Krisis Pemikiran, Krisis Keterkaitan
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Tengara saya, yang kemudian diperkuat Emha Ainun Nadjib, mengenai krisis pemikiran besar dalam kehidupan kita dewasa ini ternyata mendapat perhatian luas. Beberapa pemikir dan pengamat mengajukan visi yang berbeda-beda mengenai masalah itu, tapi tak seorang pun di antara mereka yang menolak adanya krisis itu sendiri.
Pemikiran kita saat ini, didominasi beberapa isu politik yang rancu. Masalah mayoritas tunggal yang diasosiasikan dengan Golkar mengaburkan kenyataan tingginya kadar “perpecahan” dalam Golkar. Perpecahan itu diproyeksikan seolah-olah ia adalah sebuah mata rantai dari proses demokratisasi. Padahal, sebenarnya yang terjadi adalah pembenturan kepentingan yang tidak menyangkut kepentingan rakyat banyak. Katakanlah terjadi dinamika dalam tubuh Golkar yang tidak dengan sendirinya menjadi Golkar lebih demokratis.
Juga, isu “pengentasan kemiskinan”. Tidak jelas yang dimaksudkan, meningkatkan taraf hidup orang miskin atau mengangkat masalah kemiskinan ke permukaan. Ketidakjelasan yang lahir dari kerancuan peristilahan; mengentas dalam bahasa Jawa berarti upaya menolong dalam bentuk mengangkat. Lalu, mengapa harus kemiskinannya yang harus diangkat dan ditolong?
“Era globalisasi” dan “era modernisasi” juga menjadi tanda belantara kerancuan istilah yang semakin mencekam kita. Kata globalisasi dan modernisasi sebenarnya melekat pada proses yang sedang berjalan, dan tidak mengacu pada ruang waktu mana pun. Sebaliknya, penggunaan ruang waktu lebih banyak untuk produk yang dihasilkan proses itu sendiri. Dengan demikian, seharusnya kita berbicara tentang globalisasi dan demokratisasi, yang menuju pada era globalitas dan era modernitas kehidupan.
Tidak heranlah jika kerancuan berpikir menjadi sangat luas, dan dengan kerancuan itu proses berpikir mengalami kemandekan. Kerja berpikir tidak lagi ditekankan pada upaya untuk mencari gagasan-gagasan baru yang akan memperluas jangkauan pandangan kita. Pembicaraan kita terhenti pada klasifikasi masalah-masalah yang kita hadapi. Kita terpancang pada masalah bagaimana harus berpikir, bukannya membahas apa yang sebenarnya kita pikirkan.
Kondisi ini menunjukkan adanya apa yang dibuat Mohammad Sobary disebut “kemarau dalam kehidupan intelektual kita”. Orang tidak lagi mengharapkan dari perguruan-perguruan tinggi kita produk-produk pemikiran yang inovatif. Kita sudah merasa beruntung jika dunia pendidikan tinggi kita mampu menghindar dari posisi “IQ jongkok”. Kita sudah puas jika skripsi para sarjana kita bukan plagiat, dan proses membuat skripsi masih menjadi lahan oleh pikiran. Sekedar itu, bukannya persemaian bagi bibit-bibit pemikiran baru.
Sebab utama bagi situasi yang digambarkan di atas dapat digali dari ketidakmampuan para pemikir kita untuk menemukan keterkaitan (inter-relationship) di antara berbagai bidang. Karena berpikir adalah kerja budaya, dengan sendirinya yang diperlukan adalah keterkaitan antarbudaya sebagai bidang kehidupan dan bidang-bidang lain dari kehidupan manusia. Bidang budaya sendiri sering dipersempit lingkupnya menjadi sekedar wilayah kesenian dan adat istiadat. Hal itu menjadi sekaligus sebab bagi maupun akibat dari langkanya keterkaitan antarbudaya dan bidang-bidang lain kehidupan.
Budaya menjadi penyebab kurangnya keterkaitan itu karena keasyikan para budayawan dengan pergumulan epistemologis mereka sendiri. Dengan demikian para budayawan membuat bidang mereka menjadi sesuatu yang esoterik, tidak mudah dijangkau mereka yang tidak dianggap sebagai budayawan. Perdebatan berkepanjangan apakah kesenian klangenan (kitsch) layak dipertahankan atau tidak, membuat pembahasan budaya menjadi steril dari masalah-masalah besar.
