Mencintai yang Kecil, Bukan Membenci yang Besar

Sumber Foto: https://teritorial.com/opini/pentingnya-pemberdayaan-ekonomi-kerakyatan/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Mudah sekali bagi sesorang untuk menyamakan dua hal yang berbeda. Seorang anak dapat mencintai ibu atau ayahnya, tanpa harus menentang salah satu dari keduanya. Kenyataan yang sederhana ini dapat saja dibelokkan ke arah lain: ia lebih dekat pada salah seorang dari keduanya, tanpa harus membenci salah satu dari mereka. Hal ini, jarang diperhatikan orang karena memang lebih mudah melihat sesuatu dari sudut hitam atau putih, bukan dari sesuatu yang mempersatukan mereka.

Anak itu lebih dekat kepada ayahnya, daripada ibunya. Atau sebaliknya, ia dapat saja lebih dekat kepada ibunya daripada ayahnya. Maka, segera saja, kata “lebih dekat” itu lengket di otak kita tanpa konotasi yang menunjukkan kepada yang lain. Ini yang seharusnya kita miliki, bukannya justru sebaliknya.

Konotasi perbedaan perlakuan kita terhadap sesuatu ini, tidak dapat dipahami sebagai kebencian kita akan sesuatu yang tidak begitu dekat pada diri kita sendiri. Bahwa ketidakdekatan bukannya berarti kebencian, adalah sesuatu yang harus kita antisipasi. Karenanya, sering kita terdorong menilai sesuatu secara salah, bukan seperti yang diharapkan ketika diucapkan.

Hal ini tampak dengan nyata, ketika penulis mengucapkan ketentuan mengenai ekonomi rakyat. Orang memahami secara tepat ketika penulis menyatakan bahwa ekonomi rakyat — terutama, berbentuk dukungan yang sangat besar kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Dengan segera, orang dapat melihat perlunya UKM kita didorong maju lebih cepat lagi.

Dorongan untuk maju itu, datang dari tiga hal sekaligus. Pertama, dengan pemberian kredit murah yang berbunga sangat rendah kepada UKM. Dengan demikian, UKM segera dapat membesarkan diri dengan cepat, dan ini berarti penciptaan lapangan kerja lebih banyak bagi mereka, di samping kemudahan memperoleh penghasilan tambahan yang jauh lebih besar dari yang mereka peroleh sekarang.

Kedua, adanya pengorganisasian yang lebih baik–yang berarti pula, penciptaan pasaran baru bagi pilihan teknologi yang tepat terhadap produksi mereka, pembuatan kemasan yang lebih menarik perhatian dan pencernaan informasi baru yang lebih daripada yang didapat ini. Dengan kombinasi hal-hal di atas, UKM akan dapat bersaing dan bergerak secepat usaha-usaha besar dan raksasa. Ini berarti penciptaan lapangan kerja baru, yang akan memperbesar jumlah UKM itu sendiri.

Ketiga, dengan merintis kebijakan-kebijakan baru, yang selama ini hanya menguntungkan perusahaan besar dan raksasa. Karena memang kue ekonomi secara nasional tidak dapat dibagi rata, wajar saja jika sebuah sektor tampaknya menjadi lebih besar daripada yang lain. Beberapa tahun yang lalu, 43% ekonomi Amerika Serikat dikuasai oleh UKM, dengan 29 % untuk BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) dan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) menguasai 29 %. Sedangkan usaha besar dan raksasa, dengan nama-nama mentereng, seperti Boeing (pabrik pesawat terbang di Seatle dan sebangsanya) hanya menempati rangking ketiga dari 28 % ekonomi Amerika Serikat.

***

Kesan keliru bahwa seolah UKM hanya menguasai porsi kecil dalam ekonomi suatu bangsa, haruslah diubah. Kesan inilah yang selama ini mendasari hampir seluruh kebijakan ekonomi nasional bangsa kita. Sebagai akibat, kebijakan demi kebijakan yang diambil setelah kita merdeka hanya dirumuskan untuk kepentingan usaha besar dan raksasa belaka.

Tidak heran, jika UKM kita jarang yang maju. Sekali berjualan bakso, seorang pengusaha akan tetap berada di situ, hingga mobilitasnya menjadi sangat lambat. Ditambah pula, dengan kerajinan dan ketekunan pengusaha kecil yang tidak mudah berpindah tempat. Begitu juga, sikap untuk lebih mengutamakan peranan usaha besar dan raksasa untuk menolong UKM, membuat kucuran kredit lebih mudah didapat ayah angkat daripada anak angkat. Mitos ini jadi pecah, ketika ternyata pertolongan tidak dilakukan oleh usaha besar dan raksasa tersebut terhadap UKM. Yang terjadi malah sebaliknya, UKM benar-benar mengembalikan kredit bank, sedangkan usaha besar dan raksasa melakukan kemplangan atas kredit yang diperolehnya dengan mudah, seperti kasus para konglomerat atas kredit BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

Kesan salah inilah yang harus diperhitungkan para penganjur UKM yang benar pada saat ini. Karenanya, pihak yang mengkampanyekan UKM, seperti penulis, harus benar-benar sadar akan hal ini. Karena itulah, penulis harus merencanakan dan melaksanakan pengiriman berbagai delegasi kepengusaha besar dan raksasa di luar negeri. Bahwa, pada saat ini, ia ingin memajukan UKM lebih banyak lagi, daripada menolong usaha besar dan raksasa yang tengah sekarat dan kekurangan likuiditas. Bukankah demikian, ia lalu mendorong tercapainya pengembangan UKM yang kuat, yang akan menjadi dasar bagi kekokohan usaha besar dan raksasa di kemudian hari, ketika ekonomi nasional menjadi normal kembali? Bagaimana halnya dengan usaha besar dan raksasa yang sedang kepayahan sekarang ini? Mereka harus mencari kredit sendiri, melalui bank-bank swasta, ataupun mencari dana non-pemerintah dari pos-pos penanaman modal asing di negeri ini. Penulis tidak sanggup berusaha sekaligus bagi UKM dan usaha besar dan raksasa, karena itu hanya akan membatasi diripada upaya menolong salah satu saja, tanpa mengecilkan arti yang lain.