Kebudayaan Arab dan Islam

Sumber Foto: https://www.darus.id/2020/07/tradisi-masyarakat-arab-pra-islam.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Banyak kemungkinan dapat dikembangkan dari judul yang disebutkan di atas. Pertama, yang biasanya langsung menjadi asosiasi pikiran kita, adalah kemungkinan dipertentangkannya kebudayaan Arab dengan kebudayaan Islam. Kedua, kemungkinan adanya sekedar perbandingan antara kedua kebudayaan tersebut. Ketiga, yang sebenarnya menjadi tujuan dari ceramah ini, adalah usaha untuk mengetahui jalinan hubungan antara keduanya sepanjang perjalanan sejarah.

Bahwa terdapat perbedaan antara yang dinamai kebudayaan Arab dan kebudayaan Islam adalah hal yang tidak dapat disangkal. Peradaban bangsa Arab pra-Islam, yang disebut periode Jahiliyah, adalah bukti dari adanya sebuah kebudayaan Arab yang mendahului datangnya kebudayaan Islam. Periode tersebut menyaksikan puncak sebuah peradaban tersendiri di kawasan antara kedua imperium Byzantium dari Asia Kecil dan imperium Sasan dari Persia. Sebagai kawasan yang terjepit antara dan harus melayani kepentingan keduanya, peradaban Arab telah melahirkan bangunan kebudayaannya sendiri. Kebudayaan tersebut telah mengambil unsur-unsur kebudayaan kedua imperium itu maupun dari kebudayaan-kebudayaan lain yang telah berkembang di kalangan “bangsa-bangsa lama” yang menduduki daerah sekitarnya, seperti kebudayaan Yahudi, kebudayaan wilayah Mesopotamia (bekas-bekas peninggalan bangsa Sumeria maupun Akkadia dari era Babylonia hingga Assyiria), kebudayaan Mesir maupun kebudayaan Cristo-Graeco yang berkembang dengan nama kebudayaan Syriac (Assiryaniyah) di wilayah yang kemudian dikenal dengan nama Arab al-Sham (the Fertile Crescent). Di ujung selatan jazirah Arabia sendiri berkembang peradaban Yaman Selatan, baik yang dibawakan oleh bangsa-bangsa Arab Saba maupun Himyar, maupun yang dibawakan oleh penjajahan Ethiopioa atas wilayah itu menjelang datangnya agama Islam. Demikian pula, di sepanjang pantai timur jazirah tersebut, beberapa kerajaan kecil telah jatuh bangun secara bergiliran selama beberapa ratus tahun, kesemuanya itu dengan membawa manifestasi dari kemajuan kebudayaan wilayah itu.

Kebudayaan Palmyra (Tadmur) di Syria, hingga sekarang masih dapat disaksikan bekas peninggalannya. Demikian pula kerajaan-kota (city-state) Petra atau al-Anbat di Yordania, dengan peninggalan bangunan-bangunan raksasanya yang ditatah keseluruhannya dari sebuah dinding batu granit pada sisi terjal sebuah gunung. Walaupun kesemuanya pada akhirnya harus tunduk atau dihancurkan oleh balatentara Romawi, Persia, atau Ethiopia, kesemua pusat peradaban Arab itu secara kolektif telah memberikan peninggalan kebudayaan bertaraf tinggi kepada bangsa Arab beberapa abad menjelang lahirnya Islam. Bahkan secara umum kelahiran Islam sendiri adalah merupakan reaksi atas kemelut kebudayaan yang menjadi ciri utama peninggalan aneka ragam kebudayaan itu; katakanlah sebagai proses identifikasi diri dari kebudayaan Arab yang sedang mengalami krisis identitas.

