Membaca Sejarah Lama (21)

Sumber foto: https://en.wikipedia.org/wiki/Medan

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Penulis pergi ke Medan untuk melantik Pimpinan Pengurus Wilayah sebuah partai politik, dengan ditemani oleh beberapa orang. Dari sana, setelah acara pelantikan di siang harinya dan dialog antaretnis-agama-budaya di malam harinya, penulis dan kawan-kawan melanjutkan perjalanan ke kota Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan) melalui Rantau Prapat di Kabupaten Labuhan Batu, setelah sarapan pagi di rumah Bupati. Lama perjalanan diperkirakan memakan waktu sekitar 13.5 jam melalui darat, berangkat dari Medan pukul 22.30 WIB malam dan sampai di tujuan pukul 11.30 WIB siang.

Dari Tapanuli Selatan, penulis melanjutkan perjalanan ke Pesantren al-Musthofawiyah, Purba Baru, di Kabupaten Baru, Mandailing Natal. Dikatakan Kabupaten baru, karena sang Bupati belum mempunyai rumah dinas sendiri, melainkan tinggal di Mess Pemerintah Daerah, di ibu kota Kabupaten yang baru tersebut. Nama ibu kota ini sangat menarik, yaitu Penyabungan. Kota Kecamatan yang akhirnya menjadi ibu kota Kabupaten dan nantinya akan jadi kota yang ramai, karena menjadi pusat kegiatan Kabupaten yang baru tersebut.

Letak Penyabungan sekitar 90 menit dengan berkendaraan mobil dari Padang Sidempuan, dan juga sekitar 90 menit dari perbatasan Sumatra Barat, menunjukkan arti strategis kota tersebut. Mengapa kota itu yang terpilih menjadi ibu kota Kabupaten baru Mandailing Natal tersebut? Kita belum tahu jawaban persisnya, tapi mungkin masalah jarak dan adanya sebuah pesantren seperti Purba Baru, yang letaknya hampir 1/4 jam perjalanan dari ibu kota Kabupaten tersebut.

*****

Kata “Penyabungan” dapat berarti tempat pengadu ayam jago, seperti yang terjadi pada beberapa kawasan lain di negeri kita. Tetapi di Kabupaten baru ini, kata tersebut mempunyai arti tempat menyabung nyawa dan mengadu hidup untuk mempertahankan keyakinan agama. Di tempat itulah, di masa lampau, penyebaran agama Kristen di tanah Batak dihadapi dengan bersenjata oleh kaum muslimin, yang terdiri dari orang-orang Mandailing. Maka, terjadilah pertempuran fisik yang memakan korban sangat banyak pada kedua belah pihak, yang untungnya sekarang sudah tidak diingat lagi oleh kedua belah pihak.

Ternyata agama Kristen dan Islam dapat hidup berlapis-lapis di kawasan tersebut. Di utara Tapanuli Selatan hampir seluruhnya beragama Kristen, Padang Sidempuan ke selatan kebanyakan penduduknya beragama Islam. Tetapi di tengah-tengah antara Padang Sidempuan dan Penyabungan, ada komunitas Kristen yang diduga penulis adalah sisa-sisa mereka yang bertempur di Penyabungan. Di kawasan itulah sekarang kaum muslimin dan Kristen Protestan hidup berdampingan secara damai, dan berhubungan secara ekstensif dalam hampir semua bidang kehidupan.

Sikap saling pengertian itu sekarang tercapai, mungkin karena persamaan bahasa yang dipergunakan dan persamaan keturunan. Mereka sepenuhnya adalah warga raja-raja tradisional yang lama, yang masih berkuasa menentukan nasib warga tersebut. Itulah sebabnya, orang-orang dari berbagai marga di kawasan tersebut, melarikan diri ke kota-kota besar di negeri kita, seperti orang-orang marga Nasution dan Batubara yang bisa dijumpai di hampir seluruh kota besar di Indonesia.

*****

Lain halnya, kalau dibandingkan kawasan tersebut dengan nama kota “Medan” di Sumatra Utara. Kata “Medan” menurut salah seorang anggota DPR RI, Aris Siagian, adalah tempat berlaga dan mengadu kehidupan. Hanya saja, ia lebih merupakan tempat mengadu nasib bagi sejumlah kaum etnis yang berlomba-lomba mencapai kesenangan hidup. Orang China, orang Keling, dan orang Melayu beradu secara ekonomis. Namun, ia juga merupakan tempat beradu budaya antara manusia dari berbagai daerah, seperti orang-orang Batak, Melayu, dan Jawa. Terkenal sekali istilah Puja Kesuma, yang berarti Putera Jawa Kelahiran Sumatra. Mereka adalah keturunan pekerja-pekerja perkebunan yang didatangkan pihak Belanda. Sejak pertengahan abad ke-19 Masehi hingga sepertiga abad yang lalu. Merekalah yang kemudian terkenal dengan sebutan Jadel, yang berarti keturunan Jawa dan Deli.

Sebagai tempat berlaganya berbagai faktor tadi, dengan sendirinya adat kebiasaan di Medan juga berbeda dari tempat-tempat lain di negeri-negeri kita. Di Medan, orang harus bersuara lantang dan bersikap keras untuk diperhatikan orang lain, dengan sendirinya merupakan anti-thesa dari budaya Jawa, yang justru mengutamakan sikap diam. Itulah sebabnya, lahir istilah Puja Kesuma, yang menggambarkan orang berbahasa Jawa atau berasal dari etnis Jawa, namun memiliki kelantangan dan sikap menantang (forcefull) orang Batak. Pengertian inilah yang ditekankan Alm. Adam Malik dengan istilah “Buaya Deli”, bukannya sikap ke-buaya-an yang umumnya dipakai di kawasan-kawasan lain negeri kita.

Ini pula yang dialami penulis dalam sebuah dialog dengan berbagai pihak di kota Medan. Seorang mahasiswa mengusulkan agar semua perkebunan negara di kembalikan saja pada rakyat, dalam proses swastanisasi. Dengan tenang penulis menjawab, bahwa gagasan itu berasal dari paham small is beautifull yang dibawakan Schumacher dalam salah satu bukunya. Tentunya, gagasan idealistik ini untuk memperhitungkan keharusan bersaing bagi ekspor pertanian kita yang hanya dapat dikelola oleh perkebunan-perkebunan besar yang berada di lingkungan perusahaan-perusahaannya (BUMN). Bahwa selama ini terjadi korupsi dan penyelewengan oleh manajemen PTP-PTP, tidak berarti penghapusan mereka secara menyeluruh dari kehidupan ekonomi kita. Kita harus melakukan efisiensi, menghilangkan korupsi, dan melarang KKN di lingkungan PTP-PTP, namun tidak membubarkan mereka.

*****

Jelas dari perbandingan di atas, bahwa Medan sebagai tempat mengadu nasib secara budaya dan ekonomi, memiliki latar belakang lain daripada Penyabungan, ibu kota Kabupaten Mandailing Natal yang menjadi tempat pertempuran agama (Islam dan Kristen Protestan) di masa lampau. Pemecahan berbentuk kerukunan antarumat beragama di Penyabungan, yang antara lain diakibatkan oleh persamaan bahasa dan keluarga patut dicontoh oleh kelompok-kelompok berbagai agama, terutama di Ambon dan Poso. Sebaliknya, di Medan kita lihat beradunya kekuatan-kekuatan budaya dan ekonomi yang saling bertubrukan, yang bagaimanapun juga haruslah dijaga jangan sampai meledak dengan akibat-akibatnya yang negatif.