NU Milik Siapa?

Print

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Ketika penulis terbaring di rumah, karena sakit di kaki dan tidak bisa berjalan, Sabam Sirait datang menjenguk. Kami pun berbicara panjang lebar tentang berbagai hal, termasuk keadaan PDI-Perjuangan dan Nahdlatul Ulama (NU) dewasa ini. Pada waktu berbicara tentang NU, ada ucapannya yang sangat menarik bagi penulis. Ia bercerita, pada suatu waktu ia menyatakan kepada sejumlah orang yang dikenalnya, bahwa NU itu adalah milik nasional, bukan hanya milik Gus Dur dan kawan-kawan. Ia adalah aset kita juga sebagai orang-orang nasionalis. Ucapan itu sangat menarik, bukan karena hanya menggambarkan sikap dan pandangan yang luas tentang rasa kebangsaan beliau, tetapi juga karena ternyata nama berbahasa Arab yang digunakan NU, untuk menyebutkan identitas spesifik yang dimiliki NU (sebagai organisasi keagamaan Islam). Ternyata dapat juga “menembus” perbedaan antargolongan yang ada di negeri kita. Walaupun namanya berbahasa Arab, ternyata semangatnya sebagai sebuah organisasi yang berpegang pada asas kebangsaan ternyata dirasakan demikian juga oleh orang lain.

Dalam hal ini, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hanya “kecipratan” saja oleh NU, karena usahanya “menjual” nama Kebangkitan (yang sebenarnya adalah terjemahan kata nahdah saja). Jadi, tanpa diterjemahkan ke dalam bahasa nasional kita pun, gagasan kebangkitan dalam artian berpegang teguh kepada asas kebangsaan telah diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan di negeri kita. Padahal kata kebangkitan (nahdah) yang digunakan NU itu, semula tidak berkonotasi demikian. Itu adalah “pengambilan” para pendiri NU, ketika mereka mendapati bahwa sebuah kalimat telah membangkitkan mereka untuk mendirikan sebuah organisasi di lingkungan kaum muslim tradisional, baik para ulamanya maupun pengikut mereka. Kalimat itu adalah kata-kata Ibn ‘Atha’illah al-Sakandari dalam buku Syarah Al-Hikam, berbunyi: “janganlah engkau temani/jadikan guru orang yang perilakunya tidak membangkitkan kamu kepada Tuhan, dan kata-katanya tidak menunjukkan kamu kepada-Nya.”

Ungkapan di atas, yang dalam bahasa Arab berbunyi “La tashhab man la yunhidhuka ila Allah mahaluhu wa la yadulluka ila Allah maqaluhu” telah terjadi transformasi besar-besaran, dari sebuah kata yang berbicara kepada perorangan (membangkitkan kamu, dan menunjukkan kamu) kepada kelompok besar yang akhirnya berjumlah puluhan juta jiwa. Kita melihat, transformasi seperti ini sangat dahsyat sifatnya, mempengaruhi dan mengarahkan puluhan ribu orang pemimpin di berbagai tingkatan mengajak rakyat masing-masing kepada sebuah arah, yang kemudian sering dijadikan tujuan dari NU. Tujuan itu berbunyi “meluhurkan asma Allah yang sangat tinggi“ (li I’lai kalimati Allah al-lati hiya al-‘ulya). Tujuan yang demikian sederhana, menangkap dalam dirinya sebuah keinginan untuk mengembangkan pola hidup yang membawa manfaat untuk masyarakat secara keseluruhan. Inilah yang ditangkap oleh orang-orang tertentu sebagai bagian dari asas kebangsaan.

*****

Mengapa demikian, karena mereka melihat, ungkapan tersebut dalam kenyataan diarahkan kepada menciptakan sebuah bangunan yang di satu pihak, dapat dimiliki orang berpaham kebangsaan, di pihak lain dapat “dijadikan milik” orang-orang berpaham keagamaan yang luas. Hal itu dapat dicapai, karena pendirian organisasi keagamaan yang dikembangkan itu bersifat toleran dan mengabdi kepada kepentingan kemanusiaan. Ini menjadi sangat penting, karena dewasa ini di permukaan tampak sekali adanya berbagai pihak yang memiliki jiwa sempit dalam pandangan mereka untuk dunia luar. Karena itu, bahwa ada kelompok yang ingin membakukan Islam dalam pandangan-pandangan yang eksklusif memang sangat mengkhawatirkan. Inilah ungkapan yang sering terdengar dan harus dihadapi.