Manifestasi dari ketinggian peradaban Arab menjelang masa lahirnya Islam dapat dilihat dari munculnya kebudayaan yang memiliki persamaan-persamaan umum dalam sifat ke-Arab-an di beberapa negara vazal, terutama negara vazal Ghassaniyah yang mengabdi imperium Byzantium di wilayah al-Syam dan negara negara vazal Hirah yang tunduk kepada imperium Sasan di Iraq. Kedua negara vazal ini, dibalik pertentangan politik sebagai pengabdi kepentingan dua raksasa yang berkelahi, memiliki persamaan kebudayaan hampir di segala bidang dan lapangan, yaitu dalam sifatnya yang utama sebagai kebudayaan Arab. Di kerajaan Ghassan berkembang kesenian (terutama seni rupa) yang tinggi nilainya, sedangkan di kerajaan Hirah berlangsung sebuah kebangunan sastra Arab yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gema dari kedua kebudayaan lokal yang berwatak Arab ini dengan cepat berkumandang di seluruh jazirah Arabia, terutama di kalangan suku-suku yang berdiam di sebelah utara dan di pantai barat (wilayah Hijaz dan Tihamah).

Wilayah Hijaz di pantai barat ini memegang kedudukan kunci di jazirah Arabia waktu itu, sebagai pusat perdagangan transito antara India dan Afrika Timur dengan imperium Byzantium, disamping sebagai pusat kehidupan beragama dari bangsa Arab. Di Hijaz-lah, yaitu di kota Makkah, terletak batu pemujaan (sanctuary) al-Ka’bah yang harus dikunjungi dalam upacara haji. Dengan berkumandangnya gema kebangunan kebudayaan dari kedua negara vazal Ghassan dan Hirah, bangun pula dari kesibukan komersilnya, untuk turut menerjunkan diri dalam proses kebangunan kebudayaan tersebut. Dengan segera pasar-pasar dagang (trade fairs) di ‘Ukaz dan beberapa tempat lain di wilayah itu menjadi arena tahunan bagi festival-festival musik, sastra dan seni rupa. Para seniman dan sastrawan dengan penuh ketekunan mempersiapkan diri untuk mengemukakan karya-karya mereka dalam arena tersebut, guna memperoleh pengakuan yang mereka inginkan. Salah satu diantara pengakuan itu adalah kehormatan yang diberikan kepada karya puisi terbaik untuk dituliskan dengan tinta emas pada lembaran kain halus, untuk kemudian digantungkan pada al-Ka’bah sebagai publikasi yang akan dibaca oleh para peziarah yang datang dari seluruh penjuru peziarah. Tercatat dalam kronik bangsa Arab, bahwa ada sepuluh sajak yang pernah memperoleh penghargaan digantungkan di (al-mu’allaqat) itu.

Aspek utama daripada kesusateraan periode Jahiliyah ini adalah belum meluasnya produk prosa, karena material bagi perekamannya masih diluar jangkauan kekuatan bangsa Arab waktu itu untuk memperolehnya masih dalam kwantitas besar. Sastra yang terlalu bertitik berat pada puisi ini terutama berkisar pada sajak-sajak percintaan, kepahlawanan dan hal-hal yang sejenis, walaupun sedikit banyak telah pula disinggung berbagai pemikiran keagamaan dan filosofis. Para penyair yang terkenal seperti Umru al-Qais, Nabiqhah al-Zubyany, Zuhair ibn abid Sulma, ‘Antarah dan Tarafah ibn ‘Abd, menghasilkan karya-karya yang secara kwalitatif tidak kalah dengan karya-karya besar du dunia, seperti Mahabharata, Illyad dan Odyssei; walaupun karena sifat masing-masing yang terlalu individual dan tidak ada seorangpun penyair Arab yang mampu menciptakan ode dan elegi yang berkepanjangan (sedangkan Mahabharata itu sendiripun adalah karya kolektif dari masa berabad-abad).

2.

