K.H. Hasyim dan Kepentingan Umum

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

KH. Hasyim Asy’ari adalah pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Pondok tersebut kemudian dinamai Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah karena di dalamnya diajarkan ke-14 disiplin ilmu keislaman yang diajarkan oleh Imam Al-Suyuthi. Imam tersebut mengemukakan ke-14 macam disiplin ilmiah itu dalam karyanya, yang menjadi silabi dasar pondok-pondok pesantren yang bercorak “Sunni Tradisional”, dalam sebuah karya yang diterbitkan tahun 1911 Hijriyah (abad 16 M) berjudul Itmam Al-Dirayah, yang justru belum banyak diketahui kalangan pesantren sendiri namun dikenal dalam dunia Perguruan Tinggi Islam (PTI) dewasa ini.

Demikian pula, “buku-buku wajib” (Al-Kutub Al-Mu’tabarah) yang digunakan di dalamya merupakan kompendium/khazanah ilmu pengetahuan agama tradisional sampai hari ini. Secara modern, PTI memperkenalkan literatur baru yang digunakan sebagai bahan bacaan di samping literatur lama itu. Sedangkan para ulama (kiai, ajengan, syekh, tuan guru, maupun guru/lora) tetap saja menggunakan daftar kompendium lama itu. Karenanya seorang santri pondok pesantren belum dianggap mempelajari “pengetahuan agama” kalau belum pernah “mengaji” Taqrib dalam hukum Islam (fikih), Lathaif dalam ushul fikih (teori hukum Islam), Zam-zami dalam ilmu tafsir, Ibn Aqil untuk tata bahasa Arab (nahwu) dan sebagainya. Bahkan, pengetahuan tentang metodologi/studi membawakan syair-syair berbahasa Arab (Al-Arudh) dimasukkan sebagai “pengetahuan agama”.

Sang pengasuh dengan nama bermacam-macam di atas, “mengajar” melalui sejumlah pembantu/asisten, yang disebut juga ustadz, badal, pembantu maupun sebutan umum sebagai guru/lora. Banyak asisten itu juga bertempat tinggal di luar pesantren dan ada juga yang memiliki jadwal ceramah secara tetap di luar pondok di mana mereka tinggal. Bahkan bagi para alumni Pondok Pesantren Tegalrejo disediakan sebuah wadah yang disebut Persatuan Pengasuh Pondok Pesantren Kedu (P4SK) yang kini sudah menjalar sampai daerah Yogyakarta dan Salatiga. Mereka mengadakan pertemuan rutin berganti-ganti tempat tiap 40 hari sekali. Penulis sendiri pernah mengisi acara P4SK di daerah Bantul Yogyakarta, yang diikuti demikian banyak para pengasuh ponpes, termasuk yang dahulunya pernah sama-sama belajar dengan penulis di ponpes tersebut.

*****

Dalam pengantar buku Prof. Alwi Shihab, yang berasal dari disertasinya di Universitas Ain Syams di Kairo, penulis membahas pendapatnya dalam karya tersebut. Menurutnya, kaum sufi di Indonesia menolak paham Wihdat Al-Wujud dari Ibn Arabi. Menurut Alwi, kaum sufi Indonesia itu mengambil Tasawuf Sunni. Karena mereka menerima gagasan orang bertasawuf, haruslah orang yang sudah mengerti dan menjalankan syariah/hukum Islam. Penulis berbeda dari profesor kita itu, dengan yang dinyatakan dalam karya tersebut. Bagi para awam, para ulama itu mensyaratkan lebih dahulu melaksanakan syariah. Ini sesuai dengan ujar-ujar terkenal dalam bahasa tersebut, “Barang siapa berhakikat tetapi tidak bersyariat, maka ia adalah orang agnostik/tidak bertuhan“ (Man yatahaqqa walam yatasyrra’ fa huwa zindiqun).

Pendapat itu disanggah penulis, seperti dikemukakannya dalam pengantar itu. Menurut penulis, para ulama Indonesia memberlakukan Tarekat Sunni bagi orang awam, tetapi bagi diri mereka sendiri digunakan doktrin Ibn Arabi itu. Beberapa istilah, seperti berkah (Al-Berkah), pengetahuan esoterik (dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah kasyif, dalam keyakinan pengikut Kejawen: weruh sakdurunge winarah/tahu sebelum waktunya) dan sebagainya, menunjukkan bahwa mereka adalah pengikut paham Wihdat Al-Wujud itu, namun hanya bagi mereka sendiri. KH. M. Hasyim Asy’ari tidak terkecuali dalam hal ini, dan ini terlihat dalam penolakannya untuk khaul/peringatan kematian beliau di ponpes yang beliau dirikan itu.

Dasar dari penolakan itu adalah kekhawatiran kalau-kalau orang awam akan merayakan khaul itu seolah-olah beliau memiliki “sifat Allah” seperti terjadi di negeri-negeri lain. Beliau beraliran keras dalam tauhid/paham ketuhanan, sehingga wajar saja kalau beliau memiliki kekhawatiran seperti itu. Jadi beliau adalah pengikut doktrin Ibn Arabi, tetapi melarang orang awam mengikuti hal itu, sebagaimana halnya para ulama tasawuf lainnya di negeri kita. Banyak sekali cerita tentang keyakinan beliau itu, yang tidak dapat penulis kemukakan dalam artikel ini, kecuali satu dua hal saja. Salah satu di antaranya adalah ketika beliau ditanya sang putra, KH. A. Wahid Hasyim yang mewakili Laksamana Maeda, “Siapa yang mewakili bangsa Indonesia dalam negosiasi kemerdekaan negeri ini, jika tentara sekutu merebut Jepang?” Beliau menjawab: Soekarno, yang ternyata dibenarkan oleh sejarah.