Membangun Kebersamaan Hidup Beragama

Sumber Foto: https://nasional.kompas.com/read/2017/09/07/07570651/napak-tilas-gus-dur-dari-nu-menuju-istana?page=all

Oleh: K.H.Abdurrahman Wahid

KAMIS, 17 Oktober 1996, di Hotel Satelit, Surabaya, diadakan pertemuan antar umat beragama untuk mencari pemecahan insiden Situbondo. Prakarsa pertemuan bermula dari pembicaraan telepon antara Gus Dur dengan Pendeta Prof. Wismoady.

Hadir tokoh-tokoh Kristen-Katolik dan agama lain sekitar 200 orang. Antara lain Uskup Gereja Surabaya, Ketua Ikatan Sarjana Katolik, Pemuda Katolik, Ketua Makin (Majelis Konghucu Indonesia) Bingky, Ketua BAMAG Jatim Prawiro Maroto, Dr. Octavianus dari Batu Malang, Romo Hariyanto, Ketua PGIW Sihpinardi, Prof. Wismoadi dari GKJW.

Dari tokoh-tokoh NU ada KH Amanullah pengasuh Pondok Pesantren Tambakberas Jombang, KH Mutawakkil Alallah pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Drs. H. Fuad Anwar Sekretaris PWNUK Jatim, Drs. H Choirul Anam Ketua GP Ansor Jatim, HM Farhan SAA Wakil Ketua PW GP Ansor Jatim, dan H Suharbillah SH LT, Ketua PW IPS-NU Pagar Nusa.

Acaranya mendengarkan ceramah Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid dan Prof. Wismuady dari Gereja Kristen Jawi Wetan. Lalu dilajutkan tanya-jawab antara peserta dan penceramah.

Acara berjalan khidmat dan kekeluargaan. Nampaknya mereka sangat puas mengikuti penyampaian Gus Dur.

Berikut ini kami sajikan pidato Gus Dur sepenuhnya.

Ini adalah sebuah pertemuan yang unik yang bermula dari percakapan antara Bapak Wismoady Wahono dengan saya pada Senin, 14 Oktober 1996. Beliau menyatakan concern dari pihak saudara-saudara Gereja Kristen Jawi Wetan terhadap perkembangan susulan. Bukan hanya kejadian di Situbondo. Yaitu, munculnya berbagai isu santer yang membuat masyarakat resah. Terutama masyarakat dan saudara-saudara kita yang beragama non Islam.

Saya katakan, baik kalau begitu. Kita pecahkan dengan cara yang praktis saja. Bagaimana kalau kita berkumpul bersama mencoba memahami keadaan yang terjadi dan kemudian mencoba merumuskan — katakanlah — sikap bersama untuk disampaikan kepada umat agar supaya umat menjadi tenang. Tentu ini bukan satu-satunya obat. Karena obatnya bukan terletak di kita, tapi di pihak-pihak lain.

Tetapi paling tidak, ini menciptakan kondisi agar supaya dapat dilakukan langkah-langkah pengembangan kehidupan beragama yang lebih baik di Jatim. Pak Wismo lalu menghubungi Ketua Forum Komunikasi Kristiani Surabaya, dan langsung bersedia menyelenggarakan pertemuan ini.

Kita sudah sama mengetahui bahwa ada sebuah tragedi, sebuah musibah yang sangat besar terjadi. Ini mencoreng muka kita, khususnya masyarakat Jatim maupun masyarakat kita secara mumum. Tetapi yang paling terkena corengan itu adalah umat beragama.

Saya sendiri, waktu terjadi peristiwa Situbondo, tidak berada di tanah air. Sedang berada di Vatikan, Roma. Pada hari Kamis — waktu Italia pagi hari, di sini sudah sore — adalah sidang terakhir International Meeting On People and Relegion, pertemuan internasional Agama dan Rakyat atau Bangsa-bangsa. Diselenggarakan oleh Perhimpunan Santo Agideo di Roma.

Sore hari kami melakukan prosesi arak-arakan setelah berdoa di masing-masing tempat. Setiap Agama dan denominasi dari masing-masing agama menempati tempat sendiri-sendiri untuk berdoa dengan cara masing-masing. Kemudian sama-sama menuju ke Yassa Santa Maria untuk berdoa bersama dan menanda tangani appeal perdamaian yang akhirnya dilambangkan dalam bentuk menyalakan lilin perdamaian.

Di situ yang hadir sangat impresif bagi saya. Itu karena saya orang kampung. Bisa ketemu Kardinal itu kan sudah satu hal yang luar biasa. Ternyata bukan hanya Kardinal, tapi ada Patriac dari Gereja Coptic di Mesir, pimpinan Gereja Kaldayan (orang Arab bilang Kaldaniyah) di Irak yaitu Kardinal Rafael Bidawi. Juga dari Gereja Assiriyan (Siriyaniyah).

Selain itu, para pimpinan Gereja Ortodoks Yunani, utusan Gereja Ortodoks Rusia, juga berbagai agama lain. Termasuk rombongan besar dari kalangan Islam. Di sana diwakili oleh, antara lain: Sekretaris Jenderal Liga Muslim Sedunia (Rabithatul Alam al-Islamy) di Makah yaitu Syaikh Abdullah bin Sholeh al-Ubaid. Kemudian Wakil Sekretaris Jenderal Organisasi Konperensi Islam. Juga Wakil Sekjen Kongres Islam sedunia (World Moslem Congres) di Karachi, utusan khusus dari Syeikh Al-Azhar dari Mesir, utusan khusus dari Raja Hasan dari Maroko.