Datangnya agama Islam membawa orientasi baru kepada kebudayaan Arab yang telah berkembang waktu itu. Beberapa cabang kesenian menjadi terlarang karena sebab-sebab keagamaan, seperti tari-tarian dan musik. Seni rupa yang diperkenankan tinggal lagi kaligrafi (tulisan indah) dan hiasan-hiasan pada tekstil (sulaman ataupun tenunan), itupun harus dengan motif yang tidak menggambarkan kehidupan manusia dan hewan. Dalam produk puisi mereka, bangsa Arab harus pula menerima perubahan mendasar. Tema percintaan yang semula bercerita tentang hedonisme yang diceritakan secara vulgar, harus memuaskan diri dengan hanya mengemukakan lambing-lambang abstrak belaka tentang cinta platonik. Dua macam kegemaran utama di masa Jahiliyah, yang semula merupakan tema-tema utama dalam puisi, yaitu minum arak dan menyerang perkampungan atau kafilah orang lain sama sekali tidak mendapat tempat di dalam kesusasteraan periode Islam. Sastra yang semula merupakan ekspresi spontan yang seringkali bercorak proffan, berhasil dijinakakkan oleh Islam.

Masa seratus tahun pertama dari kesusasteraan Arab dalam periode Islam menyaksikan tumbuhnya tema-tema baru, yang semula tidak terdapat dalam kesusasteraan periode sebelumnya, seperti sajak-sajak politis (satire, rethorica dan ideologues), sajak-sajak theologis dan sebagainya. Ascetisme yang melandasi kehidupan dimasa itu membuat kebudayaan mengalami proses puritanisasi menyeluruh, sehingga keanekaragaman manifestasi kebudayaan menjadi sangat berkurang. Sehingga suatu keadaan yang dianggap wajar bila kemudian timbul sebuah kelompok inti yang secara diam-diam memelihara “warisan” kebudayaan dari periode Jahiliyah, walaupun dalam baju Islam. Kelompok inti ini, yang umumnya berada di pusat-pusat ketenteraan yang jauh dari ibukota, seperti di Basrah dan Kufah pada penghujung abad pertama Hijri (ke-8 Masehi), menyatakan diri dalam serangkaian “klub-klub sastra (al-andiyah al-adabiyah)” seperti Nadi Marbad di Basrah.

Salah satu usaha mereka adalah menggunakan ukuran-ukuran estetika pada periode Jahiliyah untuk menentukan nilai-nilai keindahan karya sastra dan musik. Dari titik tolak inilah kemudian antara lain tercipta apa yang dinamakan bahasa Arab klasik. Bahkan al-Quran sediripun tidaklah terlepas dari “kritik-sastra” yang menggunakan ukuran estetis Jahiliyah ini, seperti adanya keharusan mengikuti tujuh cara dalam membunyikan vokal al-Quran (alqira-ah al-sab’ah). Usaha memelihara dan menegakkan kembali nilai-nilai estetika Jahiliyah ini sudah tentu membutuhkan inventarisasi produk masa Jahiliyah secara keseluruhan. Kegiatan inventarisasi produk masa Jahiliyah ini pada akhirnya menjadi stimulan bagi kebangunan baru dari kebudayaan Arab, yang akan berlangsung selama 400 tahunan (abad kedua hingga kelima Hijri/kedelapan hingga kesebelas Masehi).

Tidak seluruh kebangunan peradaban ‘Abbasiyah mempunyai unsur utama ke-Islaman. Pertentangan antara Basrah dan Kufah dalam penataan bahasa Arab klasik, umpamanya, sema sekali tidak memperlihatkan jiwa ke-Islaman. Penetapan ukuran keaslian dalam meneliti warisan puisi yang digali dari suku-suku nomaden Baduwi dijantung jazirah Arabia, sama sekali tidak bersangkut-pautnya dengan perkembangan Islam. Bahkan lebih jauh lagi, justru penegakan hadits Nabi S.A.W. harus dilakukan berdasarkan ukuran-ukuran transmisi riwayat yan gtelah berumur ratusan tahun; atau dengan kata lain hadits harus bertumpu pada ukuran penilaian dari periode Jahiliyah.

