NU, Politik, dan Tradisi Akhlaq
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid
NU MAU dibawa ke mana? NU itu bukan sekedar paguyuban atau sebuah tradisi kultural. NU adalah bagian yang secara sadar dikembangkan para eksponennya dulu.
Secara historis, NU bermula dari berdirinya Syarikat Islam cabang Mekkah tahun 1913. Keberadaan SI itu kemudian dimintakan pengakuan dari SI di Indonesia. Namun, belum sampai berhasil, perang Dunia I tahun 1914 pecah.
SI cabang Mekkah itu dipimpin oleh KHR Nawawi Kudus, KH Abbas Jember, KH A. Dahlan Kertosono dan KH A. Wahab Hasbullah Jombang.
Mereka mempunyai peranan yang sama-sama unik dan sama-sama memiliki pola responsi yang gradual. Bertahap. Wawasannya adalah tradisi keilmuan yang dikembangkan di Hijaz dan berkembang disejumlah pondok pesantren. Tradisi pesantren sebetulnya mewarisi ruak di Masjidil Haram. Ada ruak Aljazair, ada pula ruak Jawi yang berisi orang-orang Thailand Selatan, Melayu dan Indonesia. Tradisi keilmuan itu kemudian dikombinasikan dengan tradisi tarekat tasawuf dari India.
Gabungan ulama Mesir dan Hijaz yang pulang ke Indonesia menciptakan model responsi sendiri. Yaitu responsi positif yang tidak tuntas dan gradual Responsi yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan sosial-ekonomi dan trasisi keilmuan di Timur Tengah, menghasilkan sikap hidup yang terlihat seperti oportunistik saat ini. Titik tolaknya. mereka menangani masalah yang bisa ditangani. Dan yang tidak bisa, ya dibiarakan dulu.
NU lahir dalam suasana seperti itu. Kalau kita melihat keputusan-keputusan politik NU, yang nampak yang seperti itu. Sebuah perkembangan gradual. Berangsur-angsur Seperti nampak pada keputusan Kongres Banjarmasin 1935, konsepsi jihad 1945 sampai keputusan menerima pancasila sebagai asas tunggal.
Akibatnya, kita tak mungkin menuntut sesuatu yang tuntas dari NU. Termasuk yang dikatakan Masdar tadi. NU itu kan semacam pertumbuhan dari campuran bermacam-macam unsur dan pemikiran yang perlahan-lahan membentuk satu wawasan. Bisa wawasan politik atau budaya. Lalu tampaklah wajahnya yang kelihatan oportunistik.
Kalau NU kemudian kembali ke khitah, sebenarnya merupakan artikulasi dari keinginan-keinginan yang didorong oleh tradisi keilmuwan untuk menegaskan dirinya. Artikulasi dari keinginan memelihara akhaq. Merupakan penolakan terhadap praktek-praktek kotor politik.
Tuntutan pertamanya justru bukan berpolitik atau tidak. Tapi, apakah orangnya sudah bersih dari berbagai macam akibat yang berkembang dari produk-produk politik. Dari tradisi akhaq inilah kemudian saya melihat permasalahannya.
KALAU begitu, kembali ke khittah itu pelarian atau pengabdian? ”Umumnya sementara kalangan masyarakat berkenalan dengan NU sebagai partai dan jam’iyah, hingga menampakkan keheranan yang bermuara kepada pertanyaan di atas,” ujar KH Ali Yafie, ulama asal Sulawesi Selatan yang kini menjadi Rais Syuriah PB NU, bersama KH Achmad Siddiq dari Jember.
Menurut KH Ali Yafie, pertanyaan itu berkait pula dengan semakin pentingnya peranan unsur ulama dalam masyarakat. Secara sosial maupun kultural, keberadaan ulama merupakan bagian mutlak dari pembangunan nasional yang membutuhkan landasan moral yang kuat. Memang, masih terus berkembang pertanyaan, siapakah sesungguhnya ulama itu. Inilah ringkasan makalah beliau:
Ada ulama dan ada zaim
Kehadiran NU merupakan kelanjutan yang logis dari kehadiran agama Islam di Indonesia. Merekalah yang memperkenalkan Islam kepada masyarakat. Hidup dan bergaul dengan mereka. Mengajar dan mendidik rakyat di kala belum mengenal sekolah dan universitas. Membantu rakyat yang kesulitan denagan bimbingan rohani yang menenteramkan hati. Membantu pengobatan fisik bilamana mereka sakit. Memelihara kerukunan dan perdamaian melalui isklah dzatil, silaturahmi. Pemupukan ukhuwwah Islamiyah, di antaranya lewat tarikat-tarikat.
Pembinaan yang paling nyata dilakukan para ulama lewat pondok pesantren. Mereka mencintai dan dicintai oleh masyarakat. Lalu dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat. Itulah sosok ulama yang dikenal masyarakat. Mereka mempunyai ilmu-ilmu keislaman yang mendalam. Disamping mempunyai kualitas ilmu, juga mempunyai kualitas dalam kesalehan, ketaqwaan dan integritas kemasyarakatan yang tinggi.
NU belajar banyak dari politik. Sekalipun, tak banyak meraih keuntungan dari pelajaran itu. Namun, paling tidak, telah membuatnya mengerti dan lebih dewasa menghadapi politik.
Kedewasaan berpikir politik itu yang mendorong para ulama NU, menjelang muktamar Semarang, mencoba memahami lagi mukaddimah qonun asasi jam’iyah yang meletakkan pergerakan ini atas prinsip-prinsip kebenaran dalam pola kekeluargaan dan musyawarah. Pokok-pokok pikiran yang muncul di Semarang itulah yang dikembangkan dalam muktamar Situbondo.
Semangat kembali kepada khittah, pelarian atau pengabdian. kalau ada yang menganggapnya sebagai pelarian, dapat juga disebut sebagai pelarian kepada pengabdian. Dengan kembali ke khittah, pengabdian dan perhidmatan NU berada jalur yang tepat. Kenapa tepat ? NU kembali menemapatkan kepemimpinan dan bimbingan ulama pada tempat yang tinggi. Namun, potensi intelektual menjadi pengurus (tanfidziyah) mendorong khidmat nyata NU dalam memecahkan masalah-masalah umat.
Gus Dur:
Tuntutan pertama NU, justru bukan berpolitik atau tidak. Tapi apakah orangnya sudah bersih dari berbagai macam akibat kotor produk politik. Dari tradisi akhaq inilah NU harus dilihat. Keputusan kembali ke Khittah 26 adalah artikulasi dari keinginan memelihara akhlaq, dan penolakan terhadap- praktek kotor politik.