Itu semua organisasi formal dalam jajaran organisasi International. Jadi sangat impressif, di tengah-tengahnya ada orang kampung. Saya tidak mewakili siapa-siapa. Saya tidak mau mewakili karena tidak punya mandat dari siapapun. Mereka mengundang saya sebagai pembicara saja. Kebetulan saya didudukkan dalam satu sesseon dengan orang yang paling saya hormati dalam pemikiran keagamaan yaitu Raphael David Rossen bekas Raphael Kepala Tel Afif. Dan juga dengan Uskup Martinelly Uskup Tripoli India, juga dengan seorang Pendeta dari Palestina yaitu Pendeta Elyas Syakur.

Itu semua merupakan pertemuan yang bisa memberi ilham bagi saya untuk mendorong dan menyalakan semangat lebih besar berjuang bagi kepentingan semua agama. Di sana juga berbicara — dalam pembukaan kegiatan itu — antara lain Presiden Uni Eropa, Presiden Italia, Direktur Jenderal Unesco, Direktur Jenderal Food An Agricultural Organization (FAO), Organisasi Pertanian dan pangan sedunia, juga Sekjen Amnesti Internasional, dan Sekjen Palang Merah Internasional.

Jadi pihak non agama pun diwakili secara lengkap. Belum lagi pada saat hari Kamis pagi, ada sesson terakhir di mana Kardinal Martini, yang disebut-sebut orang sebagai Menteri Luar Negeri Gereja Katolik di Vatikan, beliau adalah Uskup Agung di Milano berdebat seru dengan para pemimpin surat kabar sekuler termasuk para pemimpin redaksi yang atheis. Bagus sekali itu. Betul-betul sangat menggugah.

Dalam suasana yang demikian, terbuai impian akan kehangatan agama sebagai faktor yang sangat menentukan arah kehidupan manusia. Bahkan, dalam sidang saya sendiri di mana kami berbicara berlima mengenai Fundamentalisme dalam Agama. Dan saya kebagian berbicara tentang Fundamentalisme Islam yang sangat depressif. Akhirnya toh sesson sidang tersebut berakhir dengan nada-nada penuh harapan ketika kita melihat bahwa orang-orang yang dikatagorikan fondamentalis semacam tokoh-tokoh dari For Islamic Jisaloo (?) (FIS) dari Algeria Aljazair, dan tokoh-tokoh Ortodoks Ekstrem dan Yahudi semuanya ternyata juga dapat dikenali membawakan pikiran-pikiran konstruktif yang dapat dikembangkan lebih jauh untuk menggantikan tendensi negatif mereka.

Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya saya ketika tiba kembali di Indonesia dua hari kemudian, pada Sabtu sore membaca keterangan Pak Moerdiono dan membaca kronologi kejadian Situbondo di harian Republika.

Betapa terkejut dan gelisahnya saya karena saya baca semua reaksi adalah yang tidak bermoral bagi saya. Karena belum-belum sudah ribut mencari biang keladinya. Harus dihukum, harus dibegini-begitukan. Bukannya memikirkan yang menjadi korban dan bukannya memikirkan yang akan datang. Di mana para pemimpin agama — maaf saya agak keras di sini — atau diam karena ketakutan. Ini semua kebanyakan diam. Lha yang ngomong itu lalu tidak jelas, dalam fungsi sebagai agamawan atau sebagai orang intel. Karena bicaranya mencari kambing hitam dan sebagainya. Lakukan tindakan tegas, pihak ketiga, segala macam omongannya demikian. Yang menurut saya omongannya tidak mencerminkan semangat agama sama sekali.

Semalam-malaman saya merasakan kegelisahan itu. Akhirnya saya tidak kuat, pada pagi-pagi saya membuat siaran pers tanpa minta ijin Boss saya Rais Am dan Wakil Rais Am PBNU, tanpa konsultasi dengan teman-teman PBNU karena ini tanggungjawab pribadi. Saya membikin pernyataan bahwa saya turut merasa bertanggungjawab secara moral terhadap terjadinya kerusuhan-kerusuhan yang berakibat pengrusakan pembakaran dan meninggalnya beberapa korban. Ini hanya cetusan nurani sambil juga mencoba menегоbos, kebalauan sikap kita. Sebab, kita ini sudah centang perentang tidak karuan, sehingga tidak jelas mana yang pimpinan ABRI dan mana yang pimpinan Agama. Semua bicaranya sama. Jadi karena itu, saya coba untuk mengemukakan konstatasi sebab hakiki dari kerusuhan-kerusuhan semacam itu.

Alhamdulillah, begitu keluar pada hari Senin pagi, saya mendapat telepon dari Pak Wismoady Wahono. la teman lama saya, bapak-bapak belum tahu. Saya dan istri adalah teman kentelnya Pak Wismohady dan ibu baik sewaktu masih di Sukun Malang sampai Pak Wismoady pindah ke Jakarta di daerah Rawamangun dan kembali lagi ke Sukun, Malang. Saya mengajar selama tujuh tahun tiga bulan tiga hari kira-kira, di kursus pembinaan Pendeta di GKJW. Di sana saya menjelaskan apa itu Islam kepada mereka-mereka. Sehingga saya kenal banyak pendeta-pendeta GKJW Kita masih sehati dan seperasaan seperti dahulu, maka tak heran kalau pagi-pagi sudah menelepon dan menyampaikan trenyuhnya hati beliau dan prihatinnya terhadap kerisauan yang diderita oleh umat beliau.

