Kerukunan Antar-umat Beragama Masih Rawan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
waktu delegasi GMKI datang ke kantor, saya bertanya kepada mereka apakah kaum Kristen se-Surabaya berada dalam ketakutan dan kecemasan? Mereka menjawab “ya”, dan saya sangat menghargai jawaban mereka. Peristiwa 9 Juni 1996 itu telah menimbulkan ketakutan-ketakutan dan kecemasan-kecemasan. Lalu secara spontan, saya mengatakan agar mereka mengumpulkan kawan-kawan dan mengajak para pendeta. Saya ingin ikut bersama-sama prihatin, lalu sharing kecemasan dan ketakutan.
Mengapa? Karena saya adalah salah seorang di antara anggota bangsa. Hal ini ditunjukkan: pertama, saya adalah orang Jawa, dan kedua saya orang Islam. Kalau saudara-saudara saya sebangsa dan setanah air mengalami kecemasan dan keprihatinan, tentu saya tidak boleh membiarkan hal itu berjalan tanpa minimal saya ikut merasakan dan bersama-sama prihatin. Sebab, bangsa yang besar adalah bangsa yang warganya bersama-sama merasa prihatin pada saat prihatin.
Hal lain, karena kita semua ini adalah anak-anak Tuhan yang sama. Tuhan itu satu. Kalau kita percaya kepada Tuhan yang satu, maka kita tahu bahwa dimensi ketuhanan itu melampaui batas-batas rumusan yang dibuat oleh manusia. Karena itu tidak akan ada rumusan yang paling benar. Semua mempunyai potensi kebenaran masing-masing, secara keseluruhan semuanya mendukung adanya Tuhan yang satu itu.
sebagai seorang ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat, saya pernah dimarahi karena cerita yang pernah saya tulis, yaitu tentang seorang aspiran sufi. Ceritanya begini. Dia seorang murid Tasawuf yang mencari kesempurnaan diri di dalam memahami Tuhan dan mencoba mendekati Tuhan sedekat mungkin. Suatu saat dia melakukan perjalanan ke tempat gurunya untuk beberapa hari. Dalam perjalanan tersebut dia bertemu dengan seorang Kristen dan terlibat dalam perdebatan tentang hakikat Tuhan. Sang muslim sufi ini mengkritik habis-habisan konsep Ketuhanan si orang Kristen itu. Berbagai macam sifat Tuhan dikritik.
Setelah mereka berpisah si sufi ini sampai ke tempat gurunya, tetapi tidak diperkenankan masuk. Dia menunggu di luar pintu sampai tiga hari lamanya. Akhirnya dia meratap dengan sedih karena tahu tanpa bimbingan sang guru dia tidak akan mengenal Tuhan yang sebenarnya. “Wahai sang guru, mengapa engkau melarang aku memasuki pintumu untuk bersama engkau mencoba mengenal Tuhan?” Jawab sang guru: “Karena kamu tidak mau tahu hakekat Tuhan, yang kamu rindukan cuma bajunya saja”.
Kondisi Rawan
Nah di situ saya dimarahi oleh MUI karena saya telah membuat istilah bajunya Tuhan. Dalam pandangan Islam hal seperti itu adalah kemusrikan. Islam hanya mengakui esensi Tuhan, dan tidak mengakui hal lain. Kalau Tuhan berbaju berarti ada dua Tuhan: Tuhan dan baju. Padahal sebenarnya, baju yang saya maksudkan adalah sifat-sifat Tuhan yang senantiasa diperdebatkan oleh manusia sepanjang zaman. Saya mencoba membuat alegori, tetapi sangat sedih bahwa Majelis Ulama Pusat tidak memahami alegori ini. Nah, bayangkan orang-orang di bawah mereka, tentu tidak dapat memahami hal-hal seperti yang saya maksudkan.
Oleh karena itu kita tidak boleh berbasa-basi. Kita harus mengerti, mengetahui dan meyakini bahwa hubungan antar-umat beragama di negeri kita masih di dalam kondisi rawan. Secara lahiriah memang tampak tidak banyak masalah. Hanya sekali-sekali muncul dalam hitungan statistik yang sangat kecil seperti minggu kelabu di Surabaya. Jika hal seperti itu lalu orang beranggapan bahwa tidak ada masalah, saya justru mengatakan sangat rawan, Mengapa? Karena kita berbicara tentang toleransi, tentang tenggang rasa, bagaimana mungkin dengan tenggang rasa kita bisa merasa bersaudara? Tidak mungkin! orang bertenggang rasa dengan yang lain, kalau mereka menganggap sebagai orang lain. Contohnya, kalau saya bertenggang rasa terhadap pak Sahetapy (maksudnya Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A,– ed.), berarti saya menganggap beliau orang yang bukan dari lingkungan saya. Saya rasa, kita memang sejak dini sudah keliru menggunakan istilah toleransi umat beragama. Kita dituntut hanya sekedar toleran dan tenggang rasa antara satu dengan yang lain.
