Muhammadiyah-NU, Perlu Meneladani Keikhlasan Rasulullah Saw

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
Yang paling saya khawatirkan terjadi sekarang, yaitu kalau NU dan Muhammadiyah berkumpul, pengajian bersama, lalu terjadi parade pidato. Saya khawatir, karena orangnya banyak, pidatonya banyak, yang sulit adalah melaksanakannya, Oleh karena itu, menurut saya, lebih baik mengajinya sendiri-sendiri saja. Cuma, kalau sendiri-sendiri tidak kelihatan bersatu. Nah di sinilah persoalannya, yakni soal kelihatan. Kita sudah bersatu, tetapi baru kelihatan. Kelihatannya bersatu, tapi apakah sudah bersatu? Ini bisa dibuktikan nanti bahwa teman-teman dari Muhammadiyah dan yang lain-lain (bukan hanya Muhammadiyah dan NU, masih banyak yang lain), bersama-sama membangun Indonesia di masa yang akan datang.
Ada ayat Al-Quran yang sederhana sekali: Wal-‘ashr, inna al-insana lafi khusr, illâ al-ladzina ‘âmanû wa’amilû as-shalihati watawâshau bi al-haqqi watawâshau bi ash-shabr. Demi masa, sesungguhnya manusia itu dalam kerugian, kecuali yang beriman, beramal saleh, menyuarakan kebenaran, dan membawakan kesabaran.
Alhamdulillah, yang selama ini teruji dalam keempat persoalan itu, yaitu Muhammadiyah dan NU. Yang lain, termasuk yang suka demonstrasi yang tak karu-karuan, itu kurang sabar. Mereka hanya menyuarakan kebenaran, tetapi tidak membawakan kesabaran. Mengapa begitu, (mungkin) karena mereka tidak pernah membaca Al-Quran. Oleh karena itu, kita harus sabar. Sabar itulah tempatnya Muhammadiyah dan NU, alhamdulillah.
Saya mendukung yang pernah diungkapkan Mas Amien Rais bahwa kita harus mengayomi semua pihak. Mengapa? Karena kita sebagai orang Islam diperintahkan oleh Al-Quran: Wama arsalnāka illa rahmatan li al-‘alamin “Tiada Kuutus Engkau, ya Muhammad, kecuali sebagai tali pengikat bagi seluruh isi alam.” Ayat ini kelihatannya sepele, tetapi melaksanakannya (sulit) setengah mati.
Di antara sesama kita, harus ada yang mampu menjadi pihak yang membawa kerahmatan. Rahmat artinya tali pengikat dari rahim. Pengikat di antara kita sesama anak Siti Hawa dan Adam. Ini harus diingat terus. Kita terkadang lupa. Oleh karena itu, kita diperintahkan oleh agama kita untuk senantiasa menjadi rahmat (tali pengikat) li al-‘âlamîn (bagi semua manusia). Kita sering menggebu-gebu (dalam menjalankan) Islam, tetapi juga sering lupa. Nah, yang menggebu-gebu ini ada dua macam: ada yang lupa, ada yang ingat. Yang ingat yang bagaimana? Yang tahu persis bahwa Islam itu membawa kerahmatan bagi semua orang. Terhadap yang satu ini kita tak berkeberatan. Terhadap yang lupa, kita harus mengingatkan. Itulah pekerjaan kita dari dahulu, sekarang, hingga nanti. Itulah tuntunan bagi kehidupan kita. Sederhana ayatnya, tetapi itulah pegangan kita. Jangan karena tidak ditulis dengan tinta emas terus dianggap tidak ada artinya. Itu kata-kata sederhana, sama sederhananya dengan ayat: Alam tara kaifa fa’ala Rabbuka bi ashhabi al-fil, alam yaj’al kaidahum fi tadhlil, wa arsala ‘alaihim thairan abâbil, tarmîhim bihijaratin min sijjil, faja’alahum ka’ashfim ma’kül.
Ini benar-benar terjadi, burung-burung melempari tentara Abrahah dengan kerikil-kerikil. Itu sederhana. Al-Quran memang sederhana, tidak sulit bagi siapa pun. Asal mau belajar, (memahami dan melaksanakan) Al-Quran itu gampang. Oleh karena itu, pada dasarnya Muhammadiyah dan NU tetap terikat menjadi satu.
Ada satu cerita yang mungkin banyak di antara kita yang tidak tahu. Saking banyaknya fitnah di antara kita (Muhammadiyah dan NU), saya senantiasa ingat (cerita) itu, yaitu ketika Hadhratu Asy-Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri NU, diberi tahu bahwa ada organisasi baru yang namanya Muhammadiyah, lahir di Yogyakarta. Pertanyaan beliau sederhana, “Siapa yang mendirikan?”
“Kiai Haji Ahmad Dahlan, Kiai,” jawab yang memberi tahu.
“O, Kiai Haji Ahmad Dahlan. Apa yang dulu mondok bareng saya di pondoknya Kiai Sholeh Darat di Semarang?”
“Ya, Kiai.”
