Kata Pengantar: Kiai dan Kompleksitas Tipe-tipenya
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dunia kiai adalah dunia yang penuh kerumitan, apabila dilihat dari sudut pandangan yang berbeda-beda. Karenanya, sangat sulit untuk melakukan generalisasi atas kelompok ulama tradisional yang ada di masyarakat bangsa kita ini. Istilah kiai, bindere, nun, ajengan dan guru adalah sebutan yang semula diperuntukkan bagi para ulama tradisional di Pulau Jawa, walaupun sekarang kiai sudah digunakkan secara generik bagi semua ulama, baik tradisional maupun modernis, di Pulau Jawa maupun di luar Jawa. Istilah ustadz, yang dulunya menjadi tanda mengenal ulama mordenis atau ulama kalangan masyarakat Arab di negeri kita, sekarang juga sudah masuk dalam lingkungan pondok-pondok pesantren. Memandang dunia keulamaan dari sudut pandangan terminologi yang digunakan seperti itu, itu saja sudah mengharuskan kita untuk melakukan pembagian para kiai berdasarkan macam-macam tolok ukur.
Dilihat dari fungsi mendidik yang dijalaninya, seorang kiai dapat saja disoroti dari posisinya dalam proses mendidik, seperti perbedaan antara kiai yang mendidik di pesantren atau madrasah di satu pihak dan kiai yang tidak memiliki lembaga pendidikan formal di pihak lain. Kiai model terakhir ini adalah kiai yang mengajar rakyat secara luas, baik melalui pengajian umum maupun forum-forum pendidikan non formal lainnya, dan ia biasanya disebut muballigh atau “guru ngaji”. Tentu taraf ilmiah maupun penguasaan disiplin ilmu yang dimilikinya jauh berbeda dari apa yang diharapkan dari seorang kiai yang semata-mata mengajar secara formal di pondok pesantren maupun di madrasah. Belum lagi kalau seorang kiai yang memiliki kualifikasi penuh, dengan spesialisasi tersendiri dalam disiplin ilmu keislaman yang dikuasainya, juga memiliki kemampuan sangat komunikatif untuk memberikan pengajian umum kepada masyarakat luas dengan bahasa yang menyejukkan pemahaman rakyat kebanyakan. Kiai seperti ini, misalnya almarhum kiai Bisri Musthofa dari Rembang, merupakan jenis langka yang sangat mengasyikkan untuk diamati. Kebanyakan kiai memiliki kemampuan untuk mengajar secara formal di pesantren atau madrasah saja, atau hanya menjadi mubaligh (termasuk mubaligh-mubaligh besar) yang tidak mengajar secara formal. Contoh dari model terakhir ini adalah almarhum Kiai Yasin Yusuf dari Blitar dan KH Zainuddin MZ.
Tanggapan para kiai dari model yang berbeda-beda itu dengan sendirinya menjadi tidak sama dari satu ke lain orang terhadap hal-hal yang mereka anggap penting untuk dipikirkan atau direfleksikan baik pada masyarakat luas dalam rangka menentukan pendapat umum (public opinion) ataupun hanya sekedar untuk menularkan pemahaman yang dianggap tepat bagi para santri di pondok pesantren ataupun para siswa di madrasah-madrasah. Kalau posisi yang dimiliki seorang kiai dalam konteks peran mendidik yang dimilikinya saja sudah membedakan jalan pikiran dan sikap seorang kiai dari kiai yang lain dalam suatu masalah, dapat dimengerti bahwa pembedaan lebih jauh tentu akan dapat diperoleh bila dilihat dari latar belakang dan taraf pendidikan yang dilalui para kiai itu sendiri. Karenanya apa yang dilakukan oleh Dr. Prajarta dengan buku ini tentunya memiliki arti penting bagi kita dalam memahami sikap dan perilaku para kiai.