Hal seperti ini juga yang menjadi ciri utama dialog antar-umat beragama negeri kita. Badan-badan yang berkaitan dengan urusan perembugan antar semua hanya mempunyai acuan toleransi dan tenggang rasa. Akhirnya apa yang terjadi? Saya melihat tidak pernah ada dialog, yang ada seri monolog. Masing-masing pihak menyatakan yang ideal tentang dirinya. Kalangan Islam menyatakan Islam seperti kecap, nomor satu!. Kalangan Kristen mengatakan Kristen nomor satu. Kalangan Hindu demikian, dan Budha pun demikian. Begitulah yang terjadi, dan maaf banyak bapak Pendeta terlibat, banyak Kyai terlibat, banyak Pedande terlibat.
Kalau memang dialog, seharusnya yang didialogkan adalah mencoba mengerti kesulitan-kesulitan saudara-saudara saya yang beragama Kristen, Hindu dan Budha. Demikian juga mereka harus mengerti kesulitan-kesulitan saya yang beragama IsIam. Ini baru namanya orang berdialog. Kalau bukan seperti itu namanya seri monolog; masing-masing bicara, yang lain tidak mau mendengarkan. Karena itulah saya terus terang saja merasa bahwa kerukunan antar-umat beragama kita masih rawan, karena masih semu. Hal inilah yang harus kita akui terlebih dulu kalau ingin membangun kehidupan beragama yang lebih kokoh di negeri kita.
Saya mulai dengan adanya kekurangan yang sangat besar di kalangan umat saya sendiri, umat Islam. Saya membuka pintu hati saya untuk ditunjukkan oleh yang lain-lain kalau masih ada kekurangan-kekurangan. Saya yakin masih banyak kekurangan kami. Tetapi saya minta kepada yang lain, tolong memahami kami. Tolong ikut memecahkan masalah kami. Jadi inilah inti persaudaraan orang yang beragama, karena orang-orang beragama bagaimana pun adalah bersaudara. Di dalam ber-Tuhan mereka adalah sesama saudara.
Jadi , saya melihat ini sebagai suatu kondisi, situasi yang harus kita luruskan. Peristiwa minggu kelabu dan peristiwa lainnya, menurut saya, itu akibat saja dari kondisi yang masih rawan itu. Kondisi di mana kita tidak disuruh saling mengerti, tetapi hanya dibiarkan hidup berdampingan secara damai (peaceful by sistance). Kalau tuntutannya hanya hidup berdampingan secara damai, maka jika suatu ketika unsur yang mendamaikan itu hilang, kita akan berantem. Padahal unsur itu banyak yang akan hilang. Mengapa? Karena umat beragama tidak hidup dalam kevakuman. Mereka hidup dalam kondisi sosial yang dinamis, yang senantiasa bergerak. Ada kesenjangan sosial-ekonomi. Ada himpitan-himpitan modernisasi.
Banyak di antara kita merasa sesak napas ketika datang dari desa-desa dan tinggal di kota untuk sekedar mencari sesuap nasi. Kita merasa terhimpit tinggal dalam ruang yang sangat sempit. Satu kota sebesar Surabaya harus ditinggali oleh sekian juta orang. Akibatnya banyak orang tinggal di gang-gang kecil dan kampung-kampung kumuh. Kita tidak bisa berbicara dengan orang lain, karena kita didera masalah kita sendiri. Seorang sopir bemo, bagaimana mungkin dapat berbicara dengan orang ber-mercy? Mereka bertemu saja, tidak! Tidak mungkin mereka saling mengerti masalahnya, kecuali sebagai lawan atau potensi lawan di tengah jalan. Bemo adalah potensi lawannya mercy. Mengapa? karena kalau bemo ini menyenggol mercy, maka bemonya tidak seberapa rugi, dan yang rugi mercy-nya. Tetapi bagi pengemudi bemo, sekali tabrakan dengan mercy, hidupnya yang jadi taruhan. Bukan nyawanya yang dipertaruhkan, tetapi hidupnya. Karena apa? Dia kehilangan mata pencaharian. Nah, itulah yang saya maksud potensi rawan.