Jadi dengan demikian ada sharing yang ternyata berlanjut terus sepanjang hari itu walaupun saya sendiri hari berikutnya Selasa saya berkeliling. Terus terang saya ini lagi meminta para pendekar, tukang kelahi supaya berkumpul di setiap tempat supaya saya temuai satu persatu tempat itu. Yang terakhir di Cirebon sebanyak 80 pendekar termasuk yang tidak mempan dibacok. Tujuannya cuma satu supaya tidak dipakai orang, dibayari untuk membikin macam-macam. Itu saja.

Kalau preman-preman di kota, saya tidak ada lagi harapan untuk bisa menahan. Tapi kalau para pendekar yang diikuti oleh masyarakat seharusnya bisa kita jaga jangan sampai ikut-ikutan. Karena saya rasa logika mendiktekan kepada saya sehabis kerusuhan agama di Situbondo mungkin akan dibikin di tempat lain. Ada kemungkinan kurusan-kerusuhan etnis dan rasial. Ini jauh lebih berat lagi kita menghadapi dan menanganinya. Kita harus melakukan antisipasi terhadap itu.

Tidak perlu mencari kambing hitam segala macam. Tapi kita harus siaga terhadap kemungkinan-kemungkinan seperti itu. Nah, keprihatinan ini ternyata dirasakan bersama pada sepanjang hari. Pada hari Selasa selama saya pergi ke daerah, di PBNU banyak yang berdatangan termasuk adik-adik PMKRI yang menyampaikan karangan bunga yang menyentuh hati sebagai cetusan rasa persaudaraan mereka.

Maka, melihat itu semua saya merasa bahwa hikmah terbesar apa yang terjadi di Situbondo — terlepas kerugian besar yang di derita — bukan saja kerugian materiil, harta benda dan juga bukan kerugian jiwa. Tetapi lebih-lebih kerugian moral, kerugian psikologis kita, karena rasa damai kita, rasa tenteram kita diusik secara total.

Ada semacam peringatan yang tajam bahwa bangsa kita dapat bermandi darah, hanya karena berbeda agama. Rasa ini kuat sekali. Kemungkinan-kemungkinan seperti itu tidak kecil karena melihat para perusak dan penyebab kematian dan mereka yang membuat kebakaran, itu semua sebenarnya adalah orang yang biasa-biasa saja. Yang damai sehari-harinya. Orang yang tidak memiliki agresivitas, kok tiba-tiba menjadi begitu ganas, begitu keras. Ini tentu menimbulkan tanda tanya ada apa dalam psike kita, dalam kejiwaan kita ini ada apa.

Bagi para pengamat kehidupan masyarakat tidak heran. Sebab ini sebagai akibat saja dalam bentuk lebih besar atau lebih kongkrit daripada berkembangnya sesuatu hal yang sudah lama saya sinyalir berulang-ulang dan dikemukakan para ahli ilmu sosial selama ini, oleh bahwa dalam kehidupan kita telah berkembang budaya kekerasan (culture of violent).

Melihat hal itu, saya sudah sejak lama, bertahun-tahun yang lalu belajar kepada Ibu Ida Bagus Gedong Oka di Santidase di dekat Karangasem Bali. Beliau memiliki sebuah Asrama di sana, saya belajar dari beliau tentang ajaran Gandi mengenai non violent, yaitu hidup tanpa kekerasan.

Saya belajar banyak dari Mahatma Gandhi dan saya menyatakan di sini bahwa saya penganut paham beliau dalam masalah non violent, paham tanpa kekerasan. Atau orang Arab bilang ‘Adamu Unf. Ternyata ini pandangan yang umum terdapat di kalangan para agamawan, pemikir-pemikir Islam, semacam Hasan Hanafi dari Cairo University.

Ketika di Roma, saya juga bertemu Nabil Abdul Fattah Kepala Desk Kemasyarakatan dan Kajian Strategis di Harian terbesar di Timur Tengah Al-Ahram. Semua berbicara dalam sidang-sidang mengenai pentingnya sikap non violence, sikap menolak kekerasan.

Ini bagi saya hikmahnya adalah apa yang terjadi di Situbondo — terlepas dari kerugian yang sangat besar secara psikologis, kerugian sangat besar dalam keruhanian kita yang terusik oleh kekerasan yang demikian mencemaskan karena orang sudah menganggap sepele rumah-rumah peribadatan dan merusak tempat-tempat itu. Sedangkan kita main hakim sendiri merusak tempat perjudian yang jelas jelek akibatnya ataupun merusak lokalisasi WTS, kita tidak memperkenankan tindakan-tindakan sepihak dalam bentuk perusakan. Apalagi, rumah-rumah peribadatan, Rumah Tuhan.

Jadi karena itu, kecemasan dan keprihatinan yang demikian besar, menurut saya membawa sebuah hikmah yang besar bagi kesadaran kita untuk bekerja sama semakin erat, semakin bersungguh-sungguh, dan kewaspadaan yang semakin besar di antara kita semua untuk tidak membiarkan terjadinya hal-hal yang semacam itu.

