Ketidakrelaan Orang Yahudi dan Kristen
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam Al-Qur’an ada ayat tentang sikap orang Kristen dan Yahudi terhadap Nabi Muhammad SAW. Ayat itu, antara lain berbunyi ‘Dan orang-orang Yahudi serta Nasrani tidak akan rela kepadamu, sampai kau ikuti agama mereka (wa lan tardha’ankal yahud wa lan nashara hatta tattabi’a millatahum).
Atas dasar bunyi ayat tersebut, umumnya kaum muslimin menganggap orang Kristen dan Yahudi membenci Islam. Sebuah kategorisasi yang mutlak, yang tidak memperhitungkan kemungkinan lain. Akibat dari pemahaman seperti itu, sikap kaum muslimin lalu jadi turut mengeras. Curiga kepada orang Kristen, dan membenci orang Yahudi: Padahal keseluruhan Al-Qur’an tidak demikian. Memang menyalahkan pengingkaran mereka terhadap Tauhid. Tetapi Al-Qur’an tak pernah mengajarkan sikap membenci mereka.
Nah, penulis berpendapat, sebenarnya diperlukan cara penafsiran yang lain saat ini bagi ayat tersebut. Bukannya penafsiran yang memutlakkan kebencian mereka kepada Islam, melainkan yang menisbikan atau merelatifkan ketidakrelaan orang Kristen dan Yahudi kepada agama wahyu terakhir.
Pemahaman relatif seperti itu diperlukan karena berbagai sebab. Pertama, memang ayatnya secara eksplisit hanya menyebutkan ketidakrelaan kepada Nabi Muhammad SAW. Berarti yang bersikap demikian, yang secara harfiah ditunjuk Al-Qur’an, adalah mereka yang hidup sekurun dengan Beliau.
Sebab lain adalah kenyataan, bahwa sikap orang Yahudi dan Kristen terhadap Islam tidak bisa digeneralisasikan. Memang cukup besar prosentasi mereka yang melihat kepada Islam dengan kacamata Perang Salib di kalangan orang Kristen, dan kacamata konflik Arab-Israel di kalangan orang Yahudi saat ini.
Namun, cukup banyak pula yang mengakui keunggulan Islam. Juga yang menyadari bahwa Islam adalah agama dunia yang punya hak hidup sendiri disamping agama dunia yang punya hak hidup sendiri disamping agama mereka. Tidak semua orang non-muslim melihat Islam dengan kacamata buruk sangka belaka. Hubungan antar kelompok di dunia saat ini sudah demikian kompleks sehingga ‘mewarnai’ orang lain dengan warna yang kita ingini sendiri akan berakibat kebutaan warna total di pihak kita.
Sebab berikut juga penting untuk dikaji: Layakkah dalam negara yang berasas Pancasila untuk senantiasa berprasangka buruk kepada sesama warga negara? Bukankah bersikap curiga bahwa orang lain berprasangka buruk kepada kita juga awal dari sikap saling memusuhi yang berkepanjangan?
Dengan mengembangkan pemahaman relatif atas maksud ayat di atas, kita lalu mampu mengembangkan sikap beragam yang sehat kepada ummat beragama lain di negeri ini. Kepada yang masih membenci Islam, kita tawarkan pergaulan baik yang tidak saling merugikan. Kalau mereka menolak akan rugi sendiri. Bagi yang memahami Islam, kita ajukan tawaran membina kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang dipenuhi sikap saling menghargai dan menghormati.