Bagaimana kita tidak merasa prihatin, hubungan-hubungan kita ini sebagai sesama warga masyarakat dihimpit oleh berbagai masalah dengan kondisi berlawanan satu sama lain. Inilah yang membuat bahwa sebetulnya ada kebutuhan yang sangat besar untuk membuktikan kompensasi. Ketika ruang di luar (outer space) dalam diri kita menjadi sempit dan ditambah kehidupan kota yang menyesakkan, maka sebenarnya kita perlu kompensasi berupa pemekaran ruang hidup di dalam hati kita (our inner mace). Hal Inilah yang tidak pernah diperbuat kita, Bahkan kita diberi hantu mulai dari PKI sampai segala macam. Kita ditakut-takuti terus-menerus dengan segala hal yang mencemaskan. Nah, kalau anak-anak yang sekarang masih berusia balita, besok tidak menjadi gila, semua itu sebenarnya suatu keajaiban. Bagaimana tidak? Di televisi setiap hari mereka melihat Iakon bunuh-membunuh, mendengar warta berita kalau tidak kecelakaan, ya perang. Kemudian melihat hidup manusia di sekitarnya disekat-sekat; apakah dia Golkar, PPP, PDI, apakah Korpri atau bukan Korpri, ABRI atau sipil, dan sebagainya. Setelah mereka disekat seperti itu, masih disekat-sekat Iagi oleh perbedaan agama, perbedaan etnis, perbedaan budaya daerah.
Ada perbedaan kultural yang demikian besar, belum lagi bahasa ibu. Ada di antara kita yang berbahasa Jawa, ada yang tidak berbahasa Jawa. Bahasa Jawa saja, bermacam-macam. Bahasa Jawa-Surabaya lain dengan Nganjuk, apalagi dengan Kraton yang di Jogya dan Solo. Ada di antara kita yang bisa berbahasa asing dan yang tidak, dan seterusnya. Kita disekat-sekat di dalam perbedaan yang demikian banyak. Oleh karena itu, seharusnya secara kolektif ada upaya untuk memekarkan ruang di dalam hati kita agar dapat tumbuh kasih di antara kita semua. Hal inilah yang sebenarnya tidak ada, dan karenanya kita perlukan. Kalau yang seperti ini cukup, maka tidak akan terjadi Minggu kelabu itu.
Mudah saja masalahnya bahwa casus bally-nya, artinya penyebab asalnya, penyebab konkritnya, itu tidak penting bagi saya. Sebab hal itu adalah perbedaan-perbedaaan yang sebenarnya tidak esensial. Tetapi karena kita berada di dalam suatu suasana yang tidak ada kompensasi bagi penyempitan ruang di luar diri kita (outer space), dalam bentuk pemekaran ruang di dalam diri kita (our inner space), maka kita menjadi mudah sekali menutup diri terhadap orang lain. Kita tidak mau menuruti orang lain, tetapi mau betulnya sendiri saja.
Kalau Pak Sahetapy berbicara tentang kekerasan struktural, saya mau meminjam acuannya Ibu Doktor Tuty Herati Nurhadi. Beliau mengatakan bahwa kita ini berbicara dengan bahasa yang semu. Orang ‘ditahan’ dikatakan ‘diamankan’, ‘harga naik’ dikatakan ‘disesuaikan’, dan seterusnya. Bahasa kita memang sudah seperti itu, semua sudah kacau. Bahasa kita sudah menjadi bahasa dengan istilah-istilah yang tidak betul semua. Dalam suasana yang sedemikian mau tidak mau akan terijadi alienasi atau keterasingan antara satu dengan yang lain. Pertama-tama, keterasingan antar-sesama warga masyarakat bertambah lama bertambah nyata. Berikutnya, antara warga masyarakat dan pemerintah juga bertambah nyata. Berbagai lembaga yang dimiliki masyarakat juga terjadi keterasingan. Belum Iagi kalau keterasingan Itu dimasukkan dalam kancah perbedaan kepentingan perbenturan politik, maka keterasingannya akan bertambah menjadi-jadi. Akibat dari keterasingan tersebut, orang tidak dapat berbicara satu sama lain. Satu-satunya bahasa yang bisa dimengerti hanya kekerasan. Kalau saya tidak bisa memberi tahu si A supaya dia bisa berlaku yang baik, ya saya pukul saja. Saya kumpulkan untuk bisa memukul dia. Jadi, inilah yang terjadi. Kita jangan melihat ‘Minggu Kelabu’ itu memukul dia suatu yang berdiri sendiri. Hal ini merupakan bagian dari suatu proses yang sangat besar. Ada keterasingan.
