Membaca Sejarah Lama (10)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Dr Mattulada dari Makasar telah menggambarkan adat siri orang Bugis dalam sebuah karya tulisnya. Di situ tergambar betapa kebutuhan berpegang pada kehormatan (siri) merupakan tulang punggung sistem etika orang Bugis. Apabila kehormatan mereka dilanggar, tidak segan-segan mereka menggunakan kekerasan, untuk mempertahankan diri dengan badik (pisau). dan jadilah sebuah pemeo “orang Bugis senang dengan kekerasan”, seperti halnya dengan orang Madura yang mempraktikkan carok.
Sebenarnya, cara memandang seperti ini sangatlah dangkal. Sebab, adat siri memiliki kekayaan budaya yang sangat besar. Ini terbukti dari keragaman budaya yang telah berkembang, seperti terlihat dari tari-tarian mereka, aneka pakaian, dan hasil kerajinan yang sangat mengagumkan. Demikian juga sistem pertanian, serta perahu-perahu pinisi mereka yang sanggup mengarungi lautan hingga berbagai kawasan di Asia.
Pada kenyataan-kenyataan di atas, dapat ditambahkan sebuah kenyataan lain. Ahli sejarah, Dr Taufik Abdullah, membagi hubungan Islam dengan kekuasaan kepada empat tipe. Pertama, hubungan Islam dan kekuasaan di Aceh, dengan munculnya kerajaan-kerajaan kuat Islam dari kampung-kampung muslim, seperti di Peureulak dan Samudera Pasai. Dalam pola ini, pusat-pusat kerajaan dari kampung-kampung menggunakan hukum Islam sebagai acuan (adat bak kata meureuhum), karena adat ditundukkan oleh syari’at Islam. Tentu, ini dalam konteks tidak adanya penafsiran hukum itu sendiri dengan hanya menyandarkan diri pada literatur fiqh yang ada.
***
Hubungan kedua terjadi di Minangkabau dalam hal kekuatan adat dan syara’ sama-sama berimbang. Masyarakat Minangkabau yang bersendikan adat (masyarakat matriarchat) jelas-jelas bertentangan dengan sistem waris Islam yang patriarchat. Pepatah “adat bersendi syara’, dan syara’ bersendikan kitabullah”, ternyata hanya menjadi pemeo yang tidak terkait dengan kehidupan masyarakat. Perang Paderi, tahun 1822-1838, antara kaum adat dan syara’ hanya dapat dihentikan oleh kekuatan penjajah Belanda, seperti tergambar dalam kemenangan Jenderal Kok di Bukit Tinggi.
Di Jawa, hubungan yang ada bersifat multi-keratonik, terjadi keragaman pola kehidupan antara negara (keraton-kerajaan), dan pesantren serta hal-hal sejenis di luar keraton. Selama pihak kedua ini secara nominal mengakui keraton-kerajaan sebagai pusat kekuatan, mereka dapat saja melanjutkan kegiatan-kegiatan yang sekarang disebut Ornop (organisasi non-pemerintah) dalam pola Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hal itu terjadi karena mereka yang mempraktikkana ajaran Islam (kaum santri) mempunyai hak yang sama di mata pemegang kekuasaan dengan kaum kejawen yang kurang mempraktikkan hukum Islam. Selama mereka mengikuti tahun baru Jawa (Saka)–yang bermula dari bulan Muharram (seperti tahun Hijriyyah), serta lahir-kawin-di-kuburkan dalam tata cara agama Islam, juga semangat raja dua kali bersembahyang di Masjid, maka semua orang haknya dianggap sama dan dihormati sebagai warga negara yang sah.
Model terakhir–menurut tilikan Dr Taufik Abdullah, adalah model Gowa, yang sekarang dipraktikkan oleh para Sultan di negara-negara bagian semenanjung Malaysia. Para pembawa agama Islam di Gowa, asalnya mereka berdagang dan lalu ada yang menjadi keluarga kerajaan tersebut. Maka, dengan sendirinya terjadi asimilasi antara adat-adat pra-Islam dan Islam secara damai. Pola asimilasi antara adat dan syara’ menemukan bentuk akhirnya dalam adat siri di atas. Kaum pelaut Bugis dengan tenang berlayar berbulan-bulan di laut, karena tahu bahwa adat akan melindungi keluarga mereka di rumah. Sebaliknya, pertemuan dengan negara-negara lain di kawasan ini, menginternasionalisasikan mereka tanpa harus kehilangan identitas orang Bugis. Inilah yang membuat mereka dapat memimpin wilayah Indonesia bagian Timur yang terdiri dari berbagai suku bangsa.
***
Dengan adanya otonomisasi berbagai daerah dan propinsi di negeri kita, kepemimpinan orang Bugis atas wilayah Indonesia bagian Timur menjadi terancam. Minimal, secara geografis orang Bugis sangat sulit memainkan peranan perantara dengan Jakarta seperti di masa lampau. Hubungan langsung secara budaya dan politik antara pusat dan daerah membuat kebutuhan pada peranan orang Bugis menjadi sangat berkurang. Apalagi, kalau hubungan pelayaran dan penerbangan di Indonesia menjadi sangat beragam. Orang dapat saja terbang dari Jakarta atau wilayah lain di Indonesia bagian Barat melalui persinggahan di Nusa Tenggara Barat atau Banjarmasin. Masyarakat Bugis dengan kawasannya sendiri akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga: keunikan.
Hilangnya keunikan geografis itu harus dapat diganti oleh sebuah keunikan lain (yaitu, keunikan kultural). Dengan mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM)–yang sesedikit mungkin mengambil dari luar, masyarakat Bugis dapat menjadi contoh yang sangat berharga bagi sistem-sistem budaya lain di wilayah Indonesia bagian Timur. Dengan melakukan kombinasi yang tepat, antara capaian kemahiran (skill) dari Barat dan sistem etika (moralitas) yang dibawakan adat siri, maka masyarakat Bugis dapat mengembangkan keunikan budayanya sendiri. Ini akan menjadi kombinasi kultural yangyang sangat dibutuhkan oleh seluruh wilayah kehidupan bangsa Indonesia. Apalagi kalau mereka tinggal di luar negeri untuk waktu yang cukup lama. Karena itu, diperlukan penggalian lebih jauh serta publikasi atas adat siri (dalam masyarakat Bugis). Ini juga sekaligus untuk menangkal adanya pendangkalan agama Islam yang terjadi saat ini, ketika mereka yang hanya bersandar pada teks-teks dasar (Al-Qur’an dan Hadits) takut kehilangan identitas mereka dan melupakan tradisi dan adat yang telah berkembang.
Sanggupkah masyarakat Bugis melaksanakan hal di atas?