NU: Pergulatan Kultur Melawan Institusi

Sumber foto: https://www.tribunnews.com/nasional/2022/01/12/mengenal-istilah-dalam-susunan-kepengurusan-pbnu-mustasyar-syuriah-hingga-tanfidziah

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Harian Suara Pembaruan, tanggal 13/2/2002, memuat sebuah artikel tentang Nahdhatul Ulama (NU) dan penulis, yang dikemukakan oleh Ir. Salahuddin Wahid. Adik penulis ini, mengemukakan hal-hal yang sangat menarik dalam artikel tersebut, yang menurut penulis adalah pengalihan perhatian secara sengaja atau tidak dari masalah sebenarnya. Tujuan tulisan ini adalah, untuk melakukan pelurusan atas apa yang dikemukakan adik penulis dalam artikel tersebut. Kalau dengan ini terjadi perdebatan yang hangat antara penulis dan adik penulis sendiri, di depan umum, hal itu terjadi dalam upaya pencarian kebenaran, bukan untuk beradu pandangan untuk mencapai kemenangan.

Dalam artikel itu, Salahuddin Wahid sama sekali tidak menyebutkan bagaimana demokratisasi harus dilakukan di negeri kita. Apa pula tentang penegakan hukum, perombakan pendidikan nasional dan mendudukkan peranan Ulama/Kiai dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Secara teknokratik ia hanya menyebutkan tentang perlunya menciptakan sistem yang baik bagi NU dalam memimpin masyarakat. Tetapi, bagaimana proses itu harus dijalani dalam kemelut sekarang ini sama sekali tidak disebut-sebut olehnya. Padahal, proses itulah yang harus dilalui dengan selamat, sebagai upaya sangat sulit untuk menegakkan benang basah dan menarik rambut tanpa menceraiberaikan tepung yang meliputinya.

Justru hal yang paling penting, sama sekali tidak disinggung, dan itulah yang akan dibicarakan oleh penulis. Karena itulah penulis mengirimkan artikel ini, dan bukannya untuk berdebat dengan adik penulis sendiri. Sebab, hal itu dapat dilakukan kami berdua di mana saja, tetapi publik tidak akan mendapatkan manfaat dari perdebatan yang terjadi. Mungkin justru tradisi seperti inilah yang harus dimulai dan harus dilestarikan, untuk membuat bangsa ini menjadi masyarakat yang besar dan memberikan sumbangan berarti bagi perikemanusiaan–bahwa, penulis dan sang adik adalah saudara sekandung, adalah sebuah kebetulan belaka.

***

Penulis setuju sepenuhnya dengan gagasan Salahuddin Wahid, agar NU berkembang menjadi sebuah sistem. Tetapi perkembangan itu jangan sampai mengecilkan arti kedudukan Ulama/Kiai dalam kehidupan, suatu hal yang oleh KHA. Wahab Chasbullah, waktu itu Rais Aam PBNU dijadikan dasar bagi keputusan NU keluar dari Masyumi dalam muktamar NU di Palembang tahun 1952. Dan, hal itu pula yang diyakini oleh KH M Bisri Syansuri Rais ‘Aam PBNU untuk mendudukkan supremasi Ulama/Kiai dalam pembentukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1975. Bahwa mendiang Ali Murtopo tidak dapat memaksakan kehendak untuk memperlemah kedudukan Ulama/Kiai, akhirnya menjadikan reformasi di Indonesia sebagai sebuah proses yang berbeda dari apa yang dijalani oleh bangsa-bangsa lain.

Masalah kedua yang dikemukakan Salahuddin Wahid juga harus dibicarakan secara terbuka dalam artikel ini. Salahuddin Wahid menganggap, seperti tersirat dalam tulisan tersebut, bahwa Muktamar Luar Biasa (MLB) NU adalah kehendak penulis, dan pandangan teknokratik yang tidak mempercayai hal-hal ideal dalam sebuah peristiwa. Dalam kenyataannya, di tengah-tengah arena Muktamar Luar Biasa

(MLB) dipercepat oleh KH Muhaiminan dari Parakan (Temanggung), KH Abdurrahman Chudlori dari Tegalrejo Magelang, dan KH M. Subadar Besuk (Pasuruan), agar segera mengorganisir sebuah MLB NU. Perintah lisan ini, dikemukakan atas nama para Kiai/Ulama’ yang tergabung dalam tubuh NU. Kalau perintah ini ditolak penulis, mereka akan mencari orang lain untuk melaksanakan kehendak itu, tentu karena mereka melihat penyimpangan besar oleh PBNU hasil muktamar Pondok Pesantren Lirboyo (Kediri) tahun 2000 beberapa waktu yang lalu. Karena itulah, penulis menyatakan kesediaan untuk berusaha ke arah itu dengan catatan diperlukan waktu minimal satu tahun untuk menyelenggarakannya. Di sini, tidak ada sama sekali keinginan penulis untuk duduk dalam keanggotaan PBNU yang akan datang.