Terasing dan Fitrah
Saya meminjam acuan agama Kristen, Islam, Hindu dan Buddha, Acuan apa? Mereka yang melakukan tindak kekerasan sebenarnya jauh lebih menderita daripada yang terkena kekerasan. Sebab apa? Mereka terasing dari fitrah mereka sebagai manusia. Orang beragama yang mengamuk, itu akan terasing dari agamanya. Agamanya tidak mengajarkan seperti itu. Nah, keterasingan ini semakin dibuat canggih, bukan persaudaraan yang ditingkatkan. Keterasingan dibuat canggih dengan cara membungkusnya dalam formula-formula agama.
Saya tidak tahu agama lain. Agama saya, agama Islam, pembungkusan keterasingan dalam formula agama itu dilakukan dengan cara menyalahartikan Firman-firman Tuhan dan ucapan-ucapan para nabi. Banyak mubaligh mengartikan sebuah ayat Al-Qur’an secara keliru. Padahal makna yang sebenarnya sederhana saja kalau mereka mau berpikir dan tidak terbelenggu oleh bahasa semu atau keterasingan. Misalnya, ada ayat Al-Qur’an: “Wahai Muhammad, orang Kristen dan Yahudi tidak akan rela kepadamu sampai kau ikut agama mereka”. Nah ini, lalu diandaikan bahwa orang Kristen di Indonesia pun, orang Hindu di Indonesia pun, orang Yahudi di mana pun, tidak akan pernah rela kepada orang Islam. Di sini ini Iho, mengerti ‘rela’ itu apa. Ya menurut saya rela itu simple saja, penerimaan kebenaran hakiki, kebenaran abadi, kebenaran yang paling akhir (The ultimate Truth).
Jelas tidak mungkin, kalau orang Kristen dan Yahudi menerima kebenaran hakiki (The Ultimate Truth) yang dibawa Nabi Muhammad, konsep Ketuhanan Islam. Kalau demikian, mereka sudah bukan Kristen lagi kan? Mudah saja. Sama saja kalau saya menerima kebenaran abadi yang dibawakan oleh agama Kristen, maka saya sudah berhenti menjadi orang Islam. Saya menjadi orang Kristen! Jadi kita tidak usah ribut-ribut bahwa saya memaksa Anda menerima kebenaran abadi agama Anda, atau pesan keagamaan Anda. Anda juga tidak usah menaksa saya untuk mempercayai konsep-konsep Ketuhanan Anda. Hal itu sejak awal sudah berpisah, sudah berbeda, karena pengalaman keagamaan juga sudah berbeda. Tidak bisa disamakan. Kami menggunakan Kitab Suci berbahasa Arab, sedangkan Anda tidak, itu saja sudah merupakan perbedaan dari awal.
Nah jadi menurut saya, mengartikan ‘rela’ di atas harus dalam pengertian ini, bukannya tidak mau menerima. Orang Islam harus menerima keadilan saudara-saudaranya yang beragama Kristen, Hindu, Budha dan sebagainya dengan tidak usah mengambil kebenaran abadi mereka. Karena kami yang Islam ini sudah mempunyai konsep Ketuhanan kami sendiri. Demikian pula sebaliknya. Tidak perlu ada paksaan terhadap masalah kebenaran abadi, tetapi juga tidak perlu ada keterpisahan yang fundamental. Kalau semua berusaha mencari kebenaran abadi dengan cara yang berbeda, tentu saja hasilnya berbeda. Latar belakang sejarah yang berbeda, bagaimana mungkin hasilnya akan sama? Sikap inilah sebenarnya yang harus diambil. Saya sangat setuju dengan keputusan Konsili Vatikan II pada tahun 1962-1965 yang disidangkan dan dipimpin oleh mendiang Paus Yohanes XXIII, Apa kata konsili itu? “Kami para Uskup yang bersidang di Vatikan dengan ini menyatakan penghormatan yang tulus kepada setiap upaya untuk mencari kebenaran abadi walaupun kami tetap yakin bahwa kebenaran abadi berada di lingkungan Gereja Katolik Roma”. Inilah sikap yang harus kita kembangkan.
Saya dengan Pak Sahetapy tidak akan pernah sepakat tentang konsep dasar Ketuhanan, tetapi apakah saya berkelahi? Justru saya menghormati! Pada zaman seperti ini kok masih ada orang yang mencari hakekat Tuhan. Zaman di mana materi sudah menjadi Tuhan pengganti, di mana negara kadang-kadang lebih dipertuhan daripada Tuhan itu sendiri. Zaman di mana ideologi kadang-kadang sudah diletakkan begitu tinggi sehingga dia sudah berubah sifat menjadi kebenaran abadi, padahal ideologi itu buatan manusia.
