Kisah Sebuah Konferensi

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Ketika undangan itu tiba dari sebuah lembaga swadaya masyarakat Internasional di New York, penulis tidak begitu terarik untuk hadir. Undangannya, adalah untuk hadir dalam sebuah konferensi mengenai penyelesaian sengketa yang sudah terlalu berkepanjangan, antara Israel dan Palestina. Sengketa itu sudah ada sebelum Israel lahir sebagai negara, dari zaman mendiang Menachem Begin, dahulunya memimpin Hagana, sebuah organisasi teroris yang memperjuangkan kemerdekaan Israel dari tangan Inggris. Dengan perjuangan gigih dan berdarah terhadap Inggris, orang-orang Israel akhirnya berhasil memperoleh kemerdekaan pada tahun 1948. Segera terjadi pertempuran bersenjata dengan pihak Arab, yang dipimpin oleh Legiun Arab dari Kerajaan Yordania, yang dikendalikan oleh Raja Abdullah, kakek Raja Hussein, cicit dari Raja Abdullah yang sekarang. Ketika ia meninggal dunia, ia digantikan putranya, Thalal bin Abdullah.

Raja Thalal inilah yang mengambil “sikap keras” terhadap Israel, dan yang membangun tentara Legiun Arab di bawah pimpinan Glub Pasha, seorang jenderal berkebangsaan Inggris. Ketika kemudian tantangan militer yang diajukannya terhadap Israel, yang sementara itu mulai dibantu secara militer dan finansial oleh Amerika Serikat, maka Raja Thalal bin Abdullah “diturunkan” dari tahta Kerajaan, dan digantikan adiknya, Raja Hussein bin Abdullah. Raja ini menempuh “pendekatan” yang baru, yaitu tidak mengakui Israel secara diplomatik, melainkan juga tidak berperang dengannya. Diharapkan, dengan cara demikian dapat dijaga “netralitas” negaranya, dan pertikaian dicoba untuk diselesaiakan melalui perundingan. Ternyata terjadi perkembangan lain, orang-orang Palestina yang terusir dari Israel dan menjadi orang yang tidak berkewarganegaraan (stateless), membangun kekuatan militer mereka, untuk menentang Israel. Yang terjadi justru sebaliknya, yaitu mereka bertempur melawan pasukan-pasukan Yordania di tahun 1970.

Segera Raja Hussein bin Abdullah menjadi keras terhadap mereka secara militer. Namun di daerah Gaza dan Tepian Barat sungai Yordan, di mana pemimpin-pemimpin Palestina dengan ribuan pasukan mereka tinggal, Raja Hussein bin Abdullah memelihara hubungan sangat baik. Justru perekonomian Yordania sangat terbantu dengan hubungan tersebut, yang juga mengatur peranan kaum pengusaha dan kalangan profesional Palestina. Sementara itu, orang-orang Palestina, terutama dalam jaringan yang dipimpin Yasser Arafat (bergelar Abu Ammar) mengatur diri. Dalam waktu tidak terlalu lama, gerakan al-Fattah menjadi besar, dan sebenarnya bersikap moderat. Semestinya sebuah penyelesaian damai dapat dicapai kalau ada kesepakatan yang sebenarnya mencakup hal-hal teknis. Namun, hal itu tidak kunjung tercapai, baik di kalangan “garis keras” bangsa Israel, dan juga di kalangan “kaum sempalan” orang-orang Palestina sendiri.

*****

Tahap baru tercapai, manakala “pihak garis keras” Palestina melancarkan serbuan-serbuan Fida’iyyin (Fedayeen) ke arah komplek-komplek perumahan orang-orang Yahudi, yang terpencar-pencar di seluruh negeri. Peperangan 1967, membawa pasukan-pasukan Israel ke hampir seluruh kawasan bangsa Palestina, termasuk Tepi Barat sungai Yordan dan Gaza. Keadaan menjadi berbalik, dan kini tentara Israel justru menguasai kawasan-kawasan baru dan Israel langsung membuat kampung-kampung (settlements) baru. Suasana memanas dan baru dapat didinginkan oleh perjanjian Camp David atas prakarsa pihak Amerika Serikat dalam tahun 1973, setelah melalui peperangan antara pihak Arab dan Israel tahun 1970. Hubungan diplomatik terjadi antara Mesir dan Israel dan disusul beberapa tahun kemudian oleh hubungan diplomatik Israel dan Yordania.

Pihak Palestina, yang semakin terjepit dan semakin tertinggal oleh Israel dalam segala hal, akhirnya melahirkan kaum “haluan keras”, dalam bentuk Hammas dan sebagainya. Mereka gunakan satu-satunya cara untuk menghadapi Israel adalah pemboman bunuh diri (suicidal bombings) yang sangat ditakuti Israel. Sudah tentu tidak mudah bagi Arafat untuk mengatasi mereka, dan mengajak mereka untuk menerima hasil-hasil perundingan dengan pihak Israel. Karena masing-masing dari kedua pihak itu tidak ada yang mau saling mengalah. Dalam kenyataan, Arafat tidak akan dapat memaksakan kehendak karena melihat dan mengalami hasil-hasil pemboman bunuh diri itu. Sementara itu semakin lama kedudukannya semakin lemah. Perdana Menteri Israel, Ehud Barak tahun 2000-2001, dalam sebuah perundingan menawarkan Palestina untuk menerima prinsip “tanah untuk perdamaian”. Karena gagasan ini bersifat fundamental dan berasal dari luar, maka Arafat dari semula sudah menunjukkan keragu-raguan, menolaknya.