Jadi hikmahnya, bahwa kita sekarang merasa ada dorongan untuk maju lebih jauh. Ini penting karena memang ini intinya. Kalau kita bekerja sendiri-sendiri, kalau kita tidak kenal satu sama lain, maka kita tetap akan memelihara benih-benih kesalahpahaman, benih-benih saling tidak mengerti, benih-benih akhirnya membentuk sikap saling mencurigai dan sama-sama tidak menyenangi. Benihnya timbul dari sikap yang umumnya dikenal dengan istilah hidup berdampingan secara damai (usefull coexistance. Istilah itu yang dirumuskan oleh Nikita S Cruscov pada akhir tahun 1950-an, sebetulnya adalah sikap antar dua sistem yang berhadapan, bermusuhan yaitu Kapitalisme dan Komunisme.

Pantas saja, di dalam pidato Penerimaan sebagai Presiden atau Pidato pertama sebagai Presiden Amerika John F Kennedy dalam tahun 1960 menyatakan bahwa “kepada lawan-lawan kita, kita nyatakan bahwa mereka bukan musuh-musuh, melainkan adalah orang-orang yang hidup berdampingan secara damai”. Tetapi tetap sebagai lawan.

Ini kita tidak bisa membiarkan bila terjadi di antara umat beragama di Indonesia. Karena kita bukanlah dua kelompok yang berhadapan, berlawanan, apalagi bermusuhan. Kita adalah umat dari Tuhan Yang Satu. Yang kita rumuskan dalam konsep yang berbeda-beda. Tapi Tuhan Zatnya Satu. Kenapa lalu kita menjadi bermusuhan, berlawanan. Tidak cukup kita hidup berdampingan secara damai. Itulah justru akan menjadi malapetaka bagi kita semua. Kita justru harus berusaha mengatasi kebuntuhan konseptual tadi. Kita harus berusaha untuk menciptakan hubungan timbal balik — bukan hidup berdampingan secara damai — hubungan timbal balik yang menunjukkan sikap saling menghargai, saling menyantuni dan saling mengasihi dalam jangka panjang.

Saya ingat pada tahun 1974, dalam sebuah pertemuan mengenai pengembangan masyarakat desa di Santidase tadi yang saya sebutkan. Dulu namanya masih Candidase. Setelah sidang jam dua belas malam, kita mengobrol bertiga: Romo JB Mangunwijaya, Ibu Gedong, dan saya.

Saya bertanya, “Bu Gedong kami punya konsep tentang Wali (Sinthood), kewalian atau wilayah dalam bahasa Arab. Di mana orang-orang yang suci itu menempati kedudukan yang khusus”. Lalu beliau terangkan, kami juga begitu juga punya konsep tentang hal itu. Lalu Romo Mangun mengatakan ya itu tidak jauh dari Katolik. Hanya kalau dalam Katolik harus dikokohkan oleh Sri Paus melalui Ensiklik. Jadi tidak bisa begitu saja mendapat pengakuan dan masyarakat.

Nah, waktu itu kami dapati karakteristik wali itu sama. Cuma namanya berbeda-beda. Kalau katolik itu memakai istilah latin, dalam Islam memakai bahasa Arab, dalam Hindu memakai istilah bahasa Sansekerta. Banyak wilayah yang dapat dipersamakan di antara agama yang berbeda-beda, kenapa kok kita menjadi bingung mencari titik kerja sama atau titik-titik kedekatan satu sama lain.

Bahkan, ketika tahun 1986 oleh salah seorang Resi Kejawen Aliran Kepercayaan melalui murid beliau yang menjadi seorang Perwira Tinggi ABRI. Saya diminta bertemu.

Saya katakan umurnya sudah berapa? “Wah nggak tahu saya, kulitnya sudah merah semua dan sudah tidak bisa melihat orang, seperti bayi. Saya ketika masih kecil, ia sudah begitu.”

Baik, karena beliau yang sepuh, maka saya yang sowan. Saya pergi diam-diam. Orang tersebut berada di daerah Banyuwangi di daerah Curahjati, daerah Alas Purwo yang kemudian kena Sunami. Beliau bernama Mbah Papak, karena dua puluh jarinya rata panjangnya, papak.

Saya menangis dalam hati ketika kita datang. La masih terbaring di kursi malas lalu terlelap tidur. Tahu-tahu terbangun dan langsung menoleh kepada saya, walaupun mata beliau tidak melihat tetapi mata hati beliau yang melihat dengan tajam kepada saya dan bertanya:

“Siapa kamu!” (dalam bahasa Jawa). Saya bilang ” Saya Abdurrahman Wahid Mbah.” “Wahid, santri. Kalau santri mengapa kamu tidak mengakui saya Hong Wilaheng sebagai saudara sebangsa”.

“Woow Nggak betul Mbah. Saya menganggap Mbah ini sebagai saudara sebangsa dan bahkan karena lebih tua maka saya hormati saya dudukkan sebagai orang yang lebih tua.” Beliau menyatakan “Wah bejo kemayangan awak dhewe,” sangat beruntung kita.

Saya menangis dalam hati saya. Mengapa saya yang santri ini disalah pahami disangka membenci oleh beliau yang sekian lama hidup itu. Mungkin umurnya sudah seratus tahun atau mungkin mendekati seratus tahun. Lha ini di mana salahnya. Kok sampai demikian. Jadi timbul rasa atau dorongan kuat untuk mencoba menumbuhkan saling pengertian. Karena sikap saling menghargai akan muncul dari sikap saling mengerti.

