Ke mana NU-PKB Melangkah?

[Refleksi dari Pemilu India]

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Pemilu di India telah menunjukkan hasil-hasilnya, bahwa masalah ideologi tidak terlalu penting bagi rakyat negeri itu. Partai BJP (Bharatiya Janatha Party), yang bermodalkan ideologi nasionalistik-religius, dikombinasikan dengan kekayaan nasional yang bertambah besar yang tercermin dalam peningkatan produksi domestik bruto (Gross Domestic Product/GDP) ternyata tidak melihat “bahaya” dari arah lain. Dengan nada pasti BJP, yang diikuti media massa India, menganggap cukup kenaikan GDP itu untuk memenangkannya dalam pemilu tersebut. Hasilnya ada sebuah “kenyataan” lain yang tidak terlihat, ternyata kenaikan GDP itu hanya dirasakan kenikmatannya oleh mereka yang di atas saja. Rakyat kebanyakan yang didera kemiskinan, terutama para petani yang melarat tidak menikmati peningkatan GDP itu. Hasil pemilihan umum, dimenangkan Partai Kongres pimpinan Sonia Gandhi, bersama-sama teman koalisinya yaitu Partai Komunis India.

Pertarungan antara mereka yang berpunya (the haves) melawan yang tidak berpunya (the haves not) berlangsung di kotak-kotak pemungutan suara, dan hasilnya adalah kemenangan pihak kedua dengan telak. Di negara bagian Tamil Nadu, BJP kehilangan seluruh kursi kemenangannya dalam lembaga perwakilan tingkat negara bagian, yang berjumlah 40 kursi, Partai Kongres menyapu semua kursi dalam tingkat yang kita sebut DPRD provinsi itu. Sementara di parlemen tingkat pusat, Partai Kongres memperoleh selisih 100 kursi dari BJP. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemilu tersebut menghasilkan kemenangan atas suara protes dari kaum miskin, terutama 100 juta suara petani India. Ini merupakan peringatan sangat penting bagi kita, bahwa masalah yang sama juga akan kita hadapi dalam Pemilu Presiden tahun ini.

****

Dalam masa peralihan kehidupan politik kita tahun ini, yang menunjukkan masa peralihan dari pemerintahan otoriter menuju pemerintahan demokratis, kenyataan seperti ini menjadi sangat penting artinya. Dapatkah kita terus menerus hidup dalam suasana menipu diri sendiri, seperti yang kita lalui di masa lampau? Status quo seperti ini memang ingin dilestarikan oleh sebagian orang, tetapi maukah para pemilih kita hidup di bawah kepalsuan-kepalsuan seperti yang terjadi jika kita memilih presiden yang keliru? Dua hal akan terjadi sekaligus jika kita salah pilih. Kita akan terus menjadi bangsa yang lemah, miskin dan terbelakang. Di samping itu, kelemahan kita sebagai bangsa dan negara akan dimanfaatkan negara-negara lain yang lebih kuat untuk dikuasai dalam hubungan internasional. Ini akan membuat kita yang kini berjumlah hampir 206 juta jiwa tetap menjadi “negara jajahan” negara-negara lain.

Karena itulah tidak ada pilihan lain yang tepat bagi kita, kecuali untuk menjadi bangsa dan negara yang demokratis, adil dan makmur. Dengan demikian, kita akan dapat menegakkan negara dan bangsa kita menjadi negara dan bangsa besar, yang tidak perlu tunduk, baik secara harfiah maupun kiasan, dalam tata pergaulan internasional. Pengikisan kebodohan dapat kita lakukan dalam waktu tidak terlalu lama melalui pengelolaan sumber-sumber alam kita secara baik dalam waktu cepat, dan perubahan struktur perekonomian kita dapat terjadi dengan cepat. Hal-hal seperti itulah yang kita tuju dengan sistem politik yang bertumpu pada upaya-upaya demokratisasi, yang memberikan wewenang untuk menentukan siapa yang memerintah, melalui pemilu.

