Membaca Sejarah Lama (15)
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Penyerbuan para wali sembilan (wali songo) atas ibu kota Majapahit, adalah kejadian yang sangat menarik untuk diketahui. Karena banyak pelajaran yang dapat ditarik dari peristiwa tersebut. Ia bermula dari serbuan Kusuma Wardani yang memimpin Kadipaten Kediri, salah seorang putera Prabu Brawijaya V, atas prajurit muslim di Troloyo–sekitar satu kilometer dari Trowulan. Kusuma Wardani, menurut spekulasi penulis, marah atas proses Islamisasi keraton Majapahit. Karena kemarahan tersebut, ia memutuskan untuk menyerbu keraton itu dan berhasil mengusir Prabu Brawijaya V yang, selanjutnya, melarikan diri ke Gunung Lawu–sebelah barat Magetan sekarang, dan di sana dikenal dengan sebutan Sunan Lawu.
Sehabis menyerbu keraton Majapahit, pasukan-pasukan Kusuma Wardani menyerbu pertahanan kaum muslimin di Troloyo, dekat Trowulan. Dalam pertempuran sengit yang terjadi, berguguranlah Syaikh Abdul Qohar (Maling Cluring), Syaikh Usman Ngudung, dan Tan Kim Han, salah seorang duta besar China yang beragama Islam dan menggunakan nama Arab Syaikh Abdul Qadir Jaelani. Di tempat itulah dikuburkan orang-orang Hindu-Budha, setelah kerajaan Majapahit hancur total.
Pelajaran berharga dari serangan Kusuma Wardani itu adalah pentingnya arti kerukunan umat beragama antara Islam dan Hindu-Budha yang terganggu semenjak Syaikh Jamaludin Husein berpindah dari Bojonegoro ke Majapahit. Di tempat baru itu, ia membeli tanah-tanah yang dirampas dari tangan para penunggak hutang, seperti yang dilakukan BPPN kita sekarang, yang merampas perusahaan-perusahaan milik para konglomerat yang tidak mau mengembalikan kredit mereka ke berbagai Bank. Dan, Sayyid Jamaludin Husein mengembalikan tanah-tanah itu kepada para pemilik jika mereka memeluk agama Islam.
***
Gugurnya para pemimpin tentara Islam di Troloyo itu, diikuti oleh penguasaan Kusuma Wardani atas keraton Majapahit yang lebih mempertahankan agama Hindu-Budha, hingga mengakibatkan reaksi tajam. Para wali sembilan, yang sementara itu telah berhasil mendirikan kesultanan Demak, memutuskan untuk menggunakan kekerasan dan membentuk pasukan rakyat, yang berjumlah sekitar 350 ribu jiwa. Untuk memimpin pasukan itu, mereka menunjuk Sayyid Abdurrahman dari Ngroto, di sebelah timur Semarang (dahulu termasuk Kabupaten Demak, sekarang wilayah Grobogan–Purwodadi). Panglima ini, bergelar Ki Ageng Ganjur, alat musik pukulan di bawah gong dalam perangkat gamelan wayang, sebagai alat komunikasi dengan pasukan-pasukannya.
Sayyid Abdurrahman Ngroto dipilih sebagai panglima, karena ketrampilan teknologisnya, tepat seperti lulusan ATKAD, semisal Try Sutrisno. Di lakukannya penggunaan alat musik pukul itu sebagai alat komunikasi dengan pasukannya, sebab saat itu belum ada HT dan sejenisnya. Juga, ia dipilih menjadi panglima pasukan-pasukan penyerbu Majapahit, karena ia harus menyeberangkan kesemua prajurit rakyat sebesar itu dengan melintasi dua buah sungai, Bengawan Solo dan Brantas. Kisah penyeberangan itu sendiri, menurut cerita tutur, sangat menarik untuk didengar karena di dalamnya tersembur kegigihan anak manusia melawan rintangan alam yang dihadapi mereka.
Kisah penyeberangan menurut cerita tutur itu, membawakan pelajaran kedua bagi kejadian sejarah, yaitu bagaimana manusia harus mengatasi rintangan alam yang sangat berat melalui penerapan teknologi tepat dan pengorganisasian diri yang sepadan dengan kebutuhan. Alam harus ditundukkan dengan teknologi dan pengorganisasian, dan prinsip ini harus dipegang teguh oleh anak manusia di segala zaman. Keberhasilan para wali sembilan dan panglima mereka itu–dalam menempuh cara tersebut untuk mewujudkan keinginan politik mereka, menunjukkan derajat kemasyarakatan yang tinggi yang ada waktu itu.
***
Keputusan untuk membumihanguskan keraton Majapahit, setelah pasukan-pasukan Islam mengalahkan Prabu Brawijaya VI (posisi dan gelar yang digunakan Adipati Kediri setelah mengalahkan tentara Islam di Troloyo), merupakan pelajaran penting ketiga yang diambil dari rangkaian peristiwa di atas. Pelajaran itu adalah; jika kau kalahkan dan kuasai lawan, hancurkan keraton mereka. Ini adalah kerugian sangat besar bagi sejarah, sebab catatan-catatan sejarah menjadi musnah dan kita kehilangan data-data tertulis darinya.
Kesultanan Demak telah melakukan hal itu, dan kita banyak kehilangan data-data sejarah yang tertulis, kehilangan yang harus dikompensasikan oleh cerita-cerita tutur yang terkadang sangat meragukan ke-autentikannya. Di samping itu, menurut Dr Sudjatmoko, letak geografis kerajaan-kerajaan Indonesia terdapat di daerah katulistiwa/tropis-juga ikut membuat kerusakan-kerusakan besar bagi begitu banyak peninggalan sejarah kita. Menurutnya, letak geogafis kita, seperti juga halnya letak geografis budaya Afrika maupun budaya Inka dan Maya di Amerika Tengah, bersifat a-historis.
Pelajaran penting lain yang dapat ditarik dari peristiwa itu adalah pentingnya arti toleransi antar-agama, bagi bangsa-bangsa atau suku-suku bangsa yang ada di kawasan ini. Pelajaran ini dapat dimengerti dengan tepat oleh para pendiri
Republik kita, dengan kearifan untuk menghapuskan Piagam Jakarta di pembukaan UUD 1945. Sebuah sikap yang tidak bertentangan dengan fiqh (hukum) Islam, karena kalau keputusan penghapusan itu yang diambil oleh para pemimpin Islam yang tergabung dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dari berbagai aliran, ternyata tidak ditentang oleh para pejuang yang tegar dari masa itu, seperti KH M. Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jombang dan KH M. Bisri Sansuri, Denanyar, Jombang.