NU, PKB, dan Dialog
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Nahdlatul Ulama (NU) dalam tulisan ini adalah perkumpulan agama yang berdiri sejak 1926. Namun NU telah beraktivitas sejak 1913 ketika KH A Wahab Chasbullah dari Tambak Beras, Jombang, mendirikan Syarikat Islam (SI) cabang Mekkah.
Saat itu, Wahab Chasbullah, sepupu KH M Hasyim Asy’ari dari Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, yang juga gurunya sewaktu menjadi santri di Tebuireng, melaksanakan hal itu bersama dengan temannya, KH M Bisri Syansuri dari Tayu Wetan, Pati. Di kemudian hari, Kiai Bisri menjadi ipar Kiai Wahab karena mengawini adiknya, Chadijah Chasbullah, pada 1914.
Kedua orang inilah yang kemudian merupakan tenaga pertama untuk memimpin NU. Sekembalinya dari Mekkah pada 1917, Wahab Chasbullah dan Bisri Syansuri mendirikan Nahdlatul al-Tujar (kebangkitan para pengusaha) yang disusul dengan berdirinya klub diskusi Taswir al-Afkar (konseptualisasi pemikiran). Klub diskusi ini didirikan untuk menampung keinginan para sesepuh, HOS Tjokroaminoto, menantu Soekarno –di belakang hari terkenal dengan nama Bung Karno–, KH M Hasyim Asy’ari dan sepupunya, KH A Wahab Chasbullah. Mereka berempat kemudian mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan (NW) berkedudukan di Surabaya pada 1924.
Barulah pada 1926 Nahdlatul Ulama (NU) didirikan dengan KH M Hasyim Asy’ari sebagai Ra’is Akbar dan KH Faqih Maskumambang (Desa Dukun, Gresik) sebagai Wakil Ra’is Akbar. Mereka berdua menjadi penanggung jawab utama perkumpulan baru itu. Kedua santri dari KH Mahfudz Dimyati di Termas Pacitan itu adalah ”jago-jago” di pesantren tersebut. Pada 1928, lahirlah majalah bulanan dari Pengurus Besar NU bernama Suara NU.
Dalam nomor perdana majalah itu, KH M Hasyim Asy’ari menulis sebuah makalah yang menyatakan bahwa bedug ada dasar hadisnya, karena itu diperbolehkan. Namun ia sendiri beranggapan kentung kayu tidak ada dasar riwayatnya, karena itu haram dipakai untuk memanggil salat. Dalam nomor berikutnya, KH Faqih Maskumambang menyatakan, kalau KH M Hasyim Asy’ari mengingat qiyas sebagai sumber pengambilan hukum fiqih, tentu ia akan memperkenankan hal itu karena sumber pengambilan hukum fiqih di NU adalah Alquran, hadis Nabi, konsensus (ijma), dan qiyas (analogi).
Kiai Hasyim menerima pandangan itu dan menyatakan siapa pun boleh memilih dari sumber hukum fiqih yang empat. KH M Hasyim Asy’ari mengumpulkan para ulama se-Jombang dan santri-santri senior serta menyatakan bahwa mereka boleh melakukan hal itu, dengan catatan di Pesantren Tebuireng tidak akan pernah dipasang kentung. Beberapa bulan kemudian ketika KH M Hasyim Asy’ari ke Maskumambang, Kiai Faqih mengimbanginya dengan permintaan kentung harus diturunkan dan tidak dipakai selama kunjungan Kiai Hasyim di daerah itu.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dilahirkan oleh NU dan mengadopsi fungsi politik perkumpulan tersebut. Dirumuskan dalam tahun 1935, dalam muktamar NU di Banjarmasin, dengan cepat perkembangan baru itu menjadi praktik sehari-hari. Dari keputusan muktamar tersebut, ada dua keputusan yang sangat penting artinya. Pertama, menyatakan tidak wajib bagi kaum muslimin di Indonesia untuk mendirikan negara Islam. Kedua, berlakunya keharusan berdialog antara ajaran agama Islam dan semangat kebangsaan/nasionalisme secara aktif dan terus-menerus.
Keharusan ini merupakan pantulan dari sikap NU yang menerima adagium Mpu Tantular: bhinneka tunggal ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua). Belakangan, adagium ini diberi nama oleh Soekarno sebagai Pancasila. Karena itu, keharusan berdialog itu merupakan kekuatan NU maupun PKB. Karena itu, kalau NU turut dalam politik praktis seperti dilakukan Hasyim Muzadi dan dianggap demikian oleh Prof Dr Said Agil Siraj dalam wawancara televisi baru-baru ini, dengan sendirinya lalu ada celah yang digunakan oleh kaum muslimin fundamentalis dan radikal yang mengumandangkan keinginan mendirikan negara Islam di negeri ini pada waktu ini pula.
Karena itu, NU harus menghindari hal itu, dengan tetap pada fungsi sebagai pembawa ilham politik praktis pada saat ini. Hal ini memang mudah dikatakan, tetapi sangat sulit dilakukan. Namun jika fungsi politik praktis ini tetap dilakukan oleh NU saat ini dan di waktu-waktu akan datang, tentu saja menjadi sesuatu yang sangat berbahaya untuk kelangsungan hidup NU sendiri. Karenanya, tidak ada jalan lain kecuali berusaha sekuat-kuatnya untuk menjadi contoh yang tepat bagi kelangsungan hidup bangsa ini.
Penulis artikel ini yakin PKB dapat melaksanakan fungsinya dengan baik karena memang tidak pernah lupa pada hal itu. Sejak dideklarasikan di Ciganjur tahun 1998, memang ada saat-saat ketika sebagian warga PKB disibukkan oleh perebutan kedudukan dan pencarian kekayaan tidak halal. Namun akhir-akhir ini diambil tindakan yang drastis oleh penulis selaku Ketua Umum Dewan Syura Dewan Pimpinan Pusat PKB. Salah satu model tindakan drastis itu adalah pembekuan dan penempatan para care taker partai di segenap tingkatan.
Bahkan, kalau perlu disertai pemecatan fungsionaris dari lingkungan partai tersebut dan pembekuan kepengurusan partai itu, untuk kemudian diperbaiki sebagaimana mestinya. Hal itu sekarang dialami 40 kepengurusan tingkat provinsi atau Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan tingkat kabupaten atau Dewan Pimpinan Cabang (DPC). Diharapkan dengan cara demikian PKB kembali kepada jalan hidup yang sehat di masa depan. Cukup berat, bukan?
(Artikel ini pertama kali dimuat di Koran Sindo, 15 Februari 2008)