Konsep Islam Tentang Manusia dan Implikasinya Bagi Pendidikan

Sumber Foto: https://yoursay.suara.com/kolom/2022/09/16/075514/belajar-memahami-konsep-manusia-dalam-sudut-pandang-agama-islam

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Islam memperlakukan manusia sebagai kesatuan yang utuh. Ada persambungan yang jelas antara sisi keduniaan dan sisi keakhiratan dalam konseptualisasinya tentang kehidupan dalam kaitan yang jelas, Kenyataan mutlak yang tidak bisa ditawar lagi adalah kebahagiaan atau kesengsaraan di akhirat. Sehingga akhirat adalah kehidupan yang lebih baik dan lebih langgeng (khair wa abqa).

Dihadapkan kepada mutlaknya kenyataan akhirat itu, kehidupan di dunia hanyalah sebuah ilusi (ghurur) Pintu gerbang untuk memasuki dan menuju kepada kenyataan adalah kematian. Sesuatu yang datang dengan sendirinya dari Allah. Tanpa dapat dipercepat maupun diperlambat oleh manusia (la yastaqdimun wa la yasta’khirun). Konteks yang digunakan adalah konsep takdir yang spontanitas. Lalu berfungsi demikian mutlak, sehingga tidak memberi peluang sama sekali kepada manusia untuk melakukan ikhtiar apapun.

Karena itu dapat dimengerti, mengapa agresivitas manusia lalu menjadi tidak menonjol dalam konsep Islam tentang manusia, sebagaimana dikembangkan oleh para pemikir muslimin selama ini. Yang keluar dari pembaharuan selama empat belas abad adalah sosok manusia lemah (dhaif). Inisiatif tidak berada di tangan manusia, melainkan sepenuhnya berada di tangan Allah. Manusia hanya menjalani saja. Bukannya menciptakan kehidupan. Wawasan fatalistik (dalam bahasa kalam: al-jabr) adalah orientasi yang paling kuat dalam kehidupan kaum muslimin selama ini.

Yang lebih mengherankan lagi, sebenarnya justru Alquran sendiri menyatakan dengan eksplisit bagaimana manusia dapat mengambil inisiatif Pertama-tama dengan menyadarkan kehadirannya dalam kehidupan sebagai pembawa fungsi Ketuhanan di muka bumi (khalifat Allah fi al-ardh). Pemenuhan fungsi tersebut diarahkan kepada tugas kemakhlukan (al-risalah) yang dibawakan Nabi Muhammad sebagai prototipe manusia sempurna (al-insan al-kamil). Yaitu tugas penyejahteraan kehidupan manusia sendiri (rahmatan li al-‘alamin).

Untuk pemenuhan tugas itu maka manusia diberi kedudukan termulia di antara semua makhluk. Lagad karromna bani Adam, sesungguhnya telah Kumuliakan anak-anak Adam, kata Alquran. Dan untuk menempati kehidupan mulia itu, dalam rangka pelaksanaan tugas kemakhlukannya, manusia diciptakan dalam bentuk kemakhlukan terbaik (ahsan taqwim).

Sebagai makhluk terbaik dengan kelengkapan kemakhlukan terbaik pula untuk menunaikan tugas kemakhlukan yang demikian mulia, tentu ada kewenangan dalam diri manusia untuk mengatur hidupnya sendiri. Patutlah jika Alquran lalu menyatakan secara eksplisit kewenangan manusia ini dengan firman-Nya. Sesungguhnya Allah tidak (akan) mengubah sesuatu (yang terdapat) dalam (kehidupan) sesuatu kelompok manusia, hingga mereka mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri.

Kewenangan telah diberikan kepada manusia untuk mengambil inisiatif dalam mengubah kehidupan mereka, dari makhluk lemah di hadapan kekuasaan Allah yang serba tidak terbatas, menjadi makhluk kuat yang tahu bahwa ada tempat bagi dirinya untuk berperan dalam kehidupan atas perintah-Nya.

Alquran dengan demikian telah meletakkan sendi-sendi yang jelas bagi manusia untuk mengatur kehidupannya sendiri. Karena itulah letak ilmu pengetahuan dan penguasaan atasnya merupun penggunaannya secara kreatif menjadi titik pusat bagi perwujudan potensi manusia dalam Alquran sendiri.

Gradasi manusia ditentukan oleh penguasaanya atas ilmu pengetahuan (ulul ilma darajat), di samping oleh ketaqwaannya kepada Allah. Dan oleh karenanya para penguasa ilmu pengetahuan (ulama) dirumuskan oleh Nabi Muhammad sebagai pewaris tradisi kenabian (warotsatul anbiya’). Pendayagunaan ilmu pengetahuan menjadi orientasi utama yang dituntut oleh Alquran, seperti dalam ungkapan tidakkah kau gunakan akalmu (afala ta ‘qilun), tidakkah kau tilik dengan penglihatan hati (afala tubshirun) dan ungkapan-ungkapan yang serupa.