Nah, melihat semuanya ini sekali lagi saya tidak berpretensi ikut menyelesaikan masalah di Surabaya sebab itu urusan orang Surabaya, tetapi saya ingin mencoba melihat akar masalahnya. Akar masalahnya adalah tidakhadirnya sifat yang mutlak dari hubungan antara agama, keinginan untuk bersaudara, keinginan untuk menerima upaya mereka untuk mencari kebenaran masing-masing dan bertukar pengalaman.
Pada tahun 1974 saya pernah suatu malam berada di Candi Dasa, dekat Karangasem, di asramanya Ibu Ida Bagus Gedung Oka. Sebagai seorang Biksu dan pengikut Mahatma Gandhi beliau mengobrol dengan saya. Kami berdua ditambah YB Mangunwijaya, seorang pendeta Katolik, di bawah pohon kelapa berbicara tentang konsep kewalian. Dalam konsep Hindu ada wali, dalam konsep Islam model saya ada wali, dalam konsep kekristenan modelnya Romo Mangun ada wali. Kami berbicara tentang sifat wali-wali yang kami percayai. Ternyata sama. Bedanya cuma terdapat di dalam istilah. Yang satu dari bahasa Laun, lainnya dari bahasa Sansekerta, dan lainnya lagi dari bahasa Arab. Istilahnya berbeda-beda pula.
Jadi, saya rasa, kalau kita berlapang dada maka kita akan mampu mehahami orang lain, dan sebenarnya tidak ada masalah. Dengan kata lain, kalau masalah itu terjadi karena tidak adanya kemampuan untuk saling memahami di antara kita. Nah, ini yang tadi dikemukakan oleh Pak Sahetapy, bahwa yang harus kita pelajari adalah mencari kesamaan-kesamaan bukan perbedaan-perbedaan. Kalau toh kita melihat ada hal-hal yang menjadi masalah di kalangan teman kita, maka itu sebagai persoalan yang seharusnyaa kita ikut bantu memecahkan. Demikianlah dasar semangatnya. Barulah kita akan sampai pada kehidupan beragama yang sebenarnya, yaitu bersaudara satu dengan yang lain. Sebab kita semua toh bertanggung jawab kepada Tuhan yang satu, Sang Maha Pencipta.
Kalau ada orang Islam tidak mau mengakui kenyataan ini saya ingatkan bahwa kita semua harus melaksanakan tugas kenabian dari Nabi Muhammad di mana Al-Qur’an menyatakan kepada beliau “Wahai Muhammad, tiadalah Kuutus engkau, kecuali untuk mengembangkan ikatan-ikatan yang kuat di antara sesama umat manusia”. Di situ tidak di antara sesama muslim. Tidak. Tetapi, sesama umat manusia. Bahkan umat manusia saja di situ dikatakan alamin, penghuni alam, mungkin juga yang lain-lain. Tapi para Tafsir Al-Qur’an sudah sepakat bahwa alamin artinya semua isi alam ini maksudnya adalah umat manusia. Ketika Al-Qur’an mengatakan demikian umat Kristen sudah hadir, umat Hindu sudah hadir, umat Budha sudah hadır, umat agama-agama lain sudah hadir, toh Al-Qur’an merumuskan pembawa ikatan yang kuat di antara sesama umat manusia. Artinya Al-Qur’an mengajak kita untuk menerima perbedaan-perbedaan itu dalam satu ikatan kemanusiaan yang luhur. Karena itulah pula Al-Qur’an mengajarkan bahwa: “Sesungguhnya telah Aku jadikan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar supaya kalian saling mengerti satu sama lain, saling mengenal satu sama lain.” Bukan disuruh menjadi satu. Melainkan, kita disuruh saling mengenal, saling mengerti. Inilah esensi dari tugas keagamaan yang dibawa oleh Islam, dan saya yakin ini pula yang dibawakan agama Kristen, oleh agama Hindu, agama Budha dan seterusnya.
Saya kadang-kadang merasa sangat malu dibilang Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, warganya banyak, tapi ternyata di Republik tercinta ini masih ada keganjilan yaitu agama Baha’i masih dinyatakan sebagai agama terlarang Ada agama kok dilarang itu Iho sedangkan Night Club tidak. Ini aneh. Orang Baha’i di Indonesia itu tidak ada 1000 orang, tetapi terkena Keppres Presiden tahun ’62, nomor berapa saya lupa. Itu urusannya Pak Sahetappy. Maka alangkah sedihnya bahwa ketika saya menjadi ketua PBNU tahun 1984, pada awal 1985 datanglah seorang ibu dari daerah Pati, katanya, “Pak Kyai, saya mohon ditolong” Jawab saya, “Ada apa Bu?”
