Kejujuran dan Kekayaan Bangsa
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Baru-baru ini, sewaktu berada di Bangkok untuk memeriksakan diri, penulis tinggal di Rumah Sakit (RS) Bumrungrad. Nama rumah sakit itu dalam bahasa kita berarti rumah sakit rakyat. Padahal, RS tersebut sebenarnya untuk kalangan atas, bukan untuk rakyat.
Kebanyakan pasiennya orang-orang Arab kaya, yang kini tidak dapat masuk ke Amerika Serikat (AS). Alasannya ternyata karena nama mereka biasanya didahului oleh kata Ahmad atau Muhammad. Hal semacam ini juga dirasakan warga bangsa kita yang memakai nama Arab. Karena orang-orang Arab yang berobat ke AS biasanya orang kaya, ketika mereka berobat ke RS tersebut, Bangkok dan sekitarnya menjadi kaya juga.
Bahkan, RS tersebut kini telah dimiliki orang kaya dari Dubai, kota di kawasan Teluk Arab. Sebagai akibatnya, RS tersebut beserta daerah sekitarnya menjadi ‘daerah Arab’. Mungkin ini adalah harga mahal yang harus dibayar Pemerintah Thailand untuk memperoleh modal para saudagar Arab itu. Restoran-restoran di kawasan itu berpapan nama huruf Arab. Karena penghuni RS yang umumnya orang Arab, nama-nama sekian banyak barang di kawasan tersebut juga nama Arab.
Kita berjalan di kawasan itu rasanya seperti di Beirut, dengan begitu banyak musik Arab yang terdengar, padahal ini Bangkok. Seorang tamu menyatakan pada penulis, di kawasan tersebut ada restoran yang menjual makanan dari daging babi. Tentu saja restoran tersebut bukan untuk melayani orang-orang muslim. Langganannya adalah gadis-gadis muda Thailand penjaja seks yang beroperasi di ”kawasan Arab”. Semua itu dilakukan demi devisa yang diharapkan dari kawasan ini. Di tengah keadaan itu, penulis membaca sebuah majalah ukuran kecil, Reader’s Digest.
Di dalamnya ada sebuah artikel tulisan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy. Yang menarik dari tulisan itu, Sarkozy mengambil hikmah “pelajaran sejarah” dari masa modern AS dan Prancis. Sarkozy berbicara tentang bagaimana kemenangan politiknya diperoleh dari kemampuannya menilai sejarah modern dua bangsa tersebut. Karenanya, dia menunjukkan bagaimana dirinya jatuh bangun di dunia politik Prancis, melalui pengamatan yang teliti atas hidupnya sendiri. Dia mengaku dekat dengan mantan Presiden Jacques Chirac, tapi tidak mau jadi pengikutnya.
Bahkan dia justru menjadi pengikut saingan Chirac dalam Pemilu Perancis. Walaupun pada akhirnya dia menjadi pemimpin kampanye Chirac, dia tetap dapat memelihara independensi dari ketergantungan berlebih pada Chirac. Ini pula yang membuatnya mampu mengalahkan lawan dari kalangan sosialis, Segolene Royal. Lewat artikel itu Sarkozy mengemukakan keranjingannya terhadap AS. Dia menyatakan niat untuk belajar dari cara-cara orang AS dalam menerapkan sistem politik.
Dia kemukakan bagaimana di masa lampau bangsa Prancis mengambil teladan dari sistem politik AS. Beberapa kejadian penting di AS bahkan dinamakannya sebagai sumber inspirasi bagi Bangsa Prancis untuk menjadi pedoman mereka. Bahkan banyak hal yang diekspresikan sebagai “pola Prancis” sebenarnya merupakan pengalaman-pengalaman yang diambil bangsa Prancis dari bangsa AS.
Begitu pun kekagumannya terhadap konstitusi AS. Dari sekian panjang tulisan, ada hal yang dikerjakan oleh bangsa AS tetapi tidak dipaparkan Sarkozy sama sekali. Hal itu adalah batasan-batasan yang dipakai bangsa AS terhadap konstitusi mereka. Presiden ketiga AS, Thomas Jefferson, mengemukakan hak-hak individu dalam konstitusi bangsanya. Pembahasannya terus berlangsung dari zaman hidupnya hingga kini, antara lain tentang hak warga negara untuk kawin dan berumah tangga dengan sesama lelaki atau perempuan (perkawinan kaum homoseks).
Mereka tidak hanya dapat tinggal serumah, tetapi memiliki sejumlah hak seperti waris mewaris dan mempunyai anak. Sebaliknya, menteri keuangan presiden tersebut, yaitu Alexander Hamilton, mengutamakan hak-hak negara bagian (state), seperti Presiden Bush Jr sekarang ini. Kedua pandangan berlawanan itu berdialog tentang konstitusi AS, dari zaman Jefferson hingga sekarang, dalam waktu sekitar dua seperempat abad. Sebenarnya Sarkozy juga dapat belajar dalam mencari garis batas pembahasan bangsa Prancis atas konstitusi mereka.
Yaitu sebagaimana dilakukan Charles de Gaulle terhadap sistem politik Prancis, terkenal dengan nama Konstitusi Republik Kelima. De Gaulle tidak mau membahas sejarah Perancis kalau tidak mengenai kebesaran (grandeur) dan kejayaan bangsa itu. Namun, setelah kematiannya tidak ada lagi yang berbicara tentang seluruh sejarah hidup de Gaulle. Sarkozy, yang juga melupakan betapa hebatnya de Gaulle, mungkin tidak membaca sejarah de Gaulle sebagai pembawa pikiran segar bangsa Prancis.
“Kesepian” de Gaulle ini seperti kesendirian Mao Tse Tung dalam buku Stuart Schram yang menggambarkan Mao senantiasa merasa kesepian dalam hidupnya. Walaupun Mao selalu dikelilingi orang banyak, terutama dari Partai Komunis Cina (PKC), Mao selalu berujar, “Aku sendirian karena aku bersama rakyat.” Ini pula yang dikemukakan Napoleon Bonaparte menjelang kekalahannya yang kedua. Sejarah ini begitu sering terjadi, hingga manusia hilang dari muka dunia. Hal biasa dalam sejarah hidup manusia, bukan?