Logika Kiai Fatah

Sumber Foto: http://eksplorasiilmupengetahuan.blogspot.com/2016/04/biografi-singkat-kh-abdul-fattah-hasyim.html

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Almarhum kiyai A. Fatah Hasyim adalah profil kiyai asketik (bahasa Arabnya: wira’i) setiap tiga hari sekali tamat membaca Al-Qur’an, menggunakan waktu yang luang di sela-sela kesibukan mengajar. Memimpin pesantren Tambak Beras lebih dari seperempat abad, kiyai Fatah menampilkan sosok konvensional ‘kiyai asketik’. Keteraturan beribadat (memimpin sholat jama’ah rawatib lima kali sehari di masjid). Juga ketekunan berpuasa sunat. Dan ketundukkan mutlak kepada fiqh sebagai hukum agama. Segala sesuatu yang dilakukan harus sesuai dengan fiqh. Dalam bahasa pesantren sesuai dengan syarat (bentuk lain dari kata syari’at).

Kalau dilihat sepintas lalu profil semacam ini, tentunya tergambar sikap yang kaku dalam menerapkan hukum agama. Asal halal, boleh dilakukan; kalau haram, mutlak dilarang. Baik bagi dirinya, maupun dalam penerapannya kepada orang lain. Apalagi santrinya sendiri, dalam rangka mendidik mereka menjadi pribadi-pribadi taat kepada hukum agama.

Ternyata, di balik ketundukkan mutlaknya kepada syari’at, Kiyai ini memiliki sisi kemanusiaannya yang tak terduga. Bukan kemanusiaan dalam arti karikatif, karena itu juga sisi umum kaum fiqh dan kaum syari’at Menolong orang miskin dan menderita adalah bagian dan ketaatan kepada syari’at. Tentunya diutamakan yang sama-sama beragama Islam.

Sisi kemanusiaan kiyai Fatah ternyata lebih jauh jangkauannya. Tidak hanya melihat masalah dari sudut hubungan antar manusia. Ada bekas Pastor melamar menjadi guru bahasa Inggris dan ilmu-ilmu pasti alam. Diterimanya eks-Pastor itu mengajar di pesantren. Di madrasah mu’allimat. Itu di dasawarsa limapuluhan! Ketika ditanya, kiyai Fatah hanya menyatakan kita perlu guru yang mampu mengajarkan vak-vak tersebut.

Apakah yang kemudian terjadi? Eks-Pastor itu mengajar belasan tahun, mendidik banyak lulusan madrasah itu (termasuk istri saya sendiri). Dari pergaulan dekat bertahun-tahun itu, akhirnya bapak eks-Pastor lalu masuk agama Islam. Dengan kesadaran sendiri, tanpa diajak langsung. Apalagi didakwahi secara monoton dan dari pandangan se-sisi belaka. Ternyata, ‘logika keperluan’ yang dikemukakan kiyai Fatah akhirnya membawakan harmoninya sendiri, walaupun pada permulaan banyak dikritik orang.

Di pesantren Tambak Beras, itu saya menjadi keamanan merangkap sekertaris pesantren. Dalam fungsi pertama itulah saya menghadapi seorang santri yang menjadi ‘biang kerok’ kehidupan di pesantren tersebut. Nakalnya bukan main, tiap hari melanggar aturan pesantren. Mulai dari mencuri milik sesama kawan santrinya, hingga ternak mereka. Puncaknya adalah si santri ‘biang kerok’ itu tertangkap keamanan pesantren di tengah malam. Sedang membuka genting asrama santri putri, ingin mengintip mereka yang tertidur nyenyak di bilik-bilik asrama itu.

Keamanan memutuskan pengusiran santri bengal itu, dan keputusan itu disampaikan kepada kiyai Fatah selaku pengasuh. Untuk meminta persetujuan Ternyata sang kiyai berpendirian lain. Anak itu diserahkan orang tuanya kepada kiyai Fatah, karena sang ayah sudah tidak sanggup mengatasi kenakalannya. Justru karena itu, ia tidak boleh dipulangkan, sebelum keadaannya diperbaiki. Keamanan pesantren bingung karena membiarkan santri yang satu itu merajalela dengan kenakalannya, berarti hancurnya peraturan pesantren secara keseluruhan.

Kiyai Fatah menyatakan akan mengurusi sendiri anak itu, dan demikianlah yang terjadi. Dengan kasih sayang seorang ayah, santri bengal itu lambat laun diubahnya menjadi santri yang berprestasi baik. Sekarang, ia sudah menjadi kiyai di pesantrennya sendiri, dengan santri menetap berjumlah lebih dari seribu orang. Belum terhitung murid-murid sekolah yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Yang bersekolah setiap harinya.

Lagi-lagi menarik untuk dilihat logika kiyai Fatah, yang mengutamakan tugas mengubah perilaku seorang anak nakal, dari pada sekedar hanya melaksanakan aturan belaka. Ada dimensi kemanusiaan yang dalam, yang berintikan kasih sayang kepada sesama manusia dalam keutuhan manusia itu sendiri. Kasih sayang kepada sang anak asuh, tetapi juga kasih sayang kepada potensinya untuk berkembang sejauh mungkin.

Berapa banyak dari kita, yang memiliki logika sepenuh itu, lepas dari kaidah-kaidah kaku dan tatanan yang mapan?