“Kami tujuh orang pengikut Baha’i karena terkena Keppres tahun sekian nomor sekian, dilarang menjadi Baha’i. Kami menolak karena itu keyakinan kami. Sekarang kami terkena akibatnya, kami sudah sepuluh tahun ini tiap hari Senin harus lapor ke Kodim”, kata ibu itu.
Gila tidak? Ini negara apa? Orang beragama kok harus lapor ke Kodim. Saya berjuang dan sampai hari ini belum berhasil. Apakah saya tidak malu? Saya malu. Saya kalau tengah malam, ketika saya menangis kepada Tuhan, salah satunya minta pertolongan Tuhan agar kaum Baha’i itu segera dibiarkan, tidak usah harus lapor ke Kodim.
Ketika mereka mau kawin tidak diperkenankan dengan cara Baha’i. Minta cara Islam, penghulunya tidak mau, karena mereka bukan orang Islam. Lalu apakah mereka harus berzinah, kumpul kebo? Pergi ke catatan sipil, catatan sipil tidak boleh mencatat. Akhirnya saya bilang sama Bu Jamali, “Bu, putrannya suruh ke Singapura saja mari kita urunan, saya urunan. Sudahlah, di sana diperbolehkan memakai cara Baha’i. Di sana ada orang Baha’i dan mereka bisa kawin dengan bebas”. Gila nggak? Di negara sekuler yang tidak mengenal Pancasila, orang beragama boleh kawin dengan caranya sendiri. Di sini tidak boleh, disuruh kumpul kebo.
Otokritik
Inilah. Rita mempunyai banyak masalah. Saya katakan tadi bahwa kehidupan beragama kita masih rawan. Karenanya, saya setuju dengan Pak Sahetapy, jangan berbasa-basi. Rita Iihat apa adanya, kenyataannya. Saya belajar banyak dari kritik-kritik kaum Kristen terhadap gereja mereka. Saya berharap mudah-rnudahan orang Islam mampu melakukan otokritik yang akan membawa banyak jalan dan hikmat bagi saudara-saudara umat beragama yang lain. Itu esensinya.
Dati tahun 1974 sampai dengan tahun 1980 saya ini setiap bulan selama tiga hari mengajar di Lembaga Pendidikan Theologia Bale Wiyata di Sukun Malang di bawah pimpinan Bapak Prof. Dr. Vismoadi Wahono dari Greja Kristen Jawi Wetan. Saya merasa sangat berbahagia mempunyai pengalaman itu selama tiga hari dalam satu bulan, atau 36 hari selama satu tahun. Itu hari-hari yang saya lalui dengan rasa kegembiraan, bukan karena saling memuji, tetapi untuk saling menunjukkan masih adanya problem yang kita hadapi. Dan ada kesempatan saling belajar bagimana caranya memecahkan masalah-masalah itu. Jadi itulah esensi dari kehidupan beragama yang sebenarnya yang dituntut oleh negara kita.
Saya setuju dengan Pak Sahetapy bahwa negara kita menjamin kebebasan beragama. Dalam pandangan Islam apa yang dikatakan Imam Al Ghozali yang hidup kira-kra 1000 tahun lebih yang lalu, 1010 tahun mungkinlah, bahwa dalam Islam ada yang dinamakan prinsip-prinsip yang lima. Pertama, masyarakat. Dalam hal ini negara harus menjamin keselamatan fisik warga masyarakat. Tldak perduli negara wajib menjamin keselamatan fisiknya. Itu perlunya ada negara. Kedua, masyarakat, dalam hal ini negara harus menjamin, memberikan jaminan dasar bagi keselamatan keyakinan agama dan pemikiran masing-masing. Jadi kalau kita pada pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menjamin kebebasan umat beragama untuk memeluk agama masing-masing dan kepercayaan mereka, itu bagi Islam merupakan pelaksanaan ajaran Islam. Saya yakin agama Kristen pun demikian.
Menurut saya, hal terpenting adalah semangat ini. Marilah kita kembangkan dan terutama Anda yang masih muda-muda tolong kalau tidak ada yang menolong kembangkanlah sendiri sedapat mungkin perasaan longgar dalam diri Anda. Upayakan pemekaran inner space, ruang di dalam diri kita. Berikan tempat bagi semua perbedaan. Berikan tempat bagi semua kesulitan orang Kita pahami, walaupun tidak paham, kita mencoba memahami. Toh percobaan memahami itu sendiri jauh Iebih penting dari kepahamannya.