Di samping sudut tilikan yang sifatnya empirik tentang pendapat, sikap dan perilaku para kiai di sebuah daerah yang unik di kabupaten Pati, seperti yang disajikan buku ini, kita dapat menelusur berbagai upaya untuk mendefenisikan hal-hal itu dari sudut tilikan lain-lainnya. Umpamanya saja kita dapat melihat peranan para kiai dari sudut fungsi budayanya, seperti dilakukan oleh Clifford Geertz dengan teorinya tentang kiai sebagai “makelar budaya” (cultural brokers). Menurut teori ini kiai berperan membendung dampak negatif dari arus budaya luar yang masuk ke dalam kehidupan masyarakat tradisional di Jawa, dengan resiko derasnya arus budaya yang masuk itu akan jauh melampaui kapasitas kerja sebagai bendungan itu sendiri. Dalam keadaan demikian kiai akan kehilangan fungsinya sebagai perantara dalam arus perubahan masyarakat yang berlangsung secara cepat. Namun pendapat Geertz ini dibuktikan tidak semua benar oleh Hiroko Horikoshi yang melakukan penelitian atas peranan almarhum ajengan Yusuf Tajeri dari pesantren Cipari di Garut. Menurut Horikoshi, kiai tidak berperan pasif untuk menjadi bendungan seperti dikemukakan Geertz. Para kiai menurut temuannya, justru berperan aktif melakukan seleksi atas nilai-nilai dan sikap-sikap positif yang seharusnya dikembangkan oleh masyarakat, dan dengan demikian merumuskan skala prioritas sendiri atas perubahan masyarakat dan mengembangkan kepeloporan mereka dalam proses perubahan itu sendiri.
Demikian pula tilikan Redfield yang membedakan peranan para pemuka masyarakat dari sudut afinitas masing-masing kepada “budaya besar” yang mewakili pola kehidupan elite masyarakat di satu pihak dan kepada “budaya kecil” dari rakyat kebanyakan di pihak lain, juga menunjukan kemungkinan melakukan pengamatan jeli atas peranan para kiai itu. Sebaliknya Bambang Pranowo mengajukan kerangka acuan yang lebih mampu menampung terbaurnya pola perilaku dan pembentukan sikap elit masyarakat dan rakyat biasa dalam proses penyantrian mereka yang semula dianggap “kaum abangan”. Islam, menurut tilikan ini berfungsi integratif dan cenderung menghilangkan perbedaan-perbedaan antara berbagai lapisan masyarakat. Sangatlah menarik untuk melihat begitu besar potensi yang dimiliki obyek kajian yang berupa para kiai itu.
Tilikan sosiologis yang menunjukan pola-pola patronase di kalangan para kiai pernah dilakukan oleh Sidney Jones dalam kajiannya tentang pondok pesantren Mayen di Kediri pada awal-awal tahun 1980-an. Sayangnya kajian ini tidak dituntaskan menjadi disertasi, sehingga hasil akhirnya tidak bisa diterbitkan. Namun ada beberapa hal sangat menarik yang menjadi temuan-temuannya, dilihat dari sudut hubungan antarkiai, Jones menemukan adanya pembagian antara pesantren induk dan pesantren lokal, dengan pesantren induk memiliki jaringan hubungan antarkiai yang bercakupan nasional. Di Kediri, tipe ini diwakili oleh pesantren Lirboyo semasa Kiai Machrus Ali masih hidup. Jaringan alumni pondok pesantren tersebut tersebar di seluruh Jawa yang secara keseluruhan merujuk dalam segala hal pada pesantren induk tersebut. Karena posisinya, yang demikian kuat, baik tingkat lokal maupun nasional, di kalangan Islam tradisional (khususnya NU) maka terjadi diferensiasi peran yang dituntut dari kiai pengasuh pondok pesantren tersebut, sehingga diperlukan perwakilan dalam bentuk utusan-utusan (representatives) yang mewakili sang kiai dalam bidang yang berbeda-beda.. Untuk kiai Mahrus, peranan beliau dalam berhubungan dengan birokrasi pemerintahan diserahkan kepada Ali Mashar yang mencapai jenjang karier kepegawaian ke tingkat direktur di lingkungan Departemen Agama. Peran beliau di lingkungan masyarakat diwakili oleh Kiai Syafi’i Sulaeman yang menjadi muballigh lokal dan kemudian berkembang menjadi ketua NU wilayah Jawa Timur, sedangkan tanggung jawab di bidang pendidikan formal di lingkungan pondok pesantren Lirboyo dipikul oleh kiai Syafi’i Marzuki sebagai wakilnya.