***

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa wawasan Islam tentang manusia terkait erat dengan kehidupannya. Manusia tidak dirumuskan dalam kehampaan, melainkan dalam keadaan situasional yang dinamai kehidupan. Bagaimana ia berfungsi dalam kehidupan, bagaimana ia menggunakan kehidupan itu sendiri sebagai tolok ukur perbuatannya, adalah sesuatu yang dapat disimpulkan sebagai inti pandangan Islam tentang manusia.

Perbuatan baik (‘amalus shalihat) adalah ukuran satu-satunya untuk menilai kehidupan seseorang. Dengan kata lain, keimanan dan ketaqwaan diukur dari perbuatan nyata dalam kehidupan. Kesalehan adalah kata kunci dalam hal ini. Dan secara keseluruhan orientasi kehidupan kaum muslimin diwarnai oleh pandangannya sendiri tentang kesalehan itu adakah ia berarti memalingkan muka dari urusan duniawi, ataukah sebaliknya?

Kita akan mudah terjebak untuk menghadapkan antara kedua kecenderungan tersebut, sesuai dengan tampaan pandangan positivistik yang kita terima selama ini. Kita tolak pandangan serba ukhrawi dalam mengartikan kesalehan, atau sebaliknya.

Padahal masalahnya tidak terletak di situ. Melainkan pada upaya penggabungan antara dimensi keakhiratan dan dimensi keduniaan dalam setiap perbuatan kita, sehingga amal saleh kita memiliki wajah kebaikan’ disamping ‘wajah kegunaan sekaligus. Pandangan integralistik tentang kehidupan inilah yang seharusnya menjadi orientasi kesalehan hidup kita. Karenanya, tidak heranlah jika keseluruhan tradisi pemikiran Islam dikuasai oleh asas manfaat (untuk dihadapkan kepada langkanya kemanfaatan dan sekaligus kerusakan atau fasad).

Konseptualisasi pandangan mengenai kehidupan dalam konteks kesalehan itu, yang berujung pada penetapan tolok ukur “kebaikan” dan “kegunaan/manfaat”, tercermin dengan tepat dalam penggunaan istilah maslahah dan mafsadah. Dalam konteks manfaat dihadapkan kepada kerugian, implikasinya bagi pedidikan adalah penumbuhan nilai-nilai yang mengutamakan kemaslahatan dan menjauhi kerusakan.

Konfigurasi nilai semacam ini dengan sendirinya menumbuhkan sisi moralistik dari pendidikan menurut wawasan Islam. Masalah yang timbul adalah bagaimana sisi moralistik itu tidak hanya terhenti pada formalisme ritual ataupun orientasi kesusilaan belaka, namun mampu mencapai jangkauan lebih jauh lagi. Konfigurasi maslahah dan mafsadah itu dapat juga dikembangkan dalam konteks kemasyarakatan yang lebih luas. Wawasan kemanusiaan yang lebih luas, tilikan yang lebih tajam atas kedudukan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan, kesadaran lebih tinggi akan pentingnya arti kreativitas bagi masa depan manusia secara individual. Kesemuanya itu merupakan sedikit di antara banyak hal yang dapat dikembangkan dari konfigurasi masalah-masalah di atas.

Dari uraian di atas tampak jelas bahwa konsep Islam tentang manusia yang berwatak integralistik memberikan keseimbangan penuh kepada kehidupan, antara tuntutan kepentingan manusia dan kepastian nasib yang ditentukan Allah baginya.

Doktrin al-qona’ah dari kaum sufi mencerminkan hal ini dengan indahnya. di satu sisi manusia berkewajiban mengusahakan apa yang diingininya sejauh dan sekuat mungkin, namun dengan kerelaan untuk menerima hasil yang ditentukan Allah baginya.

Ungkapan lillahi ta’ala dan istilah ikhlas haruslah diartikan dalam konteks jalinan halus antara keharusan mendayagunakan budidaya sejauh mungkin, namun dengan kerelaan menyadari keterbatasan manusia sendiri di hadapan Allah. Keresahan (angst, menurut Adler) yang menjadi ciri manusia modern menurut konsep Barat yang serba positivistik, dikoreksi, oleh watak qona’ah dari kehidupan manusia menurut pandangan Islam, yang akan mempunyai implikasi sangat jauh bagi wawasan pendidikan menurut Islam sendiri.

Tradisi keilmuan kaum muslimin selama ini pernah menunjukkan melakukan upaya integralisasi seperti diuraikan di atas, antara proses penyerapan massif di satu pihak dan pengendaliannya oleh ukuran-ukuran normatif yang melahirkan para pemikir muslimin seperti Ibnu Khladun. Menjadi kewajiban kitalah untuk menemukan konsep integralistik itu dalam bentuk yang tuntas.