Sekedar seperti ini keinginan saya: untuk sharing, untuk merasa prihatin dengan saudara-saudara saya yang beragama Kristen, akibat dari peristiwa ‘Minggu Kelabu’. Saya tidak perlu cari kambing hitam. Bagi saya semua kambing itu putlh, sebab kambing hitamnya itu kita sendiri. Mengapa orang bisa marah? Karena, masyarakatnya masih begini, dan kita menyumbang terhadap masyarakat yang begini, masih ada keterasingan, seperti yang digambarkan Oleh Pak Sahetapy dan Tuti Herati Nurhadi. Dalam suasana keterasingan maka bahasa yang relevan cuma bahasa kekerasan. Namun kita menjadi manusia rimba kalau membiarkan hal itu terjadi terus-menerus.
Karenanya, sambil kita melihat kalau hal itu sudah menjadi akibat yang logis, kita juga harus berusaha menghilangkan sebab-sebabnya. Kita mulai dari menegakkan kebenaran-kebenaran dan pengertian-pengertian yang benar dari bahasa, perilaku, pergaulan dan hubungan-hubungan sosial kita yang Iain termasuk hubungan-hubungan transaksional kita. Kalau kita menggunakan konsep-konsep yang benar, rumusan yang benar, saya yakin bahwa kita akan memperoleh bukan keterasingan satu dengan yang Iain tetapi kedekatan. Harus ada kedekatan, tidak perlu ada kekerasam
Dari Mana Kita Memperbaiki?
Tetapi ada pertanyaan, bagaimana kita memperbaiki hal yang sudah terjadi seperti peristiwa Minggu Kelabu? Dari mana kita memulai? Tidak Iain dari diri sendiri. Mulai dari keseluruhan diri kita. Jadi kalau teman-teman kita yang tempat peribadatannya dirusak, dimulai dari mengampuni yang merusak, mencoba mengapa dirusak dan mencoba bergaul untuk memperbaiki keadaan yang menjadi sebab itu secara bersama-sama. Jangan ada kecemasan dan ketakutan! sebab memisahkan kita dari orang Iain. Kalau kita tidak mempunyai rasa takut dan cemas, dan mengerti bahwa perusakan itu hanya akibat saja dari yang lain, kita tidak ada masalah.
saya mencoba demikian, sampai hari ini pun saya masih ditantang sebagai anteknya Kristen. Malah saya ini diberi gelar ‘krislam’, tidak jelas apakah Kristennya atau Islamnya. Saya menerima hal itu dengan rasa keprihatinan bahwa masih ada yang berpandangan demikian, tetapi saya wajib bersikap şantun sebaik-baiknya. Kalau saya saudara mereka, saya harus rela dihina sekalipun untuk mengajak mereka kepada yang benar. Jadi kita tidak boleh jengkel, sedih, tetapi biasa-biasa sajalah.
Hal itu berangkat dari diri sendir. Nah, kemudian memang secara teoritik kita juga harus mengembangkan suatu sikap, sikap menolak manipulasi agama untuk kepentingan-kepentingan politik, apa pun caranya. Perekayasaan agama untuk kepentingan politik, kelompok, merupakan penghinaan terhadap agama itu sendiri. Karena tidak ada agama yang membenarkan perbuatan yang lalim. Dalam agama Kristen, kita mengenal semua kalau dipukul pipi kanan berikan pipi kiri. Dalam islam ada namanya ‘amar makruf nahi munkar’, maksudnya tegakkan yang diperintahkan agama dan jauhi yang dilarang agama. itu semua sama isinya. Artinya kita sendiri tidak boleh membuat kemungkaran bahkan kita yang harus mencegah. Perbedaan tekanan saja. Tetapi sebetulnya intinya sama.
Nah, jadi karena itu saya rasa mulai dari diri kita, kita mencoba sebisa-bisanya, sekuat-kuatnya, maka hardikan itu bukan cara yang terbaik. Ketakutan dan kecurigaan malah paling buruk. Yang ada itu kesabaran. Kesabaran bukan dalam arti menerima dan pasrah, melainkan kita mencoba memecahkan masalah secara bertahap atau berencana sesuai dengan sumber daya yang kita miliki. Kalau kita mempunyai kesabaran yang kreatif dan konstruktif, saya rasa kita bisa membangun kesadaran yang lebih baik.
Diskriminasi
Waktu berbicara tentang politik Indonesia di Monash University sekitar tahun 1981 saya ditanya, apakah orang semacam Pak Benny Moerdani yang beragama Katolik dapat diangkat menjadi Presiden. Saya katakan bahwa secara konstitusional, secara teori dapat saja diangkat menjadi presiden, kenapa tidak? Dan Anda tahu waktu itu saya digencet dari kanan-kiri, dan dari mana saja. Jadi diskriminasi memang ada, apalagi terhadap Pak Benny, terhadap saya yang sama-sama islam saja saya didiskriminasi. Saya tidak boleh berpendapat bahwa itu boleh. Sampai sekarang masİh, sampai ada yang bilang bahwa saya ini anteknya Benny Moerdani. Coba waktu itü yang ditanya adalah Pak Sahetapy dan saya jawab Pak Sahetapy, saya dijadikan anteknya Pak Sahetapy. Begitu konyolnya gitu lo. Sampai hari ini. Bahkan di Universitas Wijaya Kusuma saya pernah ditanya Oleh seorang dari audience kabarnya Anda mendapat dari Pak Benny Moerdaniİ kapal pesiar. Kondisi kita masih seperti itu. Jadi kalau mau jujur, yang rawan itu orang islam.