Karena itulah, saya agak skeptis dengan wadah kerukunan umat beragama. Sewaktu saya masih menjadi salah seorang wakil ketua Majelis Ulama Indonesia tingkat pusat, saya ditugaskan mewakili MUI dalam wadah kerukunan saya tolak. Saya bilang — saya ini orang polos — kalau saya ngomong apa adanya, nanti saya tersiksa di sana.

Lho kenapa? Sebab, di sana ngomongnya pura-pura. Kalau sakit tidak berani bilang sakit. Jika jelek tidak berani bilang jelek. Semuanya baik, akhirnya tidak ada pembicaraan. Dan, celakanya lagi sikapnya lalu seperti orang menjual kecap. Habis teriak-teriak kecapnya yang nomor satu, dia tutup kuping Yang lain lagi bilang kecapnyalah yang nomor satu. Begitu terus.

Ini bukan dialog. Tetapi serimonolog, masing-masing bicara sendiri-sendiri, tidak didengarkan oleh yang lain. Tapi saya ingin dialog itu yang betul. Dan alhamdulillah, itu saya temukan di dalam Intervide atau Insitute of Intervide Dialog (DIAN) yang dipimpin oleli Pak Theo Sumarthana di Yogyakarta. Di mana anak-anak muda NU ikut aktif di dalamnya mempelajari bermacam-macam pemikiran-pemikiran theologis.

Inilah dorongan atau hikmah yang timbul dari kejadian di Situbondo itu bagi saya. Sambil kita mewaspadai kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi yang bisa sama buruk atau bahkan lebih buruk. Malah kita harus atasi kurang buruknya pun tidak boleh terjadi. Kita waspadai dan kita antisipasi.

Tetapi yang terpenting adalah bahwa ada semacam keinginan untuk kita yang lebih erat lagi berkomunikasi, berhubungan, kalau bisa bekerjasama secara kongkrit. Saya sampai mikir, seandainya bermacam-macam gerakan pemuda di lingkungan agama yang berbeda-beda ini dapat – katakanlah — berkomunikasi sajalah secara teratur sebulan sekali mereka dapat bertemu dan mengantisipasi perkembangan kalau ada masalah dapat diatasi bersama. Sebab, keyakinan saya bahwa orang itu hanya bisa mengasihi, bisa memandang saudara hanyalah kepada mereka yang sama-sama memiliki kesulitan dan sama-sama mengatasi kesulitan. Baik kesulitan bersama maupun kesulitan masing-masing. Ini yang saya rasakan betul.

Karena itu, peristiwa Situbondo merupakan titik yang baik untuk kita gunakan secara lebih baik lagi. Namun ini, bisa menjadi opium juga untuk kita. Opium menina bubukkan kita, kalau kita tidak mau melakukan analisa yang mendalam atas sebab-sebab yang hakiki dari terjadinya hal di Situbondo itu.

Terlepas dari soal-soal teknisnya, saya telah melakukan otokritik kepada umat saya sendiri, pada kalangan pimpinan Islam. Para pemimpin Islam baik dalam bentuk kelompok — oragnisasi, lembaga, yayasan dan sebagainya maupun perorangan — masih terlalu banyak menganggap tidak penting mengenal agama lain. Buktinya mereka mengekspresikan kesalahfahaman mereka tentang konsep-konsep ketuhanan agama lain. Bahkan ada yang meledek, main-main dengan agama lain.

Ada seorang mubaligh teman saya dekat, kalau di depan saya sudah tidak berani ngomong begitu. Tapi saya tahu kalau tidak ada saya masih ngomong begitu. Dia bilang “Apa agama A itu, Tuhannya pakai kancut saja,”

Saya katakan pada dia, Anda itu tidak hanya menghina konsep ketuhanan orang lain. Anda lupa bahwa menghina Tuhan yang Anda anggap milik orang lain itu adalah menghina Tuhan milik kita sendiri. Karena pada dasarnya Tuhan itu satu. Yang berbeda kan konseptualisasinya saja.

Dengan cerita yang terkenal di kalangan sufi, yang saya tulis di harian Pelita beberapa tahun yang lalu saya sudah lupa, ada cerita tentang seorang aspiran sufi — Salik bahasa arabnya — pejalan untuk memperoleh ilmu suti yang sebenarnya, ma’rifat. Dengan sowan kepada gurunya, pada pembimbingnya, mursyid bahasa arabnya. Dalam perjalanan berhari-hari itu ia bertemu dengan seorang beragama Nasrani. Maka berdebatlah mereka tentang konsep Ketuhanan mansing-masing. Dan akhirnya dia menyatakan bahwa konsep Anda itu salah semua. Karena kalau Anda monoteistik, Tuhan tidak boleh berbapak dan tidak boleh beranak serta tidak boleh bermacam-macam.

Ketika mereka berpisah Sang calon sufi ini sampai di tempat sangada guru ditolak tidak boleh masuk. Menunggu di depan pintu duduk bersila sehari nggak diterima besuk paginya datang lagi ke situ. Tidak diterima lagi sampai satu hari penuh. Pergi malamnya, pada hari ketiga dia datang, satu hari penuh tidak diterima.

Akhirnya nggak kuat teriak-teriak dari luar: “Sang Guru mengapa kamu tidak mau menerima muridmu ini. Justru ketika muridmu memerlukanmu untuk memperoleh pengertian tentang Tuhan. Jawab suara sang Guru dari dalam “Kamu tidak akan mengerti karena kamu tidak ngopeni Zatnya Tuhan, melainkan hanya bajunya Tuhan saja.”