Tetapi, proses terlepasnya budaya dari keterkaitan bidang-bidang lain kehidupan itu tidak dapat disalahkan atau ditimpa kesalahan hanya kepada para budayawan. Pemikiran di bidang politik, umpamanya, oleh para ahli.
Ilmu politik juga sudah dipersempit begitu rupa sehingga kehilangan relevansi budayanya. Orang berbicara tentang politik sudah dalam kerangka mekanisme pembentukan pendapat dan pengambilan keputusan, bukannya bagaimana politik itu an-sich dapat menjadi gembala kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang sehat. Tidak lagi dibicarakan bagaimana tanggung jawab pemerintah dan partisipasi rakyat harus terpikir dalam satu ikatan yang kuat, dengan masih tetap mempertahankan serat (fiber) masing-masing.
Bidang agama bergerak menuju situasi monolitik, dengan “Agenda Utama” bagaimana menyantuni munculnya primordialisme agama dan sektarianisme keyakinan. Kondisi tersebut bermuatan politik yang sangat sensitif karena langsung terkait dengan sikap-sikap politik seperti kasus tabloid Monitor. Kegiatan dan kelembagaannya yang dianggap para eksponennya sebagai sesuatu yang sakral tentu tidak memberi ruang gerak yang sudah lebar bagi para budayawan untuk membahas posisi fundamental dari agama dalam kehidupan sebuah bangsa yang sedang mencari pola-pola rasionalitas pemikiran. Bidang pendidikan semakin lama semakin berkembang menjadi sebuah industri komersial sehingga orang tidak dapat membedakan lagi mana kerja mendidik dan mana kerja mengembangkan keterampilan. Pendidikan dan pelatihan menyatu dalam misteri dunia komputer yang sangat teknis dengan simbol-simbol esoteriknya sendiri. Wajar saja kalau para budayawan juga kehilangan gairah memikirkan masalah dasar pendidikan kita. Dunia pendidikan akhirnya lebih diurusi para birokrat dan manajer pendidikan ketimbang para pemikir yang berperspektif luas dan berpandangan jauh ke depan.
Jelas dari kenyataan yang dipaparkan di atas bahwa dunia budaya kita saat ini bagaikan persekat dari bidang-bidang kehidupan lainnya. Dimensi politik dari kehidupan budaya sepertinya didiamkan juga oleh para budayawan dan para pemikir kita. Mungkin karena takut hardikan para pemegang kekuasaan pemerintahan, tetapi juga karena takut sodokan dari para ahli ilmu politik dan komunikasi sosial. Belum lagi para sosiolog dan antropolog.
Mengaitkan kehidupan budaya dengan kehidupan agama juga sama riskannya. Malah lebih berbahaya, karena ada ancaman amukan massa. Ekstremitas optimal dari kehidupan beragama yang justru sedang mengalami pemiskinan budaya membuat para budayawan dan pemikir budaya harus bersifat sangat hati-hati.
Dari keterkaitan antarbidang budaya, bidang politik, dan bidang agama yang sedang mengalami rawan-rentang (Criticlespan) itu juga sudah dapat dianggap “wajar” kalau antara para pemikir dan budayawan di satu pihak dan proses kehidupan di pihak lain berkembang sekat yang sangat kokoh. Tetapi, justru “kewajaran” seperti inilah yang harus ditolak, karena ia akan melahirkan paceklik pemikiran-pemikiran besar yang berkepanjangan dan paceklik seperti itu akan membawakan kekurangan gizi refleksi dan rohani yang dapat mematahkan kemauan hidup bangsa kita dalam jangka panjang.
Orang dapat saja menyalahkan struktur kekuasaan yang timpang, atau sebab-sebab lainnya namun tidak ada orang yang dapat melepaskan diri dari tanggung jawab moral untuk dapat membenahi sedapat mungkin persawahan pemikiran itu. Betapa kecilnya sekalipun, setiap sumbangan yang diberikan akan menyuburkan kembali sawah pemikiran bangsa kita di masa depan, apabila kerja itu dilakukan secara kolektif oleh para pemikir dan budayawan kita.