Membaca Sejarah Lama (14)

Sumber Foto: https://www.cnnindonesia.com/edukasi/20230313113647-569-924284/sejarah-kerajaan-demak-dan-peninggalan-masa-pemerintahan-raden-patah

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Tanah pekuburan Troloyo berada tak jauh dari tanah pekuburan Trowulan, dekat Brangkal (Mojokerto). Pekuburan tanah Trowulan menyimpan kuburan Brawijaya V, permaisurinya, Kencana Wungu, dan istri selirnya, putri Cempa. Ternyata, menurut cerita tutur, Prabu Brawijaya V itu adalah seorang muslim karena istri selirnya yang berkebangsaan China dan berasal dari Cambodia itu adalah seorang muslim pula. Dia adalah ibu dari Raden Fattah (Tan Eng Hoat), yang belakangan mendirikan kesultanan Demak bersama dengan Maulana Ishak at-Tabarqi.

Sebaliknya, tanah pekuburan Troloyo–yang hanya satu kilometer jauhnya, juga menyimpan kuburan Syaikh Abdul Qohar (Maling Cluring), Kiai Usman Ngudung, Tan Kim Han (menantu puteri Cempa) yang juga beragama Islam dan memiliki nama Arab Abdul Qodir Jaelani, dan masih banyak lagi pejuang-pejuang muslim lainnya. Mereka gugur di tempat itu ketika menahan serbuan seorang Adipati Majapahit di Kediri, Kusuma Wardani, yang juga anak Brawijaya V. Adipati yang beragama Hindu-Budha ini, adalah orang yang tidak rela jika istana Majapahit dikuasai orang Islam, karenanya ia berusaha merebut tahta dari tangan Brawijaya V dengan kekerasan. Adipati inilah yang kemudian dikenal dengan nama Prabu Brawijaya VI, raja terakhir Majapahit. Sedangkan Prabu Brawijaya V meninggalkan istana dan bertapa di Gunung Lawu, sekarang terkenal dengan nama Sunan Lawu.

Data sejarah yang dikemukakan cerita tutur ini, kemudian diperkuat dengan data sejarah lain, yaitu prasasti yang ditemukan Dr Habib dari IKIP Malang. Menurut prasasti ini, pada tahun sangkala sirna ilang kertaningbumi (tahun 1400 Saka, menurut Empu Prapanca), telah diberikannya gelar Romo Bayan Ampel oleh Brawijaya V atas meninggalnya seseorang dari desa Ampel di Surabaya. Ini berarti gelar yang diberikan pada Sunan Ampel (salah seorang Wali Sembilan) oleh seorang muslim pula. Inilah yang mendukung spekulasi penulis, bahwa beliau masuk agama Islam, minimal pada akhir hayatnya.

***

Cerita tutur di atas, yang dilengkapi dengan data prasasti tentang Romo Bayan Ampel itu, menunjuk dengan jelas pergulatan orang-orang beragama dalam istana Majapahit pada masa akhir kerajaan tersebut. Yang belum jelas bagi penulis, siapakah adik Sunan Ampel, yang dikatakan menjadi besan Brawijaya V. Pergulatan ini berlangsung sengit, diakhiri dengan peristiwa Troloyo dan disusul dengan penyerbuan Majapahit oleh pasukan rakyat para wali sembilan (wali songo) yang dipimpin oleh Sayyid Abdurrahman dari Ngroto (dulu Demak dan sekarang Grobogan/Purwodadi), terkenal dengan sebutan Ki Ageng Ganjur (sejenis alat pemukul di bawah gong dalam urutan perangkat gamelan wayang). Rupanya ganjur (genjur) ini digunakan panglima tersebut sebagai alat komunikasi dengan 350 ribu pasukan rakyatnya, karena waktu itu belum ada HT. Karena Ki Ageng Ganjur adalah pembangun jembatan bambu di daerahnya, dapatlah diduga ia diangkat menjadi panglima karena penguasaan tekniknya. Penyerbuan Kusuma Wardani atas Majapahit di Troloyo itu telah mengakibatkan hancurnya–untuk sementara waktu, kekuatan militer kaum muslimin. Tetapi, itu harus dibangun mahal oleh sejarah bangsa kita, karena pasukan para wali sembilan yang dipimpin Ki Ageng Ganjur itu lalu menghancurkan secara total keraton Majapahit, sebagai gantinya didirikanlah kesultanan Demak, dengan keturunan Majapahit, yaitu Raden Fattah yang menjadi Sultan pertamanya. Inilah hasil pergulatan militer yang penuh dengan kekerasan, seperti halnya yang pernah dilancarkan Kusuma Wardani.

Perbedaan strategi dari masa Sunan Ampel yang dijalankan melalui jalan damai itu, akhirnya diteruskan dengan pergulatan menggunakan kekerasan di zaman Sunan Kalijaga. Bahwa Sunan Kalijaga–kalau perlu, bersedia menggunakan kekerasan, dapat dilihat dalam kasus Syaikh Siti Jenar. Syaikh kita ini telah mengajarkan wihdat al-wujud/wihdat asy-syuhud (manunggaling kawulo lan gusti) kepada orang awam, yang belum melaksanakan hukum-hukum syari’at, seperti shalat. Jadi, bukan berarti didasarkan atas penolakan Sunan Kalijaga terhadap aliran tasawuf tersebut, sebagaimana diduga Dr Alwi Shihab dalam disertasi doktornya di muka Universitas ‘Ain Syam di Kairo.

Dari penuturan di atas, jelaslah membaca sejarah masa lampau kita tidaklah mudah. Di samping data-data sejarah tertulis harus juga digunakan data-data yang diambilkan dari cerita-cerita tutur. Ini berarti kemampuan menggunakan bahasa lokal, di samping kemampuan menggali cerita-cerita tutur yang ada. Itu pun belum menjamin autentisitas data-data tersebut, hingga spekulasi kesejarahan harus dilakukan.

Dengan demikan, faktor kredibilitas dan kejujuran sehari-hari sejarawan yang bersangkutan sangatlah menentukan. Sejarawan yang jujur dalam memberikan presentasi tertulis tentulah memiliki kredibilitas yang tinggi. Sedangkan sejarawan yang tidak demikian, sebaiknya, tidak melakukan spekulasi apa pun. Dalam hal ini, sejarawan yang secara resmi menjadi anggota partai politik, apalagi pengurusnya, sebaiknya tidak melakukan spekulasi apa pun, karena bagaimanapun juga, kredibilitas semua partai politik di negeri ini belumlah tinggi, dan bahkan sering tidak dipercaya orang.

Jelaslah, dari kasus Majapahit di atas, kerja membuat rekonstruksi sejarah memang bukan sesuatu yang mudah dilakukan. Ia terkait dengan kecakapan dalam menggunakan data-data secara tertulis maupun kemampuan menimbang cerita-cerita tutur. Di samping itu, ia memerlukan kesadaran etis yang tinggi dan kejujuran mutlak dari sang sejarawan. Sejarah jualah yang akan menentukan apakah kerja yang dilakukan mempunyai nilai atau tidak, dan bukannya kekuasaan.