari keprihatinan akan gejala menguatnya rasa (mementingkan) golongan. Sedang semangat kebersamaan dan demokrasi semakin melemah. Kadang demokrasi dan kepentingan bersama kalah dengan kepentingan golongan atau sektarianisme. Meski baru gejala, ‘kan mengkhawatirkan. Banyak semangat golongan dan sektarian yang berkembang. Maka, saya mengajak teman-teman, gimana sih baiknya, kita bicarakanlah. Lalu terjadi pertemuan di Cottage Cisarua itu, yang melahirkan Forum Demokrasi.
Bagaimana persisnya gejala sektarianisme dalam masyarakat kita?
Banyak sekali, contohnya kasus Monitor. Ada juga ketersinggungan sebagian orang Islam akibat ulah Arswendo itu, tapi kok orang marahnya begitu rupa, sampai minta SIUPP-nya dicabut. Beberapa tokoh intelektual Islam yang tadinya saya anggap demokratis ternyata minta SIUPP Monitor dicabut.
Nah, apakah itu bukan semangat sektarianisme yang mengalahkan semangat kebangsaan? Orang lebih banyak berbicara tentang capaian golongannya ketimbang masalah-masalah mendasar bangsa ini. Terlepas dari soal lain, ini ‘kan membunuh salah satu sarana demokrasi. Dan kalau ini terus-menerus dibiarkan, demokrasi akan diinjak-injak di Indonesia.
Sejauh mana Anda melihat kesungguhan sikap pemerintah dalam menegakkan demokrasi?
Selama masih ada orang nggak boleh keluar negeri, ada kendala SIUPP, berarti demokrasi belum penuh di sini. Memang perilaku demokrasi belum muncul di sini. Semua orang sedikit-sedikit masih harus minta petunjuk ke atas. Pembuatan undang-undang juga masih berjalan secara mekanistik saja. Pengambilan pendapat dari masyarakat masih terbatas. Pelaksanaan kedaulatan hukum di depan undang-undang juga (masih sulit), ada mafia pengadilan dan sebagainya yang betul tidaknya perlu diperiksa. Belum lagi meluasnya korupsi. Hukum kita srempet jalannya, sehingga yang menikmati hanya yang posisi kuat.
Forum ini pasti bakal dipertanyakan pemerintah. Bagaimana Anda menjelaskannya?
Ya, kami sih terserah deh, wong kami nggak ngapa-ngapain, kok. Kami hanya akan membuat paper-paper, menyajikan hasil-hasil studi. Namanya juga forum tukar pikiran. Ini ‘kan bukan ormas tapi perkumpulan sederhana sekali, kayak arisan lah. Kami juga tidak perlu ditakuti. Kami nggak menyusun kekuatan. Bukan juga semacam pressure group, hanya saja karena yang bicara ini orang-orang yang mengalami pahit getir ikhtiar menegakkan demokrasi, tentu omongan kami akan punya bobot.
Kami hanya berharap, dengan begitu, perhatian masyarakat terhadap pentingnya menegakkan demokrasi akan bertambah. Menegakkan demokrasi itu tidak bisa menghindari omongan yang tidak enak. Kalau ini lantas melupakan upaya membentuk publik opini yang lebih baik tentang demokrasi yang kita citakan, ya demokrasi itu sendiri yang akan rugi. Sebab, tanpa demokrasi intergrasi bangsa kita tidak akan berjalan penuh, somplak-somplak (bopeng- bopeng) di sana-sini.
Sebelum membentuk Forum ini, kabarnya Anda sudah bertemu para pejabat?
Ya, ada beberapa, tapi nggak usah disebut namanya lah. Kita semua ‘kan tahu cara Indonesia itu ‘kan konsultasi dulu dengan beberapa pihak.
Bagaimana dengan NU, adakah sumbangannya terhadap proses penegakkan demokrasi?
NU nggak ada kaitannya dengan gerakan ini. NU merupakan gerakan agama yang sifatnya luas. Kewajiban menegakkan demokrasi bukan urusan NU saja.
Bagaimana jika umat, masyarakat, tahu katakanlah para tokoh Islam mempertanyakan keterlibatan Anda dalam Forum ini?
