Masihkah Diperlukan Wawasan Kebangsaan Dewasa Ini?
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Setelah janji dan harapan sangat besar bagi perbaikan nasib umat manusia dibawakan oleh abad ke-19 sebagai ‘abad ideologi’, maka abad ke-20 yang hampir berakhir ini membawakan keraguan dan kebimbangan umat manusia kepada pemikiran-pemikiran besar yang mereka kenal selama ini. Ideologi-ideologi ternyata tidak membawakan pemecahan fundamental masalah-masalah yang dihadapi umat manusia sendiri. Karena langkanya jawaban serba pasti itu, maka abad ini akhirnya disebut oleh para ahli sejarah filsafat sebagai ‘abad ketidak-pastian’ (the age of uncertainty).
Rasa ketidakpastian itu semakin menjadi-jadi, ketika tatanan dunia melalui lembaga-lembaga internasional tidak mampu memecahkan masalah lingkungan hidup (seperti pencemaran masif oleh kawasan industri, penggundulan hutan dan seterusnya), penyelesaian hutang negara-negara berkembang, komunalisme eksklusif sebagai ideologi telah dibuktikan oleh sejarah tidak berhasil memberikan jawaban atas masalah-masalah fundamental, seperti hampir tidak mungkinnya didirikan struktur masyarakat yang adil dalam arti yang sebenarnya. Negara-negara industri maju melaksanakan tindakan-tindakan diskriminatif terhadap jutaan buruh tamu dan yang semula turut membangun perekonomian mereka. Negara-negara berkembang kebanyakan tidak mampu menegakkan hak-hak politik yang dasar bagi warga negara mereka, seperti kedaulatan hukum, kebebasan berbicara dan berserikat, walaupun dijamin oleh undang-undang dasar mereka masing-masing.
Pada saat ini dunia tengah dilanda oleh perkembangan yang lebih mengerikan lagi: komunalisme internal dan internasional yang melanda negara-negara berkembang yang berada pada tahap pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda. Somalia diterjang oleh konflik antar-suku yang sudah berumur ratusan tahun, dan hingga kini penyelesaian internasional ditangani oleh pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Komunalisme internasional tampak dalam wajah terburuknya dalam kasus ‘pemurnian etnis’ (ethnical cleaning) oleh etnis Serbia atas etnis Bosnia di Bosnia-Herzegovina, yang dahulu adalah bagian dari negara federal Yugoslavia. Tindakan itu mengingatkan kita pada kekejaman tiada tara yang dilakukan oleh Hitler dengan faham ideologisnya, Nazisme, dalam Perang Dunia II. Dalam bentuknya yang lain, komunalisme juga muncul dalam pembantaian Khmer Merah (Khmer Rouge) atas penduduk Vietnam di Kampuchea dan pengusiran orang-orang Asia (artinya India) dari Afrika Timur sekitar dua dasawarsa yang lalu.
Komunalisme agama juga masih berlangsung dalam skala luas, seperti yang dialami kaum muslimin di India saat ini dan kaum Baha’i di Iran sejak dua belas tahun lalu. Walau tampaknya mengambil bentuk pertarungan kekuasaan pemerintah setelah hancurnya pemerintahan komunis Afganistan, sebenarnya terjadi pertarungan komunal antara tiga faham dalam Islam: tradisionalisme para pendukung Syah Masoud, skriptualisme-nya Golbuddin Hekmatyar dan kelompok Syi’ah yang berdiam di kawasan barat negeri tersebut. Komunalisme agama itu juga berkembang di negeri industri maju, seperti Irlandia Utara.
Pada deretan berbagai jenis konflik kebangsaan, puritanisme etnis dan komunalisme itu dapat ditambahkan sebuah kenyataan, yaitu pertentangan antara negara dan sementara gerakan keagamaan Islam di berbagai negeri yang berpenduduk mayoritas muslim. Pemerintah Turki sampai hari ini masih melarang tarekat Bektashiyah, di Aljazair Front Penyelamatan Islam (Front Islamique du Salut, FIS) masih terlibat dalam terorisme urban dengan pasukan keamanan pemerintah, di Irak gerakan Syi’ah menjadi tumpuan kecurigaan pemerintah yang dipimpin kaum Sunni, seperti juga halnya di Malaysia dan Indonesia, karena dikhawatirkan akan membawakan pikiran ‘ekspor Revolusi Islam’ yang diandaikan tadinya menjadi kebijakan dasar mendiang Imam Khomeini. Di Syria, Mesir, Indonesia dan Malaysia ‘gerakan Islam ekstrim’ dilarang sama sekali, sementara di tempat lain dianggap moderat, di Saudi Arabia dan Sudan mereka justru dipersekusi.