Ini pun saya dimarahi oleh Ketua Umum MUI Pak Hasan Basri. “Ente jangan tulis bajunya Tuhan nanti rakyat nggak ngerti disangka Tuhan pakai baju betulan,”. Saya bilang, “Pak Kiai, rakyat itu tidak sebodoh seperti yang disangka Pak Kiai. Mereka itu tahu kalau Tuhan itu tak berbaju, Seandainya ada manusia menggambarkan Tuhan berbaju itu cuma gambaran saja. Tapi yang menggambar itu tahu kalau Tuhan tidak berbaju. Karena Tuhan adalah semata-mata esensi. Sedangkan yang lain-lain adalah atribut.”

Jadi, kalau tidak tahu satu sama lain, terus kita coba untuk mengritik, mengoreksi atau — istilahnya — meluruskan konsep orang lain, ya jadinya kita akan berantakan terus seperti sekarang. Karenanya harus ada kesadaran bagi kita untuk menghormati konsep orang. Tidak usah kita bicarakan karena memang bukan urusan kita kok. Urusan masing-masing.

Tetapi, di dalam semangat keruhaniaan kita terlepas dari konsep ketuhanan dan mungkin cara beribadat, konsep-konsep kemanusiaan kita, konsep-konsep kegunaan agama bagi kehidupan manusia, saya rasa itu bisa dipelajari bersama, bisa dikembangkan lebih jauh, bisa ditularkan kalau perlu diperdebatkan.

Saya sendiri ikut menikmati itu perdebatan di kalangan Katolik tentang teologia pembebasan. Bahkan saya sendiri pernah bertemu dengan Gustavo Merino Getieres dan Leonardo Boll sebagai teolog yang mencetuskan teologia pembebasan Saya berjumpa dengan para aktifis Gereja katolik yang betul-betul berjiwa populistik, yang betul-betul menginginkan adanya struktur sosial yang adil, yang konkrit. Tidak — kata mereka — simbolik-simbolik saja, samar-samar saja seperti yang ada dalam ensiklik-enseklik Paus.

Tetapi saya sangat menghormati bertemu dengan orang seperti Kardinal Arin Shin, yang konon dalam soal teologia sangat konservatif, tetapi dalam pergaulan sehari-hari sangat paham tentang Islam. Kemarin saya ketemu di Roma selama satu jam, nggedabrus — kata orang Jombang — mengenai perkembangan terakhir pemikiran-pemikiran Islam. Beliau sangat familiar dengan apa yang ada dalam benak orang Islam. Saya benar-benar kagum waktu itu. Ya begini ini, namanya saling pengertian itu. Yaitu, melihat yang baik dari saudara-saudaranya, diambil yang baik untuk kepentingan kita masing-masing. Sementara kalau kawan kita, saudara kita punya masalah ikut kita bantu pemecahannya. Begitu mestinya. Baru itu kita bukan hidup berdampingan secara damai, tetapi hidup dalam kebersamaan. Ini lho yang kita cari dalam hidup kebersamaan sebagai umat beragama. Agamanya tidak mungkin sama. Umatnya bisa bersama-sama.

Ini harapan yang wajar-wajar saja. Dan bisa kita capai kalau kita mau. Dan saya yakin di sini juga tidak sedikit yang mau. Mungkin mayoritas. Marilah kita laksanakan hal itu. Kita mulai mendidik kita masing-masing, umat kita masing-masing untuk memahami pihak lain. Bukan mengoreksi, bukan menengkari, mengingkari, dan sebagainya. Tetapi memahami. Itu berarti yang terbanyak konsep-konsep keruhaniaan yang terkait dengan pandangan kemasyarakatan. Sebenarnya, itu nanti itu wujudnya.

Tentu, bapak-bapak NU yang ada di sini beberapa orang ini, sudah hafal omongan saya. Tapi, bagi yang lain bisa saya kemukakan: “Pak, kalau bapak mendengar jihad itu kan sama dengan orang di Koramil sana, merinding. Mendengar jihad itu merinding karena asosiasinya perang.”

Padahal sebenarnya, dalam sebuah traktat agama yang sudah 300 tahun umurnya dan diajarkan di pesantren-pesantren, Jihad itu ada empat macam. Yang pertama, menegakkan wujud Tuhan. Ini melalui perdebatan, peribadatan dan sebagainya. Jadi orang yang menegakkan wujud Tuhan itu sudah berjihad.

Kedua, menegakkan hukum-hukum Tuhan. Mana yang dilarang Tuhan itu dijauhi dan mana yang diperintahkan Tuhan itu dijalankan. Itu sudah berjihad.

Ketiga, baru berperang dijalan Allah kalau diserang. Kalau tidak ya tidak. Ternyata bisa itu dilakukan. Di Bosnia saja yang baru perang dengan Serbia saya rasa sekarang, sudah mulai berkomunikasi secara baik, kembali seperti dulu.

Konsep keempat, jihad adalah menjaga orang yang dilindungi Islam dari kerusakan, The protec those war the protected by Islam. Siapa orang yang dilindungi oleh Islam itu? Di sana dikemukakan, orang muslim dan non muslim yang hidup dalam satu masyarakat. Ini kewajiban semua pihak. Kaum muslimin harus ikut menjaga jangan sampai yang non muslim yang hidup dalam satu masyarakat itu dirusak atau tidak terhindar dari kerusakan. Harus dihindarkan dari kerugian dan kerusakan.