Saya kok nggak melihat ada reaksi yang meributkan. Jangankan ICMI. Pemerintah atau kabinet bersidang umpamanya, untuk membahas ini, kami nggak ambil pusing, kok, Lha, ‘kan kami punya hak sendiri.
Bagaimana esensi demokrasi yang Anda idamkan itu?
Kontroversi adalah esensi demokrasi. Kalau Anda melarang adanya kontroversi, Anda calon diktator, bukan Pancasilais. Kenapa takut adanya kontroversi, sedangkan Nabi saja mengizinkan kontroversi. Apa mau lebih tinggi dari Nabi? Masyarakat mengharapkan adanya pertukaran pandangan yang sehat dan jujur. Masyarakat kita nggak takut dengan kontroversi. Demokrasi itu kebebasan, keadilan, dan kesamaan di muka hukum. Kami hanya mengingatkan masyarakat agar jangan lupa.
Hingga kini, sejauh mana proses demokratisasi itu berlangsung?
Sekarang sudah jelas, bahwa demokrasi kita itu mengalami kemandekan, itu karena demokrasi ditafsirkan secara berbeda-beda. Di kalangan pemerintah pada umumnya, pemahamannya adalah kelembagaan. Telah didirikan lembaga-lembaga demokrasi seperti perwakilan dan lainnya. Tapi pihak lain berbicara tentang soal perilaku demokrasi. Supaya lengkap semuanya ini, ya tukar menukar pandangan, sehingga nanti dalam jangka panjang, pengertian kita tentang demokrasi itu sendiri, lebih kurangnya bisa sama.
Kenapa kok sampai timbul polarisasi pemikiran demokrasi yang sedemikian tajam?
Namanya juga orang. Ya, ada kepentingan politik dan kepentingan lainnya. Ya, pemahaman nya baru sampai kelembagaan, dan ada pula yang tidak mementingkan lembaga. Kami yang ngumpul–ngumpul di Forum Demokrasi ini berpendapat bahwa demokrasi itu, antara lembaga dan budaya politiknya, harus sama-sama demokratis. Sama-sama mendorong pola demokrasi.
Adakah benang merah ide-ide demokrasi Forum ini dibandingkan yang dicetuskan, katakanlah, Liga Demokrasi dulu?
Ini hanya kontinuitas dari apa yang dilakukan sebelumnya. Kami tidak punya pretensi hanya kami doang yang melakukannya. Tidak bisa demokrasi dimonopoli satu pihak. Ada kaitan semangatnya, hanya capaian yang diinginkan berbeda. Sebab, uapaya demokrasi yang dulu banyak sekali mengarah kepada lembaga. Liga demokrasi itu mempertahankan jenis kelembagaan politik tertentu.
Saya melihat bahwa perjuangan menekankan pada lembaga sekarang ini percuma saja, walaupun sebenarnya itu penting. Kami sudah tahu, bikin lembaga demokrasi di sini sudah sangat sulit. Lebih baik lembaga-lembaga yang ada silakan jalan. Kami mengembangkan kesadaran rakyat tentang budaya demokrasi. Rakyat nanti yang akan mengembangkan kelembagaan yang ada itu dengan perilaku yang demokratis.
Bukankah ide integritas kebangsaan ini mirip dengan yang dilontarkan Kelompok Cipayung, hanya ada penajaman demokrasi saja?
Nggak, mereka ‘kan gerakan politik. Ini gerakan kultural. Kami hanya akan menunjukkan fakta begini-begini, dan seharusnya gini–gini. Gelem ora gelem ya uwis (mau tidak mau ya sudah). Kami yakin, rakyat itu punya kedewasaannya sendiri.
Melihat komposisi pendukung Forum ini, agaknya sentimen keagamaannya lebih menonjol daripada semangat menegakkan demokrasi?
Lho, kami ini justru ingin menghilangkan sentimen keagamaan. Kalau karena saya tidak ikut ICMI, lalu dianggap sentimen keagamaan ngedohi (menjauhi) Islam, ‘kan lucu. Dari mana jalannya? Gombal itu, wong NU itu seluruh programnya mengarah ke Islam, kok. Kalau begitu, ‘kan Ketua PBNU bodoh betul. Komposisinya ‘kan macam-macam, wakilnya rata: Islam ada saya, sosialis Mulya Lubis, Banteng diwakili Bondan, Kristen diwakili Marianne Katoppo, Katolik Alfons Taryadi.