Di samping itu, beberapa waktu yang lalu KH Fuad Hasyim, anggota Pengurus Besar NU saat ini, juga menyatakan kepada penulis, bahwa para Ulama/Kiai Pondok Pesantren Buntet Astanajapura (Cirebon) telah mencapai sebuah ijma’/konsensus. Dalam konsensus itu, menurut KH Fuad Hasyim, diputuskan untuk meminta penulis menjadi Ra’is ‘Am PBNU secepat-cepatnya. Penulis menolak, karena kedudukan semulia itu hanya dapat dipegang oleh orang yang mengerti fiqh (hukum Islam) dan pernah mengajarkannya, sedangkan penulis telah mengajar semua mata pengajian (subjek) yang berjumlah tiga belas buah, seperti dinyatakan Imam Abdurrahman as-Sayuthi sekitar 500 tahun lampau dalam Itmâm ad-Dirayah dan sekarang menjadi salah satu basis pengajaran pesantren, sekolah-sekolah agama, dan IAIN. Subjek fiqh yang menjadi mata pengajian ke 14 dalam tatanan as-Sayuthi ini, belum pernah diminta siapa pun untuk mengajarkannya oleh penulis. Penolakan penulis itu, diakhiri atas desakan beliau dengan janji penulis bersedia menjadi wakil Ra’is ‘Am PBNU yang akan datang, jika penulis harus kembali ke pengurus harian PBNU dan meninggalkan pengurus harian DPP PKB. Kalaupun hal itu terjadi, pelaksanaannya barulah akan terwujud setelah hasil pemilu yang akan datang diumumkan oleh Komite Pemilihan Umum (KPU).

***

Dalam hal ini juga ada beberapa masalah pokok yang harus dilakukan oleh PBNU, yang sama sekali tidak di singgung dalam artikel Salahuddin Wahid tersebut. Pertama, bahwa NU haruslah berbudaya demokratis yang berintikan penegakan kedaulatan hukum dan memberikan perlakuan yang sama bagi semua warga negara di hadapan Undang-Undang. Kalau NU dapat mewujudkan hal ini dalam jangka panjang maka baru akan ada artinya PKB didirikan dan demokrasi diperjuangkan di negeri kita. Karena pihak-pihak lain gagal dalam kepemimpinan ini, baik karena kurang kuat institusinya ataupun kurang besar pengaruhnya, maka terpulang pada para Ulama NU/PKB untuk mewujudkan hal itu dalam kehidupan bangsa kita saat ini.

Hal lain yang juga tidak disinggung oleh Salahuddin Wahid dalam artikel itu adalah perlunya perlakuan yang sama bagi seluruh warga negara di muka Undang-Undang, sesuatu yang secara eksplisit belum pernah dibicarakan secara resmi di lingkungan PBNU. Yang dipikirkan oleh sebagian petinggi PBNU adalah bagaimana mencegah penulis masuk dalam jajaran pimpinan PBNU. Salah seorang petinggi PBNU saat ini meminta majelis wakil cabang PBNU di tingkat kecamatan, untuk tidak lagi mengundang dan meminta penulis untuk memberikan ceramah di kawasan mereka. Orang yang sama juga meminta agar penulis tidak diundang dalam Konperensi Besar NU, yang tempat dan waktunya belum diputuskan. Karena yang ditakutkan nantinya, penulis akan berpidato dan menyerang PBNU yang sekarang padahal penulis masih menjadi Mustasyar/penasihat. Jadi, sejak kapankah PBNU takut kepada kebenaran yang mungkin dikemukakan penulis.

Di dalam menegakkan demokratisasi melalui DPP PKB dan di lingkungan warga NU, penulis sering harus melakukan sesuatu yang dianggap bersikap otoriter. Ini adalah salah anggapan yang berbahaya, karena kalau diikuti akan membuat kepemimpinan akan tidak efektif. Bahwa George Bush Junior mengambil keputusan atas tanggungan sendiri untuk membom Afghanistan dalam upaya memburu Usamah Bin Laden. Yang terpenting ia tidak pernah mematikan kritik atas keputusan itu; dan kenyataan penulis tidak pernah melarang orang mengajukan kritikan atas tindakan-tindakanya membuktikan bahwa penulis ingin menegakkan demokrasi dan mencapai kepemimpinan efektif di negeri ini sekaligus. Kalau menegakkan hukum dan memberikan perlakuan sama bagi seluruh warga negara di muka Undang-Undang adalah tradisi demokrasi maka kebebasan memberikan kritikan dan membahas keputusan yang diambil di muka umum dijamin secara bebas, akan merupakan tonggak bagi berlangsungnya proses demokrasi di negeri ini.

Jelaslah dari uraian penulis di atas, masalahnya bukanlah siapakah yang menjadi pemimpin di PBNU, melainkan kultur apakah yang akan dikembangkan di dalamnya. Jadi, bukan masalah institusi, melainkan masalah kultur yang akan dikembangkan di NU. Kepemimpinan yang baik haruslah sanggup mewujudkan dua hal itu dalam kehidupan organisasi dan menjaga keseimbangan antara keduanya. Di samping kemampuan berkomunikasi dengan warga NU, juga diperlukan kejujuran sikap dan ketegaran pandangan. Di masa mendatang, NU harus sanggup menjadi pelopor dalam banyak bidang dan semuanya itu hanya dapat dicapai dengan kepemimpinan yang kuat, berwibawa, tegar pandangan, dan jujur dalam bersikap. Jika persyaratan-persyaratan itu tidak dipenuhi, kepemimpinan tidak akan efektif dan tidak memiliki tradisi kesantrian yang nyata. Hal inilah yang diperjuangkan penulis di masa dewasanya hingga saat kematian nanti.