“O, ya sudah. Kalau begitu tidak ada apa-apa.”
Cerita inilah yang sering kita lupakan bahwa (di antara) beliau-beliau itu tidak ada masalah. Di antara kita banyak yang tidak pernah tahu bahwa K.H. Ahmad Bisri Sansuri, embah (kakek) saya dari pihak ibu yang pernah jadi Rais Aam NU yang cukup lama (sekitar sepuluh tahunan), adalah ahli fiqih. (Kalau terjadi) ribut-ribut soal hukum agama, sebelum sidang NU, selalu, kalau bukan beliau yang ke Yogyakarta, Kiai Hadjid (dari Majelis Tarjih Muhammadiyah) yang ke Jombang. Mereka berdua ini sama: kitabnya sama, pemahamannya pun sama. Mereka tukar-menukar pendapat sampai berhari-hari. Sekarang kita kan baru seminar sehari saja sudah lari. Kalau dahulu tidak, sampai tuntas permasalahannya. Jadi, antara Kiai Bisri dan Kiai Hadjid ini betul-betul saling mempercayai. Semestinya kita seperti mereka. Kalau meniru jangan yang jeleknya, melainkan yang baik-baiknya.
Itulah, saya rasa kita harus berpegang pada kenyataan bahwa bukan karena persoalan politik. Terus terang saja, ketika Mas Amien meminta kepada saya agar saya siap menjadi presiden, saya baru yakin beberapa hari kemudian. Saya yakin dengan niat Mas Amien, tetapi saya sendiri, kira-kira ada potongan apa tidak? Sampai mantan Menteri Keuangan, Fuad Bawazier datang ke rumah saya menanyakan: sampeyan ini beneran apa tidak sih? Alhamdulillah, kok sekarang beneran.
Sebabnya mengapa? Ini yang perlu diketahui. Saya akhirnya menjadi yakin itu mengapa? Karena contohnya ya Mas Amien sendiri. Orang tidak pernah tahu bahwa Mas Amien kan mukhlish dari awal. Dia sampai pada kesimpulan (mencalonkan saya) itu secara rasional, meneliti satu per satu, dan mau berkorban untuk pikiran-pikirannya. Banyak yang melihat Mas Amien (secara) salah. Dikiranya punya maksud tersembunyi, padahal sebetulnya tidak. Kalau soal ini saya tahu dari awal. Mengapa? Beliau telah sampai pada kesimpulan untuk mencalonkan saya itu setelah melalui jalan dan kesulitan-kesulitan yang panjang.
Orang tidak tahu bahwa yang saya sediakan untuk Mas Amien diminta Mbak Mega, lalu diminta Pak Akbar Tanjung. Kalau disediakan lagi, salah-salah akan diambil orang lagi. Begitu kok, dijalani dengan ikhlas, dengan tertawa. Inilah (profil) Muhammadiyah yang sempurna.
Saya tidak tahu, apa di Muhammadiyah ada yang percaya tentang titisan. Menurut saya, Mas Amien ini adalah titisan Kiai Ahmad Dahlan, yaitu keikhlasannya. Melihat kata-kata Mbah Hasyim Asy’ari kan jelas sekali bahwa Kiai Ahmad Dahlan itu ikhlas sekali. Kok sekarang saya dapat orang yang ikhlas seperti Mas Amien. Alhamdulillahnya lagi, beliau masuk ke partai politik. Kehidupan politik kita sudah penuh dengan kemunafikan. Perlu orang seperti Mas Amien. Kalau saya ini, bukan orang politik. Kalau mendapatkan tugas, ya tidak apa-apa. Kaidah fiqih-nya: Tasharrufu ar-ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah (kebijakan imam terhadap rakyat yang dipimpinnya terkait sepenuhnya dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin). Kalau begini dianggap berpolitik, tidak apa-apa karena kita melaksanakan politik Islam. Dalam berpolitik, kaidah-kaidahnya banyak. Di antaranya yang paling terkenal seperti yang sering dipakai Mas Amien: Dar’u al-mâfasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih, (menghindarkan kesulitan dan kerusakan didahulukan daripada membawa kebaikan). Oleh karena itu, biar bagaimanapun bentuknya, orang seperti saya ini ya tetap saja dicalonkan menjadi presiden. Kalau tidak dapat orang lain, dapat orang seperti saya ini ya sudah. Apa boleh buat. Itulah orang Islam, berpikirnya seperti itu. Tidak tertarik dengan titel-titel. Beliau (Amien Rais) itu kan profesor doktor, tetapi orang seperti saya ini dicalonkan. Kalau tidak karena keikhlasan, tentu tidak demikian.
Oleh karena itu, hendaknya kita bisa meniru keikhlasan seperti yang diperlihatkan oleh K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy’ari, dan Mas Amien yang tidak lain adalah keikhlasan Nabi kita, Muhammad Saw. Hanya dengan cara meneladani keikhlasan itulah kita bisa membangun kembali bangsa ini. Keikhlasan itu dituntut secara sungguh-sungguh dari kita semua untuk kebaikan kita di masa-masa yang akan datang.