Bentuknya apa? Penyediaan pangan dikala dibutuhkan. Konsep Bulog harga makanan dan stok segala macam itu kan konsep ini. Itu larinya ke situ. Itu sudah agama dalam bentuk kemasyarakatan. Lalu yang kedua, penyediaan pakaian untuk menutup aurat. Ini kan bisa digarap bareng-bareng. Islam juga menggarap bareng atas keyakinan agamanya. Orang Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya dapat melakukan hal itu berdasar keyakinan agama masing-masing. Penyediaan papan — bahkan di sana dikatakan — ada istilah ujratut tamridh watsamanid dawa’, biaya perawatan dan harga obat yang terjangkau oleh masyarakat. Ini termasuk jihad.

Kalau begitu jihadnya orang Islam sama dengan jihadnya orang yang beragama lain. Konsep jihad kalau tidak hanya diborong orang Islam, bisa dipakai orang lain. Begitu juga konsep kasih sayang orang Kristen. Itu bisa saja diambil oper oleh orang Islam, ketika mengusahakan agar nilai-nilai kemanusiaan betul-betul diterapkan dalam kehidupan. Baru di situ kita memahami konsep kasih yang demikian mutlak, demikian menyeluruh.

Namun, kalau kita cuma bicara yang baik-baik itu kita baru separuh jalan. Baru mimpinya. Realitasnya belum kita sentuh. Realitasnya, pahit. Yaitu bahwa hidup kita memang belum lepas dari kesalah fahaman. Ini hendaknya bisa difahami.

Ada sebuah ayat, dalam Al-Quran, saya kalau tidak salah pernah ngomong dengan Pak Wismoady tentang hal ini. Kepada yang lain-lain bisa saya kemukakan. Sering ditafsirkan secara salah. Yaitu ayat yang berbunyi: Walan tardho ankal yahudu walan nashoro hatta tattabi’a millatahum. “ Wahai Muhammad orang-orang yahudi dan nasrani tidak akan rela kepadamu, sampai kamu ikut agama mereka”.

Kata ‘rela’ ini apa artinya. Kalau tidak rela itu kan kayak-kayaknya itu tidak menginginkan hidupnya. Orang yang tidak kita relai itu, supaya mati saja deh, nggak rela kalau dia hidup. Begitu lho.

Tapi, sebenarnya ‘rela’ di sini mengandung arti yang sebetulnya lebih sederhana tapi lebih kompleks. Tidak rela itu artinya, tidak bisa menerima konsep kebenaran abadi yang dibawakannya. Ya pantas saja, kalau orang Yahudi dan Nasrani katanya Al-Quran tidak akan rela kepada Nabi Muhammad. Sebab, kalau mereka rela dalam arti menerima konsep kebenaran abadi yang dibawakan Nabi Muhammad, berarti mereka sudah tidak menjadi Kristen lagi, nggak menjadi Yahudi lagi, sudah menjadi Islam.

Itu suatu statemen yang tidak ada apa-apanya sebetulnya. Itu satu stetemen untuk menunjukkan bahwa setiap orang akan memegang teguh kepada keyakinannya. Malah mashum mukhalafahnya, atau kesimpulan berkebalikannya, sebenarnya kan kamu jangan memaksa orang lain supaya ikut agama kamu kan begitu. Al-Quran berbicara kepada Nabi Muhammad kamu jangan memaksa-maksa. Tawarkan biasa-biasa saja. Tidak usah dipaksakan. Wong mereka nggak rela kok, kamu paksa-paksa. Kalau nalarnya begitu sebetulnya aman-aman saja dunia ini.

Sayangnya, tidak difahami yang begini ini. Terus pidatonya nggak karuan. “Orang Kristen nggak rela sama kita, awas!” Lha kalau sudah awas keluar — sampai ada laporan di Surabaya Post mengenai pertemuan di masjid apa gitu — sampai kepada kecurigaan, sampai kebenciannya begitu rupa. Ada yang berpidato bahwa semua kedudukan di pemerintahan harus dipegang di tangan orang muslim, tidak boleh dipegang oleh orang Kristen, segala macam begitu. Ini sudah terlalu jauh.

Tapi hal semacam itu ada dan terjadi. Ini yang dikatakan realitas tadi. Menurut saya jawabnya cuma satu. Mari kita bersungguh-sungguh lagi dan lebih membulatkan tekad untuk memberikan keterangan yang benar. Orang kayak saya ini lebih kerja keras lagi untuk memberikan keterangan yang benar kepada sesama kaum muslimin.

Dan saya yakin di umat Bapak-bapak, apakah itu bapak Bingky dengan umat Konghucunya, atau kepada yang lain dengan umat Kristennya, Hindu, dan Budhanya. Tapi maksud saya di tempat masing-masing itu ada yang salah pahan terhadap yang lain. Termasuk kepada Islam. Marilah kita saling belajar bersama, untuk memberikan pemahaman yang benar tentang saudara-saudara kita di kalangan kita.

Bahwa Pak Wismoady dulu mengundang saya berangkat setiap bulan ke Balaiwiyoto untuk menjelaskan tentang Islam kepada Pendeta-pendeta GKJW ya kayak begitu modelnya. Salah satu bentuknya. Tapi, esensinya bahwa, kalau tentang Islam ya tanya saja kepada orang Islam. Kalau tentang Kristen tanya saja kepada orang Kristen. Kenapa tidak saling berkomunikasi saja. Sampaikan dan bawa ke umat, dari pada repot-repot nanti nggak paham-paham juga. Tambah keliru.