Pada waktu ia berkunjung ke Indonesia, penulis meminta agar Arafat menerima usul Barak itu yang dengan mentah-mentah ia tolak. Karena tidak semua tuntutan mereka diterima Israel. Tapi namanya juga kompromi, itu adalah hasil terbaik yang dapat dicapai oleh Palestina tanpa kekerasan. Penolakan Arafat itu, antara lain disebabkan oleh kesadarannya karena tidak dapat menguasai “golongan keras” di kalangan bangsa Palestina sendiri, yang berarti Arafat merasa tidak akan mungkin menangkap dan mengejar-ngejar mereka. Dan akhirnya isu itu membuahkan kekalahan Barak dalam pemilu Israel sendiri. Gantilah yang berkuasa, yaitu partai Likud berhaluan keras yang menginginkan berdirinya Ereth Yisrael – Israel Raya, mencakup juga wilayah tepian barat sungai Yordan, di bawah pimpinan Perdana Menteri (PM) Ariel Sharon.

Jika dilihat, maka langkah Arafat menolak usul Barak itu sendiri adalah sesuatu yang harus dianggap penting bagi pencapaian seluruh keinginan bangsa Palestina. Kalau dilihat dari kaca mata “keharusan” berkompromi, dan yang terpenting berdirinya sebuah Negara Palestina merdeka, maka penolakan itu sendiri adalah sesuatu yang dalam jangka panjang tidak jelas hasilnya. Jika Sharon dapat menemukan cara untuk berdamai dengan orang-orang Palestina yang moderat, maka jelas Arafat akan terlempar dari kedudukannya. Sekarang ini sudah dua kali pihak Israel (tentu saja dibantu AS) menampilkan dua orang “tokoh alternatif” yang moderat. Tokoh itu mula-mula adalah PM. Abu Mazen atau Mahmoud Abbas, yang kemudian disusul oleh PM. baru Ahmad Qurei. Dengan kelihaiannya untuk menciptakan “kaum moderat” dalam jumlah besar di kalangan bangsa Palestina, yang tentunya akan berkompromi dengan pihak Israel, maka perkembangan baru akan terjadi dengan cepat di tanah suci tiga agama itu.

*****

Melihat kepada kemungkinan-kemungkinan seperti itu, maka dalam konferensi internasional pada tingkat di luar pemerintahan, yang diusulkan oleh Inter-religious International Federation for World Peace (IIFWP, Federasi Internasional Antar-agama untuk Perdamaian Dunia), penulis mengemukakan di dalamnya bahwa sebuah faktor lain, harus dijadikan bahan pertimbangan pula. Di samping pertimbangan geo-politis mengenai keinginan masing-masing pihak, harus pula dipertimbangkan faktor spiritualitas yang “harus” diikuti oleh semua bangsa yang bertikai, guna mendapatkan penyelesaian abadi melalui perundingan. Spiritualitas ini berarti kesediaan berkorban untuk orang lain, di samping memperjuangkan kepentingan sendiri.

Dalam persoalan Palestina – Israel, ini berarti kesediaan kedua belah pihak, untuk menganggap Tanah Suci Jerusalem dan sekitarnya adalah milik bersama yang tidak dapat dibagi-bagi. Kalau toh perundingan menghasilkan Jerusalem tetap menjadi ibu kota Israel, itu harus berarti bahwa ketiga “daerah peribadatan”, Masjid Al-Aqsha, daerah Mount Olive dan Tembok Tangis (Wailing Wall), tetap ditangani oleh lembaga-lembaga keagamaan, bukannya oleh pemerintah mana pun.

Banyak bentuk spiritualitas lain yang dapat dikemukakan, namun hal itu tergantung pada perundingan-perundingan yang baru saja mulai berjalan kembali. Proses itu demikian lemah dan lentur, sehingga ia dapat terhenti seketika oleh hal-hal yang kecil, katakanlah peledakan bom bunuh diri di tempat yang “strategis”. Ia juga dapat terhenti seketika, jika pihak militer Israel yang diketahui sering menyabotase tindakan-tindakan pemerintah, tidak menyukai kompromi apa pun. Situasi seperti inilah yang sekarang sedang dihadapi oleh kedua belah pihak: keragu-raguan untuk memberikan konsesi dalam bentuk apa pun. Ini jelas tidak akan mempermudah upaya perundingan. Karenanya, kehadiran lembaga baru yang bernama Pusat Dialog Strategis (Strategic Dialogue Center) di Netanya, lima kilometer sebelah selatan Haifa, tempat penulis bergabung menjadi anggota pendiri, menjadi sangat penting artinya untuk mencari pemikiran-pemikiran baru tentang penyelesaian sengketa Israel – Palestina, bersama-sama dengan Michael Gorbachev dan De Klerk. Sungguh sebuah impian yang indah, bukan?