Moral ekonomi para petani di Asia Tenggara, telah lama menjadi kajian para ahli. Nama-nama seperti James C. Scott yang telah lama berkecimpung dalam kajian-kajian mereka di bidang itu. Pemilikan tanah di kawasan Asia Tenggara telah lama menjadi sengketa, antara kaum berpunya melawan kaum tidak berpunya, termasuk berbagai upaya kaum buruh tani setengah budak (bounded labour) di seluruh Asia, termasuk gerakan yang dipimpin Swami Agnivesh di India, merupakan bukti yang tidak terbantahkan mengenai pertentangan tersebut. Kenyataan sama yang juga diperlihatkan sejarah kepada kita itu mau tidak mau akan memaksa kita untuk memikirkan hal ini secara serius. Apabila kesadaran seperti itu telah berkembang dalam kehidupan kita, maka kita pun mau tidak mau harus memperjuangkan berakhirnya hal-hal seperti itu.

Ini akan membuat kita memperjuangkan demokratisasi untuk menjadi cara hidup bersama sebagai bangsa. Melalui pemilu yang bersih dan jujur, kita akan dapat mewujudkan sistem politik demokratis seperti itu. Ini berarti kita harus mengkritisi sistem politik kita sendiri dari masa lampau, baik dalam arti bersuara lantang maupun dengan cara membisu. Mereka yang belakangan inilah kelompok yang disebut Richard Nixon, mantan Presiden AS, sebagai “mayoritas membisu” (silent majority), yang akhirnya membawa tokoh tersebut ke Gedung Putih. Dalam kehidupan kita, ini berarti keharusan menangnya kaum tidak berpunya (the haves not) dalam pemilu, dimulai dari kepresidenan tahun ini. Memang ini tugas berat namun kita harus laksanakan demi kejayaan bangsa.

Dengan menempatkan pemilu kita sebagai tolak ukur “suara bangsa”, kita lalu dapat mempunyai saringan yang pasti dari waktu ke waktu. Ini juga berarti kita mempunyai memperoleh petunjuk yang pasti akan berbagai isu yang relevan bagi kehidupan kita pula dari waktu ke waktu. Kalau kita tidak memiliki hal itu, kita akan berpegang pada masalah-masalah semu yang dihadapi bersama sebagai bangsa. Inilah yang membuat BJP kalah dalam pemilu India tahun ini, dan hal itu juga yang mungkin dapat merontokkan kekuasaan George W. Bush Jr, dalam Pemilu Presiden di AS, bulan November yang akan datang. Karenanya, menjadi sangat penting untuk mengetahui perasaan rakyat yang sebenarnya, menjelang saat-saat Pemilu Presiden di negeri kita tahun ini. Cukup menarik untuk dikaji dan dimengerti implikasinya.

Nah, apa kaitan hal-hal tersebut di atas dengan NU dan PKB di saat ini? Jawabnya sangat jelas bagi kita: mengetahui sampai sejauh mana isu demokratisasi sistem politik kita berakar di hati para pemilih tahun ini. Jika benar asumsi penulis bahwa rakyat mendambakan kemakmuran hidup yang dicapai dengan jujur melalui pemilu, dan dengan demikian menjadikan Indonesia bangsa yang kuat dan makmur serta negara yang stabil, walaupun berada di tengah-tengah arus perubahan sangat cepat, maka tidak lain ukurannya adalah hasil-hasil pemilihan yang jujur dan terbuka. Dengan cara itu pun demokrasi yang sebenarnya baru akan tercapai secara keseluruhan dalam waktu sangat lama dan dengan pengorbanan sangat besar.

NU adalah organisasi yang di masa lampau penuh dengan kepentingan mereka yang berkuasa. Kepentingan itu dilestarikan dengan berbagai cara, termasuk berbagai pemilu yang penuh dengan manipulasi dan rekayasa. Kalau NU dan PKB menginginkan perubahan sistem politik kita, maka tidak lain haruslah ditegakkan keharusan melaksanakan Pemilu Presiden tahun ini secara jujur dan terbuka. Dengan demikian demokratisasi dapat dimulai dan para pemilih kita menjadi percaya akan ada perubahan-perubahan menyeluruh dalam sistem pemerintahan kita di masa-masa yang akan datang. Inilah esensi pelaksanaan adagium NU sendiri: “Memelihara yang baik dari masa lampau, dan mengambil yang lebih baik dari apa yang baru“ (Al-Muhâfadzah ‘ala al-Qadîm al-Shâlih wa al- Akhdzu bi al-Jadîd al-Ashlah). Namun ini mudah dikatakan, tetapi sulit dilaksanakan, bukan?