Saya kalau disuruh menjelaskan soal Selebasi saja nggak akan bisa menerangkan sebab saya kawin. Kan terbalik to kalau saya menyatakan wong itu sebagai janji prasetia kepada Yesus Kristus, Orang bisa bilang: “Lho sampean bilang janji prasetia wong sampean sendiri tidak setia. Kan jadinya begitu nanti. Ya bapak Pastur yang menjelaskan.

Maksud saya, seharusnya lebih banyak lagi upaya untuk berkomunikasi secara intensif antara berbagai umat beragama. Di dalam masing-masing agama dilakukan upaya untuk membenarkan atau meluruskan pemahaman-pemahaman yang menyimpang. Seperti ayat tadi jelas sekali.

Ada lagi ayat lain yang sering menimbulkan kesalahpahaman. Man yabtaghi ghairal islami dinan fala yuqbala minhu fahuwa fil akhirati minal khasirin, “Barang siapa yang mengikuti selain Islam sebagai agama, maka tidak akan diterima amal perbuatannya. Di akhirat akan menjadi orang yang merugi”.

“Orang Kristen tidak benar, tidak bisa kita biarkan segala macam.” Padahal, kalau saya membaca itu dengan tenang itu simpel saja: bahwa setiap amal perbuatan itu dibarengi dengan konsep dan niat. Kalau begitu, yang paling dekat diterima menurut pandangan Islam, adalah konsep dan niat yang ada pada landasan teologi yang berlandaskan teologi Islam sendiri.

Tapi toh itu kemungkinan-kemungkinan yang iya-tidaknya bukan keputusan kita. Karena itu dikatakan di akhirat nanti dia merugi, kalau rugi. Kan semuanya Allah yang menetapkan, Tuhan yang menetapkan. Kita kan hanya berbuat sebaik apa yang bisa kita buat. Seluruhnya terserah kepada Allah. Pada Tuhan yang satu itu.

Jadi menurut saya di sini sering kelirunya. Lalu orang Islam itu menghukumi atau menghakimi atau mengambil keputusan, menyimpulkan sudah di dunia ini. Sesuatu yang sebetulnya tidak tepat. Harusnya kita biarkan orang belajar atau menyimak sepuas-puasnya, perkara nanti bagaiamana betulnya, di akhirat nanti akan kelihatan sendiri. Ini yang merupakan kerikil sandungan itu, dua ayat itu sebetulnya.

Ada lagi juga sebuah menurut orang Islam itu istilahnya adalah ruhama’u bainahum asyidda’u ‘alal kuffar, orang yang sangat santun mengasihi di antara sesama mereka dan bersikap tegas di antara orang-orang kafir. Di sini ada masalah. Siapa yang kafir itu.

Kalau Al-Quran dikaji secara mendalam, yang kafir itu yang menolak Tuhan. Itu kafir. Kalau begitu yang kafir itu bisa dibatasi pada kelompok-kelompok yang memang tidak percaya kepada Tuhan. Yang masih punya konsep Ketuhanan belum bisa dikatakan katagori kafir begitu saja, tidak bisa.

Yang kedua, kata-kata ‘tegas’ itu bukan berarti lalu kekerasan. legas dalam sikap. Kita harus hati-hati memahami. Memang Islam sedang mengalami prahara sangat besar, akibat dari proses perpindahan identitas. Identitas muslim yang kuno, yang lama, sedang begerak menuju identitas yang baru. Kalau dulu sikapnya itu adalah sikap yang hanya semata-mata ritualistik sikap yang semata-mata peribadatan saja, maka sekarang sikap itu dikembangkan lebih jauh, bahwa peribadatan itu meliputi semua sisi kehidupan.

Karena itu, soal-soal sosial, pendidikan, budaya, semuanya juga termasuk ibadah. Ini perubahan konsep. Berarti, ada perubahan identitas kita. Kalau dulu kaum muslimin tidak boleh menjadi aktifis, sekarang justru harus menjadi aktifis. Terjadi perubahan sosial.

Proses hilangnya identitas ini menimbulkan kegoyahan dan kegoncangan. Akibatnya lalu muncul reaksi bermacam-macam. Termasuk di antaranya reaksi skriptualisme yang keras sekali. Yaitu, membaca Al-Quran dan Hadis Nabi secara verbatim, literer, secara harfi saja. Tidak melihatnya lebih jauh, dan dalam konteks tradisi pemikiran yang sudah berkembang selama 14 abad dalam Islam sendiri. Belum lagi yang dapat kita pinjam dari tradisi-tradisi lain.

Orang Islam yang sedang berada dalam masa transisi, kehilangan identitas mencoba mencari identitas baru. Sayangnya, identitas baru ini ditemukan di dalam sikap yang hanya membenarkan diri sendiri dan meremehkan orang lain. Tapi saya yakin, ini kan soal transisi, sebagai proses transisional dia akan mengalamai penyelesaiannya sendiri juga. Jadi karena itu menurut saya, kita tidak terlalu khawatir berlebihan. Tidak perlu. Tapi justru kita waspada, agar supaya kekhawatiran itu semakin lama dapat dibuktikan semakin mengecil. Ini yang jadi pikiran saya.