Mungkin juga di kalangan Kristen ada yang mengatakan bahwa umpamanya Pak Sahetapy ditanya “Bagaimana orang Kristen boleh jadi Presiden? Lalu pak Sahetapy menjawabnya umpamanya, boleh-boleh saja, tetapi tidak mungkin dalam kenyataan, karena kita minoritas”. Jangan-jangan dia dimarahi kanan-kiri. Dianggap itu tidak membela Kristen, padahal Pak Sahetapy hanya menyatakan kalau minoritas maka suaranya kurang. Jadi bukan soal agama, melainkan soal şuara saja, tetapi sudah dikonversikan menjadi masalah agama.
Ketika saya berbicara tentang Pak Benny Moerdani boleh menjadi Presiden, saya tidak berbicara dari sudut agama, melainkan dari sudut Undang-Undang Dasar kita. Diskriminasi ada, karena orang menyampur-baurkan agama dengan masalah-masalah kenegaraan atau politik. Karena itulah saya dengan sadar membawa Nahdlatul Ulama bersama-sama diarahkan, dibimbing oleh almarhum Bapak K.H. Ahmad Sidiq bahwa NU harus keluar dari lingkungan politik. Selama organisasi islam dan organisasi agama lain bergerak dalam acuan politik, maka memunculkan masalah kepentingan. Bukan hakekat agama, tetapi kepentingan dan juga ketakutan.
Jika orang Kristen tidak boleh mendirikan gereja itu masalahnya karena ketakutan. Di Mojowarno lebih dari seratus tahun yang lalu Paulus Tosari membuat gereja, tetapi tidak ada orang ribut. Mengapa? Karena orang islam tidak takut apa-apa waktu itu. Paulus Tosari datang ke situ memang 2-3 orang. Lalu berkembang katakanlah sekelompok kecil orang dan membuat gereja. Sekarang umat islam berada dalam kondisi ketakutan. Secara psikologis mereka mengalami apa yang dikatakan orang psycology of fear, psikologi ketakutan. Penyebabnya bermacam-macam dan sangat kompleks. Pertama antara islam dengan peradaban lain sedang bertengkar. Dulu dengan komunisme, sekarang dengan barat. Orang islam sekarang suka marah kepada Samuel Huntington yang mengatakan bahwa ada crash of civilization antara Barat dan islam. Tetapi yang begitu bukan Huntington, orang Islam sendiri. Orang Islam setiap hari menyatakan bahwa musuh orang Islam itu Barat. Orang Islam sendiri yang menyatakan bahwa dirinya harus hati-hati terhadap Barat.
Barat itu digambarkan sebagai masyarakat setan. Seorang ketua umum organisasi Islam yang besar dan pernah tinggal di Amerika cukup lama untuk menulis disertasi, mempunyai anggapan bahwa semua orang Amerika itu free sex, semua materialistis, semua individualistis. Dia stereotipe terhadap Barat. Orang digolong-golongkan bajingan, gampangnya begitu. Seperti itulah penyakitnya. Kalau sudah kita kaitkan dengan kepentingan, lalu tentu timbul ketakutan. Apalagi orang Islam, lemah segala-galanya. Secara ekonomis terbelakang. Saya selalu bilang kepada orang-orang NU. NU ini harus membangun warganya benar-benar. Karena apa? Orang yang paling banyak, paling tinggi tingkat kematian bayi, daerah basis NU. Yang paling rendah tingkat pendidikannya, daerah basis NU. Yang paling rendah taraf ekonominya, ya NU. Paling sedikit tenaga ahlinya, ya NU. Biasanya saya bilang NU ini yang paling banyak bukan ahli tetapi calon ahli, yaitu ahli tidur semua kan?.
Jadi, harus dimengerti, bahwa diskriminasi itu akan ada selama ada ketakutan-ketakutan dan kepentingan-kepentingan. Nah di sinilah perlunya kita menjadi negara hukum. Mari kita tes di Pengadilan! Mari kita kaji secara ilmiah! Mari kita kemukakan pendapat dan sebagainya!