Inventarisasi produk kebudayaan dari periode Jahiliyah itu dilakukan oleh sekelompok ahli bahasa dan kritikus sastra yang terutama berkumpul di basrah dan Kufah, yang relative paling dekat jaraknya dengan jantung jazirah Arabia bila dibandingkan dengan pusat-pusat kebudayaan Islam yang lainnya saat itu. Kelompok tersebut, setelah menguasai beberapa aspek terpenting dari kebudayaan dunia Persia dan Byzantium sebagai akibat penaklukan Islam atas sebagian besar wilayahnya, menggunakan kekayaan yang baru didapat itu untuk menggali simpanan terpendam dari kebudayaan lama mereka sendiri. Terkenallah nama-nama cemerlang seperti al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidy, Yunus ibn Habib, al-Mufadhal al-Haby, Abu Tamam, al-Qurashy, al-Jumahy. Terkenal di bidang musik Ishaq al-Musily. Kebangunan kebudayaan yang dibawakan oleh para humanisten dari kelompok inilah yang merupakan salah satu aspek utama daripada manifestasi gerakan Mu’tazillah di abas kedua dan ketiga Hijri (ke-8 dan 9 Masehi).

Manifestasi kebangunan kembali kebudayaan Arab ini dapat terlihat pada sengitanya pertentangan antara ajaran-ajaran Islam dan faham-faham non-Islam yang berusaha menyerap ke dalamnya di satu pihak, dan antara budayawan-budayawan berkebangsaan Arab dan mereka yang berasal-usul non-Arab. Beberapa nama yang berjatuhan sebagai korban kedua pertentangan ini, seperti abu-Tayyib al-Mutanabby dan Basar ibn Burd, adalah bukti nyata dari adanya pertentangan identitas anyata kebudayaan Islam dan Arab dalam batang tubuh kehidupan budaya imperium Abbasiyah di sekitar abad kedua, ketiga dan keempat Hijri (Ke-8, 9 dan 10 Masehi). Bahkan jika terjadi isu berganda antara kedua macam pertentangan itu, harus dilakukan humuman mati, sebagaimana yang dialami oleh Ibn am-Muqafa’, yang dituduh sekaligus anti-Arab dan anti-agama.

Humanisme yang dibawakan oleh masuknya unsur-unsur Yunani ke dalam kebudayaan Islam dimasa mempertahankan dinasti Abbasiyah, pada akhirnya menundukkan kebudayaan Arab kedalam rangka berpikir rasionalistis-formil, suatu hal yang justru bertentangan dengan pembawaannya sendiri, yang lebih bersandar kepada pengungkapan perasaan yang dalam secara spontan dari pada kepada perumusan fikiran-fikiran yang abstrak. Dengan demikian, apa yang kemudian dinamakan kebangunan kebudayaan Islam akhirnya menjadi sebuah proses fossilisasi yang justru secara berangsur-angsur tetapi pasti mematikan kebudayaan Arab yang sesungguhnya yang mendukung peradaban dinasti Abbasiyah itu sendiri. Bahasa Arab yang begitu plastis dalam ungkapannya, begitu kaya allegori dan begitu halus dalam perumpamannya, akhirnya harus digunakan hanya dalam rangka kaidah-kaidah bahasa yang kaku, dibebani oleh sistim retorika yang bersifat klise rutin yang tidak mampu mengungkapkan kekayaan bahasa dan kedalaman perasaan mereka.

“Kenakalan” beberapa sastrawan untuk mengungkapkan perasaan dengan ungkapan yang kasar, seperti dilakukan oleh Abu Nawas dan Abu’ala al-Ma’arry, secara cepat ”diterbitikan” dengan percintaan kaidah-kaidah bahasa dan sastra yang disusun menurut ukuran-ukuran estetika non-Arab, sehingga hilanglah spontanitas kreatif dari kebudayaan Arab secara berangsur-angsur. Padahal justru spontanitas itulah jiwa dari kreativitas kebudayaan itu di masa-masa sebelumnya. Demikianlah yang dialami oleh semua bidang kebudayaan di luar kesusasteraan waktu itu.

