Konsep

Sumber Foto: https://seputarilmu.com/2019/12/pengertian-konsep-menurut-para-ahli.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Seorang “santri kota” melakukan sesuatu yang aneh tapi menggelikan. Di Gedung Widya Graha, Mabesnya LIPI di Jakarta, ia mengambil air wudhu di kamar kecil, karena tidak ada kamar mandi atau tempat berwudhu. Maklum gedung modern. Selesai membasuh muka, kedua tangan dan kaki, serta mengusap rambut dan telinga, kebingungan mencari handuk untuk mengeringkan semua anggota di atas.

Tengok kiri dan kanan, tidak ada handuk, akhirnya tanpa banyak cingcong, ia mengambil kertas tisue toilet yang biasanya dipakai pembersih pantat sehabis buang air besar.

Orang yang melihat akan tertegun, kok ada pembersih pantar untuk membersihkan muka…!?? Ternyata, bagi “santri kota” kita ini tidak ada masalah. Soalnya hanya perbedaan konsep belaka.

Bagi kita pembersih dubur, baginya hanyalah pembersih belaka. Karena pembersih thok. Bisa dipakai untuk membersihkan apa saja.

Nah, di sini lalu terjadi hal yang menarik. Apa yang dibiasakan, lalu menjadi keharusan secara budaya, tidak selalu sama hasilnya jika dilihat dari sudut agama.

Kertas toilet adalah sesuatu yang bermanfaat, titik. Tidak perlu dilihat status dalam kehidupan. Pada titik inilah sering harus dilihat sebab-sebab kesenjangan antara norma agama dan manifestasi budaya.

Haruskah keduanya dipertentangkan? Ada yang menjawab: harus. Demi menegakkan hukum agama yang abadi keberlakuannya bagi ummat manusia di semua tempat dan segala zaman. Tetapi ada pula yang menjawab tidak perlu. Mengapa? Karena manusia tetap manusia. Artinya, memiliki potensi untuk berkembang. Baik berkembang perilakunya, menuju kepada kematangan pola kehidupan beragamanya. Juga berkembang dalam kemampuan memperluas cakrawala doktrin agama sendiri. Melalui reaktualisasi dan sebangsanya, tentu.

Masalahnya, mampukah kita melindungi hak kedua belah pihak untuk berdialog secara menetap, tanpa harus menghukum yang dianggap “bersalah?”