Kata Sambutan Presiden Republik Indonesia
Assalamu’alaikum Warakhmatullahi Wabarakhatuh,
Mengedepankan pemikiran-pemikiran Bung Karno, khususnya pemikiran dan penghayatan keagamaannya, di tengah-tengah situasi Bangsa sekarang ini patut disambut positif. Lebih-lebih pada saat kita didera oleh penderitaan dan perbedaan paham yang besar dan semakin longgarnya ikatan-ikatan kebersamaan kita sebagai Bangsa. Munculnya kembali politisasi dan formalisasi agama pada tahun-tahun terakhir ini merupakan suatu langkah mundur, karena masalah tersebut justru sudah diselesaikan Bung Karno dan generasinya ketika bangsa ini memilih azas Kebangsaan.
Tulisan Bambang Noorsena, Religi dan Religiusitas Bung Karno ini, mencoba mengangkat pemikiran teologis Bung Karno. Banyak buku mengenai Bung Karno telah ditulis, tetapi sebagian besar mengenai pemikiran politiknya. Sementara buku ini mencoba mengedepankan sisi lain yang lebih fundamental dari sosok Bung Karno, yaitu pemikiran dan penghayatan keagamaannya yang sangat lapang, inklusif dan toleran, yang mendasari tindakan dan kiprah perjuangannya. Dalam buku ini, banyak diungkapkan bahasa teologis Bung Karno yang menurut istilah Penulis “melintasi batas” berbagai tradisi spiritual, dari kekentalan tradisi Jawa ke pemahaman yang dinamis tentang keislaman hingga empati yang tinggi pada ajaran Hindu dan Kristen.
Akan dapat dimengerti jika pemikiran teologis Bung Karno yang mengakrabi hampir semua ajaran agama itu –sinkretisme bagi sebagian orang, spiritualitas semesta menurut Penulis– menjadi agak aneh untuk dicerna oleh kalangan awam. Sambil mengemukakan pemikiran teologis Bung Karno yang “tidak lazim” itu, Penulis menderetkan sejumlah paralel wacana esoteris dari berbagai agama dan tradisi spiritual dan mencoba mencari titik temunya. Latar belakang Penulis yang berangkat dari tradisi Kristen Orthodoks Syiria dan kajiannya yang sarat dengan unsur-unsur budaya Jawa dengan penekanannya pada harmoni itu sangat mewarnai usahanya dalam mengungkap sisi lain dari sosok Bung Karno. Usaha ini, barang tentu, patut kita sambut dan hargai.
Hasilnya, suatu usaha menghadirkan sebuah pandangan keagamaan yang unik dan khas bergaya Sukarnois. Sebagai sebuah wacana, pemikiran kritis terhadap pemikiran Bung Karno tetap terbuka, kendati tidak ada yang meragukan religiusitas dan penghayatannya yang mendalam terhadap Islam yang dipeluknya. Begitu mendalamnya religiusitas Bung Karno sehingga Sang Penyambung Lidah Rakyat itu bahkan membuktikan ketaqwaannya kepada Allah dengan kesediaan dan keikhlasannya yang lillahi ta’ala untuk menempuh jalan seorang martyr demi persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara yang dicintainya.
Terlepas dari sejauh mana orang bersetuju dengan pemikiran keagamaan dan spiritualitas semestanya itu kita mengenal Bung Kamo sebagai seorang negarawan yang diakui dunia, dan pada gilirannya dunia mengenal Indonesia yang bersatu dan berdaulat dari Sabang sampai Merauke.
Akhirul kalam, membaca Religi dan Religiusitas Bung Karno yang demikian, harapan saya, kiranya pemikiran Bapak Bangsa ini dapat kita angkat kembali sebagai wacana dalam upaya merekatkan kembali ikatan kebersamaan dalam kerangka “nation and character building” yang dirintis dan dicita-citakan oleh Bung Karno sendiri.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, September 2000
K.H. ABDURRAHMAN WAHID