Dilihat dari sudut patronase ekonomi, diferensiasi peranan kiai juga tampak dalam perbedaan skala hubungan antara seorang kiai dengan pusat-pusat kekuatan ekonomi. Pondok Mayan yang relatif kecil hanya memiliki pola hubungan dengan petani kaya di desa-desa sekitarnya. Sedangkan pondok pesantren Lirboyo yang berkedudukan di kabupaten yang sama justru memiliki hubungan langsung dan mengembangkan pola dukungan timbal balik yang luas dengan perusahan terbesar yang memiliki jangkauan nasional yaitu pabrik rokok Gudang Garam, yang langsung diurus secara pribadi oleh kiai Machrus. Tampaknya pada saat buku ini diterbitkan, pola patronase ekonomi itu juga mengalami perubahan di pondok pesantren Lirboyo. Tekanan sekarang lebih diarahkan pada pengembangan sarana-sarana fisik di pondok pesantren tersebut melalui dukungan para alumni, bukannya melalui dukungan timbal balik dari pabrik rokok Gudang Garam tersebut. Jadi tampak jelas bahwa perbedaan peran para kiai tidak hanya harus dilakukan antara para kiai yang berbeda dari pondok pesantren yang berlainan tetapi juga dilakukan perbedaan berdasarkan periodisasi kepemimpinan para kiai di pondok pesantren yang sama.
Sejumlah karakteristik sebagaimana dipaparkan di atas jelas menunjukkan keanekaragaman pola-pola kekiaian bila ditilik dari peranan pendidikan, peranan budaya, peranan politis, peranan ekonomis dan pola kepemimpinan yang digunakan, yang jelas berbeda dari kiai ke kiai lainnya. Demikian pula apa yang dirasakan sebagai derajad kesalehan yang dimiliki seorang kiai berdasarkan latar belakang pendidikan dan keahliannya dalam disiplin ilmu keislaman yang dimilikinya memegang peranan sangat besar dalam melakukan pembedaan kedudukan seorang kiai dari kiai-kiai yang lain. Kesemuanya itu menunjukkan kerumitan yang cukup tinggi dari kajian tentang para kiai dalam pengertian terminologinya yang bersifat tradisional. Tentunya kerumitan itu berderajad lebih tinggi lagi kalau dimasukkan di dalamnya faktor peranan para kiai itu dalam gerakan keislaman yang murni dari masyarakat (seperti NU dan Muhammadiyah), gerakan Islam yang semi pemerintah seperti MUI dan afiliasi mereka para organisasi-organisasi politik yang ada (PPP, Golkar, PDI). Dapat ditambahkan kerumitan yang sudah berderajad tinggi itu pola hubungan para kiai dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang berbeda-beda seperti birokrasi, pihak keamanan, BUMN dan lain-lain.
Tidak pada tempatnya untuk menguraikan lebih jauh hal-hal itu dalam uraian pengantar buku ini sehingga rasanya dapatlah dicukupkan uraian ini dengan mempersilahkan pembaca untuk menikmati sajian Dr. Pradjarta yang bersifat rinci tentang suatu “kasus lokal” dari sebuah Kabupaten di Jawa Tengah, yang menyajikan cakrawala baru tentang kerumitan dunia kiai sebagai obyek kajian.