Penulis adalah seorang yang optimistik. Karena itu banyak yang beranggapan penulis terlalu tidak berhati-hati, terutama dalam mengembangkan pendapat. Dan sama sekali tidak menganggap tulisan-tulisan yang menghujat agama lain, sebagai sebuah pertimbangan serius dalam menentukan sikap kita. Karena itulah, ketika adik penulis bercerita, bahwa di Rumah Sakit Koja (Tanjung Priok) ada mubalig yang menghantam kanan dan kiri, termasuk diri penulis sendiri, penulis hanya menyatakan biarkan saja, toh orang banyak tidak akan mengikutinya. Ketika ia bertanya; mengapa? Penulis mengatakan, bagian terbesar dari bangsa kita sudah memilih untuk hidup berdampingan secara damai antara berbagai agama. Pihak yang mengundangnya akan dimarahi orang, karena meminta ia berbicara. Adik penulis membenarkan hal itu dengan mengatakan bahwa manajemen rumah sakit tersebut memarahi pihak penyelenggara, yang menyatakan bahwa ia pun tidak mengira sang pembicara itu akan berpandangan sesempit itu.

Dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa sikap NU selama ini telah menunjang kehidupan bangsa kita dengan benar. Agama Islam yang demikian luas, ternyata telah dibawakan oleh para pemimpin NU sebagai sesuatu yang memberikan sumbangan cukup besar bagi kehidupan bangsa kita. Tentu saja, Islam akhirnya menjadi bagian pokok dari paham kebangsaan yang menjadi tiang kehidupan bersama sebagai bangsa. Di sini berlakulah apa yang oleh Kitab Suci Al-Qur’an nyatakan sebagai “Tiadalah Ku-utus Engkau, ya Muhammad, kecuali untuk membawa tali persaudaraan bagi manusia” (Wama arsalnaka illa rahmatan lil ‘alamiin). Jika kata rahmat di sini dimaksudkan untuk menunjukkan arti persaudaraan, dan ‘alamin diartikan hanya sebagai manusia, bukannya seluruh alam. Tentu saja adanya pengertian seperti ini, menunjukkan bahwa wajah universal Islam seperti ini merupakan kekayaan kultural sangat besar untuk menunjukkan bahwa agama tersebut mementingkan juga aspek kemanusiaan, bukan hanya hal-hal ritualistik belaka.

*****

Atas dasar pengamatan ini, penulis melihat kedekatan antara Islam dan aspek kemanusiaan sebagai sebuah kenyataan yang menghidupi kaum muslimin, tidak ada alasan apa pun untuk melihat dunia Islam telah terdesak dalam kehidupan bersama saat ini. Bahkan, justru penulis sering mendapatkan keluh kesah dari para pengikut berbagai agama, yang menganggap tekanan-tekanan modernisasi sebagai sesuatu yang “mengganggu kerukunan” jalannya kehidupan beragama mereka. Dalam posisi seperti ini, tentu kita harus berterima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan kepada kita kemampuan untuk melihat perjalanan kehidupan kita di masa depan. Kita telah berjuang habis-habisan untuk menjaga kebersamaan kita dalam berbagai perkembangan keadaan, yang justru mendorong kita ke arah sebaliknya. Apalagi kalau hal itu dilakukan oleh sebuah pemerintahan Orde Baru, yang lebih mementingkan hal-hal formalistik, seperti digunakan untuk mendukung sistem kekuasaan yang ada, dan bukannya menegakkan kebenaran dan keadilan.

Ke depan, penulis melihat bahwa diperlukan kemampuan untuk memperkirakan sistem politik yang akan berkembang. Dalam pandangan penulis, ada tiga pihak yang berperan sebagai kekuatan sosial politik. Pertama adalah para mahasiswa, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, dan sejumlah intelektual. Kedua, adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dua pihak ini bergerak secara informal, karena memang demikian ketentuan perundang-undangannya. Pihak ketiga, yang harus menghubungkan antara keduanya, adalah berbagai parpol. Penulis melihat perlunya ada tiga jenis parpol di negeri kita. Pertama, parpol yang berdasarkan, apa yang oleh kawan-kawan disebut sebagai kelompok Nasionalis Religius (berpandangan kebangsaan namun bersikap keagamaan). Kedua, adalah mereka yang mementingkan hidup keagamaan, namun tidak kehilangan rasa kebangsaan mereka, sehingga mereka disebut sebagai kaum Religius-Nasionalis. Pihak ketiga dalam hal ini adalah mereka yang berpegang kepada paham kekaryaan dan sama sekali tidak tertarik pada keterkaitan dengan ideologi atau agama tertentu. Masalah itu, bagi mereka dianggap sudah dianggap berlalu, yang terpenting adalah mengembangkan kekaryaan dalam kehidupan. Dapat diterka, golongan kekaryaan ini akan sangat banyak “diwarnai” oleh para anggota dan pimpinan Golongan Karya dewasa ini.

Nah, tentunya telah terjadi perkembangan sangat menarik di antara tiga elemen utama dari parpol-parpol yang ada. Jika Partai Golkar tampil sebagai salah satu kekuatan parpol dari jenis kekaryaan ini, maka PDI-Perjuangan dan PKB menjadi kekuatan dari nasionalis-religius dan religius-nasionalis. Percaturan antara kelima pihak itu, akan merupakan bagian dari proses melestarikan dan membuang yang biasa terjadi dalam sejarah diri manusia, bukan?