Ketiadaan saluran bagi spontanitas kreatif inilah yang akhirnya mendorong terjadinya letupan perasaan mereka dalam sub-kultur golongan tasawwuf. Bagaikan angin segar yang menyirami kekeringan jiwa kebudayaan Arab waktu itu, ekspressi spontan dari kedambaan para mistikus Islam akan pendekatan maksimal dengan tuhan, sekali lagi menemukan bentuknya pada pengungkapan kembali kekayaan kebudayaan pra-Islam, baik dalam produk tasawuf yang berbahasa Arab maupun Persia. Para penyair sufi menyanyikan lagu cinta kepada sang pencipta secara profan, sebagaimana dahulunya para penyair Jahiliyah mendendangkan tema percintaan mereka.

Demikian pula seni lukis dan seni musik memperoleh kembali tempat mereka semula, seperti dalam ritual grup-grup sufi (halaqah) abu’Aly al-Farrass dan Abu Yazid al-Bistam.

Tetapi kebangunan kebudayaan lama yang ditimbulkan oleh gerakan tasawuf ini tidak sampai menciptakan kembali kegemilangan kebudayaan Arab, karena gerakan itu sendiri dalam waktu tidak lama juga akan mengalami “penertiban” dari pihak golongan pemegang hukum agama (golongan ahli hukum syara, yang biasanya dipertantangkan dengan para sufi yang dinamai ahli ma’rifat atau ahli hakitat). Sekali lagi kebudayaan Arab kehilangan kesempatan untuk menunjukkan kekayaan dirinya, dan jatuh ke dalam penghilangan ekspressi hidup kejiwaan yang menggunakan gaya klise rutin belaka, berpuncak pada sistem ritual-liturgis (wirid) yang telah dilegalisir oleh agama, baik dalam rangka gerakan tasawuf yang telah ditertibkan (tariqah mutabarah) maupun diluarnya. Salah satu puncak dari produk jenis ini adalah ode-ode yang panjang yang ditujukan kepada Rasulullah S.A.W., seperti karya-karya al-Barzanji, al-Dzaiba’y, dan ode al-Burdah karya al-Busairy, yang dianggap sebagai puncak produk sastera Arab di masa kegelapan tersebut.

3.

Layunya kehidupan kebudayaan Arab setelah penertiban aliran-aliran tasawuf itu, lebih lanjut menciptakan kekosongan dan kegersangan yang cukup lama, lebih-lebih di bawah pemerintahan dinasti ‘Uthmaniyah dari Turki. Mobilisasi kekuatan militer secara menetap selama berabad-abad oleh imperium ini , guna mendukung gerakan-gerakan perluasannya ke wilayah-wilayah baru di Eropa dan Afrika, akhirnya memberikan pukulan fatal kepada tiap usaha untuk membangunkan kembali kebudayaan Arab dan menyegarkannya kembali dari kelayuan. Pertempuran ide-ide bukan lagi di bidang kebudayaan, tetapi berpusat pada masalah-masalah yang secara yuridis-formil menjadi topangan struktur imperium ‘Uthmaniyah, yaitu di bidang hukum agama (syara’) dan doktrin-doktrin theologis. Hanya memang ada sekelompok ahli bahasa yang tetap memelihara tradisi penelitian kembali kepada khazanah kesusateraan Jahiliyah, dengan tokoh besar yang terakhir pada diri al-Sayuty. Tradisi pemeliharaan kebudayaan lama ini anehnya justru berpusat di “menara gading” al-Azhar, yang merupakan pusat aliran bagi legalitas dalam Islam. Namun, pemerliharaan khazanah kesusasteraan Jahiliyah itu berlangsung dalam lingkungan sangat terbatas, sehingga hampir-hampir tidak menyentuh kegelapan kehidupan di sekitarnya.