Dengan melihat kenyataan-kenyataan di atas, tentu timbul pertanyaan, masih relevankah atau tidak gagasan mengenai wawasan kebangsaan? Bukankah kecenderungan dunia menunjukkan semakin luruhnya garis-garis batas antar negara? Di Eropa Barat orang sudah tidak lagi berpikir dalam konteks nasional, melainkan dalam konteks kontinental. Munculnya kekuatan ekonomi global baru yang berupa kaum industrialis dan pengusaha Cina Perantauan (hoakiauw) di kawasan timur benua Asia, jelas menunjuk kepada proses ‘transnasionalisasi’ ekonomi kawasan Asia-Pasifik dalam dasawarsa mendatang. Dengan tidak usah membenarkan pembagian ‘wilayah kebangkitan’ Dunia Ketiga menjadi peradaban Sinik (Cina, Korea, Jepang, Vietnam), Indik di Asia Selatan, Turki-Persia-Arab, Afrika Hitam dan Amerika Latin, seperti dilakukan mendiang Soedjatmoko, kita masih tetap dapat melihat semakin rapuhnya wawasan kebangsaan sebagai tali pengikat penduduk tiap kawasan. Karenanya, pertanyaan mengenai relevansi wawasan kebangsaan benar-benar harus dipikirkan secara mendalam dan diterima secara jujur.
Memang harus diakui, bahwa komunalisme sebagai bentuk hubungan internal dan internasional sesuatu bangsa masih menjadi masalah utama yang dihadapi umat manusia dewasa ini. Kemarahan sebagian orang Jerman pada para ‘buruh tamu’ (Turki dan Maroko) berasal usul pada kebijakan naturalisasi bangsa Jerman pada kemurnian ras. Demikian juga, penolakan orang Jepang kepada ‘gaijin’ (orang asing) sebagai sesama warga masyarakat, berakibat diskriminasi kepada penduduk negeri itu yang berasal dari Korea semasa Perang Dunia II.
Sempitnya pandangan keagamaan juga dapat berakibat konflik antar agama, seperti terbukti di mana-mana di seluruh dunia Kesempitan itu adakalanya tercermin dalam pertikaian mengenai cara-cara dan tempat peribadatan, tetapi lebih sering karena perbedaan dalam cara memandang dan memperlakukan kehidupan. Pertentangan antara mereka yang menginginkan pemberlakuan ajaran agama secara penuh dalam kehidupan bernegara, dengan konsekuensi terjadinya diskriminasi terhadap kaum minoritas, umpamanya, masih banyak mewarnai perkembangan kehidupan di negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Desakan kepada proses Islamisasi, Budhanisasi dan Hindunisasi terjadi di sementara negeri. Dengan konsekuensi munculnya tuduhan ‘dipengaruhi orang Barat dan tuduhan lain sejenisnya bagi mereka yang menolak gagasan hegemonisme agama seperti itu.
Namun, kenyataan seperti dipaparkan di atas justru menunjukkan relevansi wawasan kebangsaan sebagai pembentuk pandangan yang sehat dan wajar dalam jangka panjang. Terlepas dari komunalisme, diskriminasi dan perlakuan tidak adil kepada ‘orang lain’ yang sebangsa dan setanah air, jelas pula bahwa masalahnya masih harus dipecahkan dalam lingkup masing-masing bangsa, dengan peranan lembaga internasional hanya sebagai penunjang belaka. Kekuasaan efektif atas warga negara masih harus dilakukan oleh alat pemerintahan dalam lingkup negara bangsa. Dengan demikian, justru diperlukan wawasan kebangsaan guna memberikan isi kepada kerangka penanganan masalah itu secara mendasar.
Wawasan Kebangsaan-lah yang akan menyadarkan semua warga negara akan pentingnya arti hidup bersama atas dasar persamaan status dan hak di muka undang-undang, yang akan menjamin ketentraman hidup seluruh bangsa. Sedangkan persamaan status dan hak itu adalah pangkal dari kedaulatan hukum, padahal itulah yang diperlukan pihak mayoritas untuk menegakkan persamaan status dan hak di lingkungan intern masing-masing golongan, termasuk kaum mayoritas etnis atau agama itu sendiri. Wawasan kebangsaan itu pulalah yang akan mampu mendorong penggunaan semua sumber daya yang tersedia untuk kepentingan bersama. Dan wawasan kebangsaan itu pulalah yang akan mampu mendudukkan suatu bangsa pada kedudukan sejajar dengan bangsa-bangsa lain, guna kepentingan memanfaatkan semua peluang internasional bagi kemajuan bangsa itu sendiri. Demikian pula, dengan wawasan kebangsaan suatu bangsa dapat memecahkan masalah-masalah berat yang dihadapinya, seperti masalah lingkungan hidup, tertinggalnya teknologi dan ilmu pengetahuan, karena hal-hal seperti itu pada dasarnya haruslah dikerjakan dalam kerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
Penumbuhan kesadaran akan perlunya wawasan kebangsaan ternyata menyentuh hakikat inti dari kehidupan umat manusia, yaitu menyangkut kepentingan yang saling berbeda secara rasional. Artinya, proses membentuk kehidupan bersama memerlukan kesediaan untuk saling bertolak-angsur, dan saling memberi dan menerima. Kesediaan untuk berkorban bagi kepentingan sesama warga sebangsa, karena pada hakikatnya juga akan berarti menjaga kepentingan masing-masing juga tentunya adalah kesadaran yang hanya akan mungkin tumbuh dalam sebuah wawasan kebangsaan yang cukup kuat. Kesadaran seperti itu akan tumbuh, apabila dapat dikembangkan sikap memahami bahwa kemampuan mempertahankan unikum suatu golongan hanya dapat dikembangkan dalam kebersamaan dengan golongan-golongan lain. Dalam memelihara spektrum variasi perbedaan barulah dapat dilihat unikum masing-masing. Bukankah ini sesuatu yang penuh keindahan?