Situasi demikian berlangsung selama berabad abad dan menjadi titik mula bagi penyegaran dan kebangunan kembali kebudayaan Arab, baik yang bernafaskan penyegaran Islam maupun yang berada di luar soal-soal keagamaan. Kemenangan Napoleon Bonaparte di Mesir, walaupun berusia pendek, membawa angin penyegaran yang dimaksudkan, walaupun raja vazalnya imperium ‘Uthmaniyah Muhammad ‘Aly Pasha kemudian berhasil menumpulkan akibat kemenangan Napoleon itu dengan melancarkan “gerakan pembaharuannya” sendiri sejak tahun 1813.

Dibukanya Mesir bagi pembentukan lembaga-lembaga pendidikn dan pengetahuan modern, menandai permulaan kebangunan kembali kebudayaan Arab di jaman modern ini.

Di wilayah al-Sham (terdiri dari kawasan yang meliputi negara-negara Lebanon, Israel, Jordania dan Syria sekarang), kebangunan modern ditandai dengan pukulan militer yang dilancarkan oleh balatentara raja vazal Mesir Muhammad ‘Aly Pasha di bawah pimpinan putera mahkota Ibrahim Pasha atas imperium Uthmaniyah antara tahun 1832 – 1840, dengan bantuan para penguasaha lokal dari dinasti Shihaby. Pembalasan besar-besaran oleh imperium Uthmaniyah di tahun-tahun 1860-an memberikan akibat ganda : imigrasi sejumlah warga wilayah itu ke Amerika dan terpusatnya sebagian besar warga yang beragama Kristen ke Lebanon. Baik di tempat pengungsian mereka di Amerika maupun di pemusatan mereka yang baru di Lebanon, para seniman dan budayawan dari kelompok bangsa yang tersudut itu justru memulai kebangkitan kembali kehidupan budaya mereka sendiri.

Di tempat pengasingan mereka, para imigran ke Amerika melancarkan gerakan kebudayaan melalui “sastera pembuangan (adab al-mahjar)”, yang antara lain menampilkan penyair kaliber dunia Kahlil Gibran. Dengan meminjam peralatan zending dari para misionaris dari segenap aliran kebangunan kebudayaan Arab modern di wilayah al-Sham kemudian memperoleh hasil yang relatif tidak begitu jauh berbeda dari apa yang dicapai oleh pembaruan Muhammad ‘Aly Pasha di Mesir, yang menggunakan khazanah bentuk-bentuk kesenian “underground” yang dipelihara oleh gerakan tasawuf di Mesir selama-berabad-abad.

4.

Kedua wilayah mesir dan al’Sham memasuki abad kesepuluh ini dengan kebangunan kebudayaan Arab yang mereka miliki, terutama dengan berdirinya beberapa universitas modern di penghujung abad ke-19 dan permulaan abad ini (Cairo University, misalnya, didirikan pada tahun 1908). Penegakan kembali pemikiran obyektif yang tidak seluruhnya mengikuti garis yang telah ditetapkan agama (sebagai konsekuensi logis dari sistim yang disusun dan diasuh oleh para orientalisten) menghasilkan usaha penggalian kembali secara berangsur-angsur, pada akhirnya menciptakan kebangunan yang dimaksudkan di atas. Dengan demikian, mulai terciptalah cara berpikir yang terlepas dari kerangka keagamaan belaka. Apa yang selama ini dinamakan kebudayaan Arab telah berumur dua ribu tahun lebih.

Tidak dapat dihindarkan terjadinya pembenturan antara tendensi ini dengan dasar berpikir tradisional, yang justru sebaliknya menganggap kebudayaan Arab sebagai bagian dari (dan dengan demikian mengabdi kepada) sebuah kebudayaan umum yan berpredikat Islam. Dialog antara kedua corak pemikiran ini berlangsung pada medan-medan dan intensitas yang berbeda-beda: antara mereka yang menghendaki pendekatan ilmiah obyektif atas sejarah Islam atas segenap aspeknya dan mereka yang tidak mau menerima pendekatan sedemikian itu; antara mereka yang menerima bentuk-bentuk kebudayaan baru yang bebas dan mereka yang tetap ingin menggunakan ukuran-ukuran klasik dari periode Islam dari era Abbasiyah dan Uthmaniyah; antara mereka yang menganut paham Pan-Islamisme dan mereka yang membawakan ideologi-ideologi baru yang bersifat sekuler ke dalam kedhiupan bangsa-bangsa Arab, termasuk nasionalisme Arab dari berbagai macam bentuk dan banyak medan pertentangan yang lain.

Kesemua perbenturan ini . baik yang berskala besar maupun kecil, pada akhirnya menghasilkan kebangunan kembali kebudayaan Arab dewasa ini. Sebagaimana semua perbenturan kebudayaan, tidak ada kemenangan murtlak dapat diraih oleh pihak manapun. Pihak secular, yang ingin melepaskan kebudayaan Arab dari predikat Islamnya, mau tidak mau harus mengakui tidak mungkinnya hal itu dilakukan secara menyeluruh. Demikian pula pihak tradisional, mau tidak mau harus mengakui wujud pembedaan aspek-aspek Islam dalam kebudayan bangsa-bangsa Arab, bahkan mereka pun harus pula mengakui sulitnya mengidentifisir secara konkret apa itu yang dinamakan umum Islam yang berlaku baik bagi bangsa Arab maupun bangsa-bangsa lain. Memang harus diakui bahwa yang ada hanyalah sejumlah kebudayaan nasional bagi masing-masing bangsa, yang memiliki aspek-aspek keIslaman dalam dirinya sendiri. Tetapi para pembawa ideologi modern harus pula mengakui bahwa sampai titik tertentu yang cukup berakibat fundamental, mereka harus memberikan tempat kepada manifestasi menyeuruh dari kehidupan keIslaman di kalangan bangsa Arab. Para pemuja kebudayaan Islam klasik harus pula menerima sebagai kenyataan yang tidak mungkin diingkari, akan perlunya tercipta medium-medium baru dalam kehidupan budaya bangsa-bangsa Arab yang membawakan nafas non-Islam, seperti tari-tarian rakyat, teater boneka, film-sandiwara-televisi, sastra bebas yang tidak menggunakan aturan-aturan puisi dan prosa klasik dan seterusnya.

Dengan demikian, sampailah kita pada kesimpulan, bahwa antara kebudayaan Arab dan aspek kehidupn bangsa itu yang dinamai kebudayaan Islam, tidak terdapat kesejajaran penuh, sehingga dapat dicapai kesatuan konotasi. Pengertian nama aspek yang benar-benar unsur Arab murni dan mana yang benar-benar unsur Islam non Arab menjadi kabur. Sejarah kebudayaan Arab, yang sebentar berwajahkan ekspresi khusus Arab dan sebentar justru menjadi manifestasi dari kebudayaan Islam, tidak memungkinkan dilakukannya pemisahan tegas antara keduanya.

Tetapi demikian pula sebaliknya, jalan sejarah kebudayaan Arab menunjukkan dengan nyata adanya identitas berganda dalam dirinya, menjadi keharusan bagi mereka yang ingin mengenal hakikat kebudayaan Arab untuk tidak hanya mementingkan aspek-aspek keIslamannya belaka, seperti yang telah lama menjadi cara memandang di negeri ini, bilamana ingin dibuat gambaran tentang apa yang dinamakan kebudayaan Arab. Diktum Arab adalah Islam, yang seringkali berakibat Islam adalah Arab, menjadi semacam rangka berpemikiran yang telah membuat kita bersikap tidak realitas selama ini. Sudah waktunya cara memandang semacam ini diubah, dengan cara menyadari sepenuhnya akan besarnya diversifikasi unsur-unsur kebudayaan Arab, sebagaimana yang juga dimiliki oleh kebudayaan bangsa kita sendiri. Kesemua unsur dan aspek dari kebudayaan tersebut membutuhkan perhatian dan perlakuan yang sama dari kita, jika kita ingin memperoleh gambaran realitas yang berdimensi lengkap tentang apa itu yang